Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETIKAN putusan vonis itu akhirnya didapat juga oleh Herawaty. Maret lalu, petikan itu ia peroleh dari Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, tempat suaminya, Amir Machmud, dipenjarakan. ”Sudah setahun saya mencari-cari vonis ini,” kata perempuan 41 tahun itu kepada Tempo, yang mendatangi rumahnya di Kampung Bulak Mekarsari Timur, Bekasi, Jawa Barat.
Dua pekan lalu, kasus Amir mencuat lantaran Herawaty menyatakan vonis yang dijatuhkan kepada suaminya sangat aneh: sang suami tidak pernah dihadirkan dalam sidang putusan itu.
Pengakuan Herawaty ini membuat terkejut sejumlah pihak. Badan Pengawasan Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memeriksa hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang dituding Herawaty memvonis Amir tanpa lewat sidang putusan. Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, Hatta Ali, berjanji, jika terbukti terjadi pelanggaran, para hakim yang memegang kasus Amir ini akan mendapat sanksi.
Kasus ini bermula pada 19 Desember 2007. Saat itu, menurut Herawaty, suaminya, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir di Badan Narkotika Nasional, mengantar empat polisi yang sedang menyamar ke sebuah diskotek di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat. Di sana, ujar Herawaty, suaminya diminta mengantongi sebutir ekstasi. Saat berada di dalam diskotek itulah muncul sejumlah polisi dari Kepolisian Resor Jakarta Barat melakukan razia. Amir pun ditangkap.
Pada 6 Maret 2008, Amir disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sekitar tiga pekan kemudian, pada 27 Maret, jaksa Bambang Djumantoro menuntut pria 42 tahun itu empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta. ”Setelah itu, hakim menutup sidang dan mengatakan, sampai jumpa minggu depan,” kata Herawaty menirukan ucapan ketua majelis hakim, Agusin.
Sidang yang dinanti itu tak kunjung tiba. Kepada istrinya, Amir menyatakan pada hari pembacaan vonis yang dikatakan Agusin itu, ia tidak pernah menerima panggilan sidang. Belakangan Herawaty mendapat kabar, suaminya sudah divonis empat tahun penjara.
Sejak itulah ia mendatangi pengadilan dan kejaksaan untuk mempertanyakan vonis itu. ”Saya dipingpong ke sana-kemari,” ujarnya. Herawaty lalu mengadu, antara lain, ke MA dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial lantas mempertanyakan kasus Amir ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Barulah pengadilan mengirim petikan putusan itu ke penjara Tangerang.
Dalam petikan yang ditandatangani ketua majelis hakim Agusin dengan hakim anggota Yoseph S.E. Fina dan Mutarto, disebutkan Amir telah melanggar Undang-Undang Psikotropika. Hukumannya persis dengan tuntutan jaksa: empat tahun penjara. Vonis itu diketukkan pada hari yang sama dengan tuntutan jaksa, 27 Maret 2008.
Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menegaskan ada sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Selama persidangan, Amir tidak didampingi penasihat hukum. Selain itu, tuntutan, pembelaan, dan vonis dibacakan pada hari yang sama. ”Sebelum memutus, mestinya hakim mempelajari kembali berita acara pemeriksaan kasus tersebut.”
Menurut Busyro, jika memang hakim memvonis tanpa menggelar sidang putusan, itu jelas pelanggaran. Komisi Yudisial, menurut Busyro, akan segera memanggil para hakim yang menangani kasus Amir tersebut. Ditemui di kantornya, Mutarto, salah satu hakim yang memegang kasus Amir, ogah berkomentar. ”Silakan tanya ke humas.”
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Ebo Muala Maulana, menyatakan vonis untuk Amir sudah sesuai prosedur. Menurut Ebo, dalam perkara sederhana, tuntutan, pembelaan, dan vonis bisa dibacakan pada hari yang sama. Dasar hukum untuk ini, ujarnya, Pasal 182 ayat (8) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Petikan putusan vonis untuk Amir pun, ujarnya, sudah dikirim pada 23 April 2008, bukan setahun kemudian. Meskipun demikian, menurut Ebo, pengadilan telah membentuk tim untuk mengklarifikasi kasus ini. ”Hasilnya nanti kami laporkan ke MA,” ujarnya.
Herawaty berkukuh suaminya itu divonis tanpa lewat sidang putusan. Amir kini mendapat bantuan hukum dari LBH Mawar Saron. Menurut Friska G.M. Gultom, salah seorang pengacaranya, pihaknya akan melakukan upaya hukum peninjauan kembali untuk kasus ini.
Pakar hukum pidana Indrianto Seno Adji juga melihat ada sejumlah keganjilan dalam persidangan Amir. Menurut dia, walau ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, mestinya pengadilan menyediakan penasihat hukum untuk Amir. Menurut Indrianto, jika Amir tidak pernah dipanggil ke persidangan dan tiba-tiba hakim menjatuhkan vonis, Amir mesti dibebaskan. ”Vonis itu batal demi hukum,” ujarnya.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo