Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARI-JARI tangan Ali Abbas dengan segera mengetik sebaris pesan pendek dari telepon selulernya untuk dikirim ke Jusuf Kalla. Hari itu, Senin, 30 November 2009, klien Abbas itu dihukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kalla, wakil presiden di Kabinet Indonesia Bersatu pertama, harus membayar ganti rugi Rp 72 juta karena mencemarkan nama baik Raden Panji Utomo, dokter yang menjadi relawan di Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami. Ia juga harus minta maaf lewat iklan di televisi dan media cetak.
Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai F.X. Jiwo Santoso menyatakan Kalla telah menyerang kehormatan Panji, yang menggugat. Di Istana Wakil Presiden, pada 22 September 2006, Kalla mengeluarkan perkataan yang membuat Panji tersinggung. Kepada wartawan, Kalla menyebut Direktur Forum Komunikasi Antar-Barak (Forak) itu sebagai orang yang tak waras karena minta ditransfer Rp 5 triliun ke rekening pribadinya. Pernyataan Kalla dikutip oleh Media Indonesia dan Pos Kota—dua koran ini juga turut digugat—yang terbit keesokan harinya.
Berita itu baru diketahui Panji setahun kemudian, setelah dia bebas dari penjara. ”Kalau saya gila, tidak mungkin jadi dokter,” katanya, Kamis pekan lalu. Ia dibui tiga bulan karena memimpin demo di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, 20 September 2006, yang berakhir ricuh.
Panji menampik tuduhan meminta uang saat memimpin demo ribuan pengungsi dari 10 kabupaten di Aceh ke kantor yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto itu. Menurut dia, pengungsi hanya meminta modal usaha Rp 15 juta untuk janda dan Rp 12 juta bagi tiap keluarga. Permintaan inilah yang dilaporkan Kuntoro kepada Kalla. Angka triliunan rupiah itu muncul dari penjumlahan tuntutan pendemo dikalikan jumlah pengungsi korban tsunami.
Pernyataan Kalla, menurut Panji, secara tak langsung menuduh dirinya memeras BRR, yang mendapat dana dari anggaran negara dan donor luar negeri. Panji tak punya nyali menggugat Kalla ketika masih berkuasa. Gugatan baru dilayangkan pada 1 Juni 2009, menjelang kampanye pemilihan presiden, saat Kalla mencalonkan diri sebagai presiden. ”Kami tidak yakin menang, maka, ketika pembacaan putusan, saya tidak datang,” kata Wakil Kamal, kuasa hukum Panji. Hakim memberikan kejutan besar dengan mengabulkan gugatan itu.
Selain didenda, Kalla diperintahkan meminta maaf lewat iklan setengah halaman tiga hari berturut-turut di harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Pos Kota. Permintaan maaf juga harus disampaikan lewat televisi dengan durasi tiga menit di TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, dan Metro TV. Tidak cukup itu saja, permintaan maaf harus ada di majalah Tempo, Gatra, dan Forum. Tapi Kalla menanggapi kekalahannya dengan dingin. Dia hanya memerintahkan kuasa hukumnya, Ali Abbas, melawan dengan banding.
Menurut Abbas, jika hakim lebih jeli, gugatan itu seharusnya gugur karena kedaluwarsa. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tuntutan pencemaran nama baik dapat diajukan paling lama satu tahun sejak perbuatan dilakukan. Hitungan mereka, kasus ini baru diungkit-ungkit lagi setelah dua tahun delapan bulan. ”Dia pasti tahu berita ini karena ini koran nasional,” ujar Abbas.
Ini bukan pertama kali Kalla harus ke meja hijau karena ucapannya. Mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 17 Mei 2007 pernah menggugat pria kelahiran Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, itu dengan pasal yang sama. Kalla digugat Rp 1,1 triliun karena mengatakan pernah menolak permintaan uang oleh Gus Dur sewaktu dirinya menjabat Kepala Badan Urusan Logistik sehingga dirinya dipecat. Kasus ini selesai setelah Kalla dan Gus Dur berjabat tangan di Hotel Four Seasons, 17 Juli 2007.
Dengan Panji, Kalla tak sudi meminta maaf. Ia memilih melanjutkan kasusnya hingga berkekuatan hukum tetap. Abbas mengatakan kliennya tak berniat mencemarkan nama baik Panji. Kalla yakin, pendiri Forak itu meminta uang Rp 5 triliun, seperti laporan Kuntoro.
Pihak lawan sebenarnya masih membuka pintu perdamaian. ”Pak JK (Jusuf Kalla) harusnya legawa minta maaf dan tidak meneruskan kasus ini,” kata Wakil Kamal. Panji, menurut dia, hanya ingin stempel sebagai pemeras tak melekat pada dirinya. Jika tidak, Kalla harus menyisihkan uang miliaran rupiah untuk mengongkosi iklan permintaan maaf bila putusan sudah berkekuatan hukum tetap. ”Saya sebenarnya tidak rela Pak JK minta maaf seperti itu,” ujar Wakil Kamal.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo