Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah payung hitam bertulisan ”Tuntaskan Kasus Munir”, Suciwati menatap satu per satu aktivis yang berorasi di depan gedung Mahkamah Agung. Meskipun tengah sakit, istri Munir ini Kamis pekan lalu tetap ikut unjuk rasa itu. ”Putusan Mahkamah Agung menyakitkan,” kata perempuan 41 tahun ini.
Suci dan puluhan aktivis Komite Aksi Solidaritas untuk Munir kecewa atas putusan Mahkamah. Pada 15 Juni lalu, majelis hakim yang diketuai Hakim Nyak Pha dengan anggota Valerine J.L. Kriekhoff dan Muchsin menolak permohonan kasasi terhadap vonis bebas Muchdi Purwoprandjono yang diajukan jaksa. ”Pemohon tidak bisa membuktikan alasan pengajuan kasasi,” kata juru bicara Mahkamah, Muhammad Hatta Ali, kepada Tempo.
Akhir Desember lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi dari seluruh dakwaan keterlibatannya dalam pembunuhan aktivis pembela hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Sebelumnya, jaksa menuntut Muchdi 15 tahun penjara. Menurut hakim, dakwaan jaksa bahwa Muchdi—saat itu Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara—menganjurkan Pollycarpus Budihari Priyanto membunuh Munir tidak terbukti.
Munir tewas di dalam pesawat Garuda-974 yang sedang membawanya ke Amsterdam, 7 September 2004. Tubuhnya ditemukan kaku di atas langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat meninggalkan Bandara Changi, Singapura. Ia diduga diracun arsenik saat transit di sana. Belakangan, terungkap pelakunya Pollycarpus, pilot garuda yang ”merangkap” agen Badan Intelijen Negara. Polly dibui setelah Mahkamah Agung memvonisnya 20 tahun penjara pada 28 Januari 2008.
Nama Muchdi muncul setelah tim pencari fakta menemukan adanya kontak berkali-kali antara dia dan Polly pada September 2004. Sejumlah saksi menguatkan dugaan keterlibatan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu. Apalagi ditemukan hasil sadapan percakapan dia dengan Polly. Muchdi lantas ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 19 Juni lalu. Belakangan, hakim memutus lain. Nasibnya tidak sama dengan Polly.
Perbedaan putusan itu dipertanyakan sejumlah kalangan. Soalnya, perkara Polly dan Muchdi dinilai sama. Komisi Yudisial pun turun tangan. Komisi memanggil para hakim itu. Sejauh ini, Komisi sudah memeriksa mereka dua kali. ”Namun keputusannya baru akhir Juli ini. Kami harus hati-hati benar,” kata Ketua Komisi, Busyro Muqoddas.
Sedangkan kejaksaan melakukan perlawanan dengan mengajukan permohonan kasasi. Permononan ini dikritik sejumlah pihak karena dinilai tak lazim. Menurut para pengkritik, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terhadap vonis bebas tidak bisa dilakukan permintaan kasasi. Namun jaksa beralasan mereka memiliki bukti kuat bahwa vonis Muchdi bukan putusan bebas murni. Dengan celah inilah permintaan kasasi diajukan.
Nah, justru alasan itulah yang menurut Mahkamah Agung tidak bisa dibuktikan. Menurut Hatta Ali, jaksa justru lebih menyoroti adanya kekeliruan dalam penilaian hasil pembuktian. ”Itu bukan alasan untuk mengajukan kasasi,” kata Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung itu. Mahkamah menilai memori itu lemah. Busyro menyatakan hal yang sama. Karena itu, ujar Busyro, pihaknya tidak bisa memeriksa hakim Mahkamah karena putusannya lebih pada prosedur beracara.
Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, Usman Hamid, menyayangkan putusan Mahkamah itu. Menurut dia, Mahkamah tidak konsisten karena putusan itu bertolak belakang dengan putusan atas Polly. Usman menganggap Mahkamah tak ”menguliti” bahan memori kasasi itu. ”Di sisi lain, jaksa juga tak sungguh-sungguh,” katanya.
Usman berharap jaksa menyiapkan amunisi untuk upaya peninjauan kembali. Kejaksaan juga diminta bekerja sama dengan kepolisian untuk menemukan bukti baru yang bisa menjerat Muchdi. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir berjanji akan mengawal dan membantu poses itu. ”PK ini pertaruhan. Ini mengenai citra penegakan hukum dan hak asasi manusia di dunia international,” katanya.
Kejaksaan tidak mau disalahkan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengaku pihaknya sudah berusaha maksimal. Ritonga berjanji akan melakukan upaya yang lebih baik dalam permohonan peninjauan kembali nanti. Dia pun siap mengganti jaksa yang menangani kasus ini. ”Upayanya jelas, maksimal untuk menegakkan hukum,” ujarnya.
Adapun pihak Muchdi menyambut putusan itu dengan sukacita. Pengacara Muchdi, Mahendradatta, menyatakan akan mengajukan permohonan peninjauan kembali jika jaksa mengajukan permohonan itu. ”PK itu hak terdakwa,” katanya.
Mahkamah Agung mempersilakan kedua pihak mengajukan permohonan peninjauan kembali. Menurut Hatta, yang paling penting ada alasannya, yaitu ditemukan novum atau bukti baru, bukan bukti lama yang diperbarui. ”Kalau sifatnya menyentuh rasa keadilan, PK diperbolehkan,” ujarnya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo