Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAEKUNI, 49 tahun, menunjuk ke arah dua batang pohon mahoni yang menjulang. ”Di sini,” kata laki-laki yang biasa dipanggil Babe itu kepada Ajun Komisaris Polisi Danang Aji, Ketua Tim Penyidikan dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis pekan lalu. Setelah digali, di bawah tanah milik Baekuni di Dusun Mranggen, Desa Kajoran, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu ditemukan karung goni yang tampak membungkus sesuatu.
”Ini diduga mayat Ardi,” tutur Danang setelah membuka karung itu. Baekuni pun membenarkan. Jenazah bocah 11 tahun itu dikubur dengan tubuh terpotong empat bagian: kepala, dada, serta kaki kanan dan kiri yang dipotong pada bagian lutut.
Polisi lalu meminta Baekuni merekonstruksi proses pembunuhan Ardi yang terjadi lima tahun silam. Menurut Baekuni, Ardi, yang dikenalnya di Terminal Bus Pulogadung, dibawanya ke ladang dan diminta ”melayaninya”. ”Ayo main,” kata Baekuni. ”Main apa?” tanya Ardi. Setelah tahu hendak disodomi, Ardi menolak. ”Karena dia nolak, saya bunuh, lehernya saya jerat pakai tali.”
Ardi, yang mati dalam posisi nyaris sujud, disodomi. Sesudahnya, tubuh anak baru gede itu dimutilasi, dan potongannya dimasukkan ke karung, lalu dikubur. ”Pisau dan tali saya bawa dari rumah,” ujar Baekuni setelah mereka ulang proses pembunuhan.
Berikutnya, polisi menggiring Baekuni ke Desa Grantung, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Di desa ini, Baekuni mengaku membunuh Irawan Imron, 12 tahun, pada 26 Agustus 1999. Potongan tubuhnya dipendam di area persawahan yang biasa disebut warga setempat ”pasung”. Nasib korban yang dikenal Baekuni di Terminal Bus Kampung Rambutan itu sama seperti Ardi. Tubuhnya dipotong dua bagian, kepala dan badan.
”Kepalanya saya bawa ke Jakarta naik bus umum. Badannya ditinggal di sini,” Baekuni mengaku. Kepala Irawan memang ditemukan di Terminal Bus Kampung Rambutan. Tubuhnya ditemukan warga Desa Grantung, yang kemudian mengirimnya ke Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Setelah dicocokkan melalui data forensik, ”Dua bagian jenazah ini identik,” ujar Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Purworejo Ajun Komisaris Polisi Suliyanto.
Irawan adalah korban ketiga dan Ardi yang keempat. ”Karya” pertama Baekuni adalah Teguh, 12 tahun, yang dibunuh pada 1998. Berikutnya, Aris, 8 tahun, dihabisi pada tahun yang sama. Keduanya dibawa Baekuni dari Jakarta ke Desa Ciwaru, Kuningan, Jawa Barat. Baekuni memotong mayat Teguh dengan gergaji menjadi dua bagian dan Aris tujuh bagian. Mayat keduanya dihanyutkan di Sungai Ciwaru dan ditemukan warga beberapa hari kemudian.
Kejahatan Baekuni baru terungkap Sabtu, 9 November lalu, setelah sehari sebelumnya ditemukan jasad terpotong empat tanpa kepala di Cakung, Jakarta Timur. Mayat yang kemudian dikenal sebagai Ardiansyah, 9 tahun, ini membawa polisi ke sosok yang dikenal baik oleh anak-anak. Baekuni adalah koordinator pedagang asongan dan anak-anak pengamen jalanan di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.
Ardiansyah adalah korban kesepuluh. Adapun korban kelima hingga kesembilan adalah Riki, 9 tahun (2005); Yusuf Maulana, 8 (2007); Adi, 12 (2007); Rio, 12 (2008); dan Arif Kecil, 8, yang dibunuh pada 2008. Baekuni menerapkan pola hampir serupa terhadap semua korbannya, yakni menjerat leher dengan tali rafia sampai mati, disodomi, lalu dimutilasi. Hanya Arif Kecil yang tidak disodomi. ”Dia tidak tega, karena terlalu kecil,” kata Profesor Sarlito Wirawan, psikolog yang diminta polisi memeriksa kejiwaan Baekuni. Riki dan Yusuf Maulana juga tidak dimutilasi.
Menurut Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Nico Afinta, mutilasi dilakukan Baekuni untuk menutupi jejak. ”Awalnya potong jadi dua, lalu empat di dekat dada, terakhir potongannya lebih halus di dekat perut,” dia menjelaskan. Namun, menurut Sarlito, lelaki ini tak paham anatomi tubuh. ”Dia mahir memutilasi karena pengalaman,” paparnya kepada Tempo.
Dalam kasus Ardiansyah, anak Gang Ketut, RT 4 RW 7, Cakung, menurut Sarlito, Baekuni melanggar pola baku praktek kejahatannya karena menjadikan anak asuhnya sebagai sasaran sodomi. Maka, ketika mayat Ardiansyah ditemukan, Nurhamidah, ibu korban, langsung mengenali dan menduga Baekuni pelakunya. Polisi mendapatkan petunjuk dari kesalahan itu.
Sarlito menambahkan, Baekuni adalah seorang homoseksual, pedofil, pengidap nekrofilia (menyukai hubungan seks dengan mayat), sekaligus kompulsif. Sejak kecil dia tak punya ketertarikan seksual terhadap perempuan. ”Selama tiga kali menikah pun, Baekuni mengaku tidak pernah berhubungan suami-istri,” tuturnya.
Baekuni merantau ke Jakarta pada usia 12 tahun dan menjadi pengamen di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dia mengaku sempat menjadi korban kekerasan seksual. Tapi kejadian itu, menurut Sarlito, bukan penyebab dia suka berhubungan seks dengan anak kecil. ”Itu memang bawaan lahir,” katanya.
Penyandang pedofilia, menurut Sarlito, punya ciri-ciri tertentu. Tingkat inteligensianya kurang, tubuhnya lebih pendek dari rata-rata, lajang, dan senang memelihara anak-anak di rumahnya. ”Semua ciri ini ada pada Baekuni,” ujarnya. Kelebihan warga Gang Masjid H Murdalim, RT 6 RW 2, Kelurahan Pulogadung, Jakarta Timur, ini adalah pandai bergaul.
Tetangga Baekuni di Desa Mranggen tak pernah mengira kelainan yang diidapnya. Kebiasaannya membawa anak-anak lelaki kecil diduga karena Baekuni tak punya anak. ”Kami dengar dia mandul,” kata Mustarofin, seorang penduduk di kampung halaman Babe.
Budiyanto—kerabat Baekuni—menambahkan, anak-anak yang dibawa pamannya ini biasanya berkulit putih dan ganteng. Baekuni suka memandikan anak-anak yang usianya belum 10 tahun. ”Rambutnya disisirin,” ujarnya. Ketika terakhir bertemu dengan Baekuni, 20 Januari lalu, saat polisi melakukan rekonstruksi di tempat kematian Ardiansyah, tak banyak kata yang diucapkan sang paman. ”Dia berpesan, kalau nanti dihukum mati, supaya dikubur di samping kakaknya, Pak Sambudi,” kata Budiyanto.
Atas perbuatannya, Baekuni diancam Pasal 340 juncto 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan vonis hukuman mati. Polisi kini sudah mengumpulkan banyak barang bukti, antara lain pisau, karung plastik, puluhan foto anak, gergaji, dan papan kayu. Sarlito juga menyatakan dia sehat secara psikis. ”Dia bisa menjalani proses hukum,” kata Nico.
Dari kacamata kuasa hukum Baekuni, Haposan Hutagalung, kliennya itu tidak pernah berniat membunuh. Karena korban melawan, Baekuni terpaksa bertindak. Sarlito memberikan pandangan berbeda. Apabila pembunuhan dan mutilasi itu dilakukan pada kasus pertama, ”Bisa disebut sebagai pembunuhan tidak direncanakan,” katanya. Yang terjadi pada Baekuni, menurut dia, setelah membunuh, dia merasa sukses, dan menyiapkan antisipasi atas penolakan korban. ”Makanya dia menyiapkan pisau dan tali,” tuturnya.
Anak jalanan memang rawan menjadi korban kejahatan. Kekerasan seksual, penganiayaan, dan berbagai bentuk ancaman kejahatan lainnya merupakan risiko yang harus mereka hadapi sehari-hari. Sodomi, pembunuhan, dan mutilasi seperti yang dilakukan Baekuni ini juga bukan yang pertama kali. Siswanto atau Robot Gedek, ”pendahulu” Baekuni, membunuh 12 anak.
Setelah kegemparan yang diakibatkan aksi Baekuni, Polda Metro Jaya berkerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, Kamis pekan lalu, mendata anak jalanan di sejumlah kantong penampungan. Pihak berwenang mendatangi tempat-tempat di Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Bekasi. Menurut juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, pemerintah DKI Jakarta tidak melakukan pendataan terhadap anak-anak jalanan sejak 2002.
Anne L. Handayani, Agung Sedayu, Sofian, Pito Agustin Rudiana (Magelang), Heru C.N. (Purworejo), Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo