Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADI Zain Ginting sedang risau. Duduk bersila beralas kasur di ruang tamu rumah sempitnya di Lorong I Jalan Ismaliyah, Medan, tukang pijat 56 tahun ini banyak mengerutkan dahi. Ia berpikir keras merangkai kata dalam sebuah surat. ”Saya lagi bikin konsep surat mohon maaf,” kata Adi, Kamis pekan lalu.
Ia akan mengirim surat itu untuk calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan calon wakil presiden Boediono. Polisi menetapkan Adi sebagai tersangka kampanye hitam terhadap Herawati, istri calon wakil presiden Boediono, Selasa pekan lalu. Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Medan, Muhamad Aswin, menegaskan bahwa Adi melanggar Undang-Undang Pemilihan Presiden. Adi ditetapkan sebagai tersangka berdasar bukti selebaran, pengakuan, dan laporan pengaduan tim pemenangan SBY-Boediono. ”Dia membagikan selebaran SARA, suku, agama, ras, dan antargolongan, pada tahapan kampanye,” kata Aswin.
Adi tak pernah menyangka selebaran berupa salinan wawancara Tabloid Indonesia Monitor yang terbit pada 3-9 Juni lalu dengan Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia Habib Husein Al-Habsy bakal membawa sial. Wawancara itu berjudul ”Apa PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Tidak Tahu Istri Boediono Katolik?” Adi membagikan fotokopi tabloid ini saat calon presiden Jusuf Kalla bertemu dengan pemuka agama di Gedung Madinatul Hujjah, Asrama Haji Medan, Rabu siang dua pekan lalu.
Selebaran itu berisi 15 tanya-jawab wartawan Tabloid Indonesia Monitor Sri Widodo dengan Habib Husein. Wawancara diawali pertanyaan mengapa Habib Husein kecewa pada Yudhoyono, yang memilih Boediono sebagai pendamping. Menurut Husein, dipilihnya Boediono menunjukkan Yudhoyono mengabaikan partai Islam. Judul wawancara itu ternyata nukilan dari jawaban atas pertanyaan kelima: Apa karena lobi mereka terlalu lemah?
Habib Husein menjawab PKS dan partai berbasis Islam lain tak diperhitungkan Yudhoyono. Habib Husein menuding partai-partai Islam justru mengakali umat Islam untuk kepentingan masing-masing. Setelah kalimat itu, meluncur pernyataan Habib Husein yang kemudian menjadi judul wawancara tadi. Dalam gugus jawaban untuk pertanyaan yang sama, Habib Husein menyebut, ”Boediono ini Islamnya Islam iwak ya iwak, celeng ya celeng, Islam tralala.” Rupanya, Adi tak memahami isi wawancara itu. ”Saya tak tahu kalau itu berbahaya,” kata Adi. Apalagi ia mengaku rabun sehingga hanya bisa membaca judul yang berhuruf besar.
Adi berkisah ihwal menyebarnya pamflet itu. Menjelang Kalla tiba untuk berkampanye, ia mengantar Sumarimpi, istrinya, masuk gedung. Lalu Adi keluar menuju kantin. Di sini ia berjumpa Sukri, ustad yang tinggal di Desa Senembah Ujung Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Mereka saling kenal sebagai jemaah dalam organisasi massa Islam, Jami’atul Al-Wasliyah. Adi juga mengenal Sukri calon legislatif Partai Hati Nurani Rakyat yang didirikan Wiranto, calon wakil presiden pendamping Jusuf Kalla. Tapi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Hanura Sumatera Utara, Musdalifah, membantah. ”Tidak ada nama itu,” katanya.
Sukri, kata Adi, meminta tolong dirinya memfotokopi wawancara itu. ”Aku tak bawa kereta (mobil), tolong fotokopikan ini,” ucap Adi menirukan perkataan Sukri. Adi menerima uang Rp 20 ribu untuk ongkos fotokopi dan berangkat mencari tukang fotokopi. Sebelum Kalla tiba, selebaran itu sudah diperbanyak dan ludes dibagi. Adi kembali ke tempat foto kopi untuk memperbanyak salinan. Total selebaran yang ia bagikan 700 lembar. ”Itu pun ongkosnya masih utang ke tukang foto kopi yang masih famili saya,” kata Adi.
Order untuk menyebar salinan wawancara itu juga pernah diterima Adi dari Makmur Dalimunthe, 33 tahun. Di lingkungan keluarga besarnya, Makmur punya nama panggilan Munar. Melalui telepon, Munar menyuruh Adi agar membagikan selebaran kepada pasien pijatnya. Adi mengenal Munar sebagai pendukung Abdul Wahab Dalimunthe dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun lalu.
Wahab adalah Ketua Partai Golkar Sumatera Utara (2001-2004). Saat mencalonkan gubernur, Golkar tak mendukungnya. Ia malah mendapat tiket dari Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Februari tahun lalu, ia dipecat dari Golkar karena dianggap membangkang. Wahab menduduki kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara sebelum maju jadi calon gubernur.
Kursi Ketua Dewan yang ditinggalkan Wahab kemudian diisi Abdul Aziz Angkat, yang meninggal dalam tragedi demonstrasi menuntut berdirinya Provinsi Tapanuli Utara pada Februari lalu. Wahab lalu loncat ke Partai Demokrat dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan umum lalu. Kini Wahab adalah koordinator tim kampanye SBY-Boediono untuk Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.
Adi juga mengenal Munar sebagai bekas pemain tinju. Munar tak menampik mengenal Adi. Tapi ia membantah telah memberikan order. Munar bahkan masih mangkel karena pernah dikibuli Adi dalam pemilu legislatif lalu. Saat itu ia memberi ”tugas” Adi mengerahkan massa dalam kampanye Partai Demokrat yang dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono di Lapangan Merdeka, Medan, April lalu. Munar sudah menyerahkan uang Rp 1,6 juta kepada Adi agar dibayarkan kepada seratus orang yang ia kerahkan. Tapi uang itu tak menetes ke bawah. Kata Munar, ”Saya sudah tak mau bertemu Adi.”
Munar berkisah, ia mendapat selebaran ketika bertemu ustad berinisial N dua hari sebelum Kalla berkampanye di Medan. Munar tak mau membuka identitas guru mengaji itu. Yang pasti, kata Munar, pertemuan itu berlangsung sesaat di Jalan Karya ketika ia hendak berolahraga. Munar lalu bertandang ke rumah seorang temannya di Jalan D.I. Panjaitan. Di sini Munar bertemu Sukri dan menunjukkan selebaran itu. ”Lalu saya pergi karena mau sport. Udah, begitu aja,” kata Munar.
Munar mengaku mendukung Wahab sejak mencalonkan gubernur dan pemilu legislatif. Ia juga relawan untuk pemenangan Yudhoyono-Boediono dalam pemilihan presiden ini. Tapi mengapa ia berada di tengah kampanye Jusuf Kalla? ”Saya hanya ingin melihat kepala negara,” kata Munar. Maksudnya tentu Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kini Munar ke mana-mana didampingi pengacara Akhmad Syamrah. Ia sangat hati-hati dan selalu minta pertimbangan Akhmad jika hendak membuat pernyataan. Alasannya, Kepolisian Kota Besar Medan telah memanggil dirinya untuk diperiksa sebagai saksi. Ia tak ingin membuat pernyataan yang salah.
Sukri tak bisa dikonfirmasi. Nomor telepon genggamnya tidak aktif. Hingga akhir pekan lalu, polisi pun masih memburunya. Ketua Panitia Pengawas Aswin menyatakan tak punya waktu untuk menyelidiki Sukri, apalagi memburunya. ”Kami serahkan ke polisi,” kata Aswin.
Saling tuding tim kampanye SBY-Boediono versus JK-Wiranto tak terhindarkan. ”Tak mungkin kami menjelek-jelekkan calon kami,” kata Wahab, pendukung Yudhoyono. Sebaliknya, Musdalifah dari kubu Kalla berujar, ”Kalau itu kami lakukan tentu akan menguntungkan Boediono.” Kepala Kepolisian Kota Besar Medan, Ajun Komisaris Besar Imam Margono, enggan berbicara tentang perkembangan penanganan kasus itu. Imam beralasan, ini kasus sensitif. ”Jangan di-blow-up lagi,” katanya, Jumat akhir pekan lalu.
Sunudyantoro (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo