Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKOTAK nasi goreng Bakmi GM dan segelas teh manis hangat menjadi menu buka puasa empat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat pekan lalu. Acara buka puasa bersama kali ini berbeda dari biasanya karena dilakukan di tengah pemeriksaan mereka oleh penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Empat pemimpin Komisi yang menjalani pemeriksaan adalah Wakil Ketua Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, serta Wakil Ketua Bidang Pencegahan Mochammad Jasin dan Haryono Umar.
Sumber Tempo yang mengikuti pemeriksaan itu mengatakan, tak satu pun pemimpin Komisi yang menghabiskan santapan berbukanya. ”Saya tak boleh makan nasi terlalu banyak, nanti gula darahnya naik,” kata Bibit kepada Tempo, Ahad lalu.
Empat pemimpin itu diperiksa terpisah. Bibit, Jasin, dan Haryono diperiksa di ruang kerja penyidik, sedangkan Chandra diperiksa di ruang rapat lantai empat gedung Bareskrim Markas Besar Polri. Masing-masing ”diinterogasi” dua orang penyidik; satu yang mengajukan pertanyaan, satu lagi bertugas mengetik jawaban di komputer jinjing. Selama pemeriksaan, empat pemimpin komisi itu didampingi pejabat Biro Hukum KPK.
Pemeriksaan ini bermula dari laporan Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar kepada polisi pada 6 Juli lalu, sehubungan dengan dugaan suap terhadap oknum KPK. Dalam laporannya, Antasari menyertakan sebuah testimoni empat lembar yang ditulisnya pada 16 Mei 2009 dan sebuah rekaman percakapannya dengan Direktur PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo, di Singapura pada Oktober tahun lalu. Testimoni dan rekaman percakapan itu menyebut Anggoro telah menyerahkan uang Rp 5,1 miliar kepada oknum KPK agar kasusnya dibereskan.
Atas laporan itu, polisi lantas memanggil pemimpin KPK pada 2 September silam. Dalam surat itu, mereka di-duga melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menyalahgunakan kewenangan. Selain empat pemimpin komisi, polisi juga memanggil Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi, Biro Hukum KPK Khaidir Ramli, satgas penyelidik KPK Arry Widiatmoko, dan penyidik KPK Rony Samtana.
Namun panggilan ini tak langsung bersambut. ”Dalam pemanggilan pertama, kami merasa belum jelas,” kata Bibit. ”Kami disangka menerima suap, padahal tidak.” Polisi kemudian melayangkan panggilan kedua pada 7 September lalu. Esok harinya, Rony memenuhi panggilan tersebut, disusul dengan pejabat KPK lainnya.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung sekitar sepuluh jam itu, para pemimpin KPK dicecar seputar prosedur penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. ”Secara umum saja,” kata Chandra setelah diperiksa. Penyidik juga memfokuskan pertanyaan tentang pencekalan terhadap Joko Soegiarto Tjandra dan Anggoro Widjojo ketika masih berstatus saksi dan pencabutan cekal mereka.
Komisi mencekal Direktur PT Era Giat Prima, Joko Tjandra, pada 24 April 2008 lantaran namanya disebut-sebut dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dengan Artalyta Suryani. Dari penyadapan pembicaraan Artalyta dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman, muncul nama ”Joker”, yang diduga nama sandi Joko Tjandra. Belakangan, komisi tak menemukan bukti keterlibatan Joko Tjandra dalam kasus suap itu, sehingga cekalnya dicabut pada 26 September tahun lalu.
Adapun Anggoro Widjojo telah dicekal sejak 22 Agustus 2008 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Komisi kemudian menetapkan Anggoro sebagai tersangka dan buron pada 23 Juni lalu. Namun muncul surat pencabutan cekal terhadap Anggoro tertanggal 5 Juni 2009, yang ditandatangani Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra Hamzah. Komisi menyatakan surat itu palsu dan cekal terhadap Anggoro tak pernah dicabut.
Awal Agustus lalu, Komisi juga telah melaporkan kasus pemalsuan surat pencabutan cekal itu ke polisi dan tengah menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Antasari karena bertemu dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK. Adapun kuasa hukum Anggoro Widjojo, Bonaran Situmeang, juga telah melaporkan kasus pemerasan terhadap kliennya kepada Mabes Polri. Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan Ary Muladi sebagai tersangka. Kepada penyidik Ary mengaku pembagian uang kepada pemimpin KPK itu hanya cerita karangannya.
Mengenai pencekalan, Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa mengatakan kewenangan Komisi melakukan pencekalan merupakan kewenangan khusus. ”Jika ada peraturan lain yang bertentangan, yang berlaku adalah peraturan khusus,” kata Harifin. Pada 2 Desember 2004 Mahkamah Agung menyatakan pasal yang mengatur soal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan ketentuan khusus.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto mengatakan, Komisi akan mengikuti prosedur pemeriksaan yang dilakukan penyidik polisi. ”Mungkin mereka ingin tahu bagaimana proses kerja KPK,” kata pensiunan jenderal bintang dua ini.
Mengenai pemeriksaan pemimpin Komisi ini, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengatakan, pemeriksaan itu berdasarkan testimoni Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar. ”Itu awalnya dari sana,” katanya. Mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang pencekalan terhadap Joko Tjandra dan Anggoro Widjojo yang dilakukan pemimpin KPK itu, Nanan mengaku, ”Saya tidak tahu tentang detail testimoni yang menjadi bahan pemeriksaan.”
Di tengah gesekan antara polisi dan KPK, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan ada pemimpin Komisi yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang ini. ”Sekilas saya lihat C,” katanya menyebut inisial pemimpin KPK yang dimaksud. ”C” ini merujuk pada Chandra Hamzah, yang menandatangani surat pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. Namun Nanan Soekarna belum memastikan ada tersangka atau tidak dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan ini. ”Kemungkinannya bisa ada bisa tidak,” kata Nanan. Adapun Chandra menolak berkomentar perihal dirinya yang disebut-sebut telah menjadi tersangka. ”Yang jelas, saya dipanggil sebagai saksi,” katanya.
Sementara polisi sedang memproses dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemimpin KPK, KPK juga tengah menelusuri dugaan keterlibatan pejabat kepolisian yang berinisial SD dalam kasus pencairan dana nasabah Bank Century, Budi Sampoerna, sebesar US$ 18 juta atau sekitar Rp 180 miliar. ”Kami akan mengkaji apakah ada indikasi SD ini terlibat,” kata Bibit. Inisial SD itu diduga merujuk pada Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Namun Susno membantah kecipratan dana Bank Century itu. ”Boro-boro, ongkos saya ke luar negeri juga belum diganti,” katanya dalam wawancara dengan Tempo.
Ketua Dewan Etik Indonesia Corruption Watch Dadang Trisasongko mengindikasikan pemeriksaan terhadap pemimpin komisi ini adalah gerakan sistematis untuk melemahkan KPK. ”Ini kepentingan kelompok tertentu yang selama ini dirugikan KPK,” kata Dadang.
Menurut dia, masih banyak tugas polisi yang lebih serius ketimbang memeriksa pemimpin KPK dan mempermasalahkan kewenangannya. Dia menambahkan, langkah polisi yang memeriksa pemimpin komisi ini justru membahayakan posisi Presiden. ”Karena pada masa Presiden ini posisi KPK diperlemah,” katanya. ”Hanya Presiden yang bisa menghentikan polisi.”
Staf khusus kepresidenan bidang hukum, Denny Indrayana, meyakinkan posisi Presiden tak akan terusik dengan isu pelemahan KPK. ”Tidak boleh ada upaya melemahkan pemberantasan korupsi oleh siapa pun,” kata Denny mengutip pernyataan Presiden. Mengenai proses hukum terhadap pemimpin KPK, Denny mengatakan, tak ada seorang pun yang kebal hukum. ”Kalau ada bukti kuat, siapa pun harus diproses secara hukum,” katanya.
Susno Duadji menolak berkomentar perihal pemeriksaan terhadap pemimpin KPK ini. ”Saya belum baca penjelasan Humas Polri,” katanya melalui surat elektronik.
Rini Kustiani, Ramidi, Famega Syavira, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo