Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gayus Halomoan Tambunan muncul dengan wajah lemas di depan pengacaranya, Hotma Sitompoel. Rabu pekan lalu, Hotma mengunjungi kliennya itu di penjara Cipinang untuk menjenguk sekaligus mengabarkan putusan Mahkamah Agung yang menambah hukuman untuk Gayus. Gayus rupanya sudah mendengar berita itu. "Vonis saya kok bertambah terus? Jadi 12 tahun, ya?" kata Gayus seperti ditirukan Hotma kepada Tempo. Hotma membalas pertanyaan itu dengan mengangkat bahu.
Sepekan sebelumnya majelis kasasi memang telah memutus perkara penyelewengan pajak yang dilakukan Gayus. Selain memvonis 12 tahun penjara, majelis menghukum Gayus membayar denda Rp 500 juta. Vonis itu merupakan putusan atas kasasi yang diajukan kejaksaan. Menurut Hotma, pihaknya juga mengajukan permohonan kasasi atas kasus ini. "Keberatan kami memang selalu ditolak," kata Hotma.
Vonis itu memang lebih berat ketimbang vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Januari silam. Saat itu pria 33 tahun itu divonis tujuh tahun penjara plus denda Rp 300 juta. Gayus meminta banding. Tapi pengadilan banding menghukumnya lebih berat, menjadi 10 tahun penjara. Dan kini Mahkamah menaikkan lagi angka itu.
Pegawai Kementerian Keuangan golongan IIIa ini dinyatakan terbukti korupsi saat menangani pajak PT Surya Alam Tunggal, perusahaan perikanan di Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat ulahnya, negara dirugikan Rp 571 juta. Saat awal penyidikan kasus ini, Gayus menyuap Komisaris Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Besar Sri Sumartini, penyidik Markas Besar Polri. Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Muhtadi Asnun, juga turut ia suap. Gayus juga sempat membuat heboh lantaran saat ditahan ia ternyata keluyuran di Bali, menonton kejuaraan tenis di Nusa Dua.
Nah, rangkaian perbuatan itulah yang membuat para hakim menambah hukuman untuk bapak tiga anak itu. "Seharusnya ia tak membuat kejahatan-kejahatan baru saat ditahan," kata Krisna Harahap, salah seorang anggota majelis hakim kasasi Gayus, kepada Tempo.
Menurut Krisna alasan paling utama diperberatnya hukuman terhadap Gayus, menurut majelis, kasus kejahatan pajak yang dilakukannya masuk golongan kejahatan berat. Saat ini, kata Krisna, keuangan negara serba kekurangan. Bila pajak yang ditangani Gayus itu disetor ke kas negara, itu akan sangat membantu pembangunan. "Kini kan pembangunan seret, ujung-ujungnya rakyat makin melarat."
Majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar tak butuh perdebatan panjang untuk menjatuhkan vonis terhadap kasasi ini. Kejahatan yang dilakukan Gayus, kata Krisna, sudah sangat nyata. Putusan diambil bulat, tak terjadi dissenting opinion alias perbedaan pendapat. "Suara majelis benar-benar bulat," kata Krisna. Selain Artidjo dan Krisna, hakim yang menangani perkara ini adalah Syamsul Chaniago.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmat, emoh mengomentari vonis yang dijatuhkan Mahkamah Agung. Alasan Noor, kejaksaan belum menerima salinan putusan dari MA. "Prinsipnya, keadilan harus ditegakkan," katanya.
Hotma juga mengaku belum menerima salinan putusan MA. Ia menyesalkan hakim yang tidak mempertimbangkan pengakuan dan penyesalan Gayus di berbagai sidang yang sudah dan sedang dijalaninya. Selain sudah disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Gayus kini memang tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Tangerang atas dakwaan pemalsuan paspor dan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas dakwaan suap kepada penjaga rumah tahanan Brimob. "Harusnya pengakuannya itu disambut positif," kata Hotma. Menurut Hotma, hakim lebih mengutamakan opini publik yang serentak menghukum Gayus ketimbang fakta hukumnya.
Krisna menyatakan pengakuan-pengakuan Gayus itu tak berpengaruh atas perkaranya yang dipegang majelis hakim kasasi. Majelis, katanya, berpegang pada surat dakwaan. Saat di pengadilan negeri, ujarnya, Gayus awalnya bahkan dituntut 20 tahun penjara. "Jadi, kami ini tidak mungkin menghukum dengan asal-asalan," katanya. Dia juga menegaskan, dalam menyidangkan kasus Gayus, majelis tidak tunduk atau terpengaruh apa pun, termasuk opini publik. "Sedikit pun tak ada tekanan kepada hakim."
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo