Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN itu dikirim ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2005. Ditujukan ke Wakil Ketua Komisi Erry Riyana Hardjapamekas, isinya menjelaskan soal gali lubang-tutup lubang yang dilakukan Robert Tantular untuk menambah modal di Bank CIC Internasional.
Dalam laporan itu dijelaskan soal aliran dana masyarakat sekitar US$ 70 juta dari Bank CIC yang ujung-ujungnya berlabuh ke Chinkara Capital Ltd. di Singapura dan Outlook Investment Plc. di Irlandia. Chinkara tak lain salah satu pemegang saham Bank CIC. Pengaliran dana itu berlangsung pada 2002.
Berbagai transaksi perbankan fiktif itu juga pernah terungkap tatkala Direktorat Pengawasan Bank Indonesia membentuk tim on-site supervisory presence (OSP). Tim ini dibentuk pada April 2002, setelah Bank CIC masuk daftar pengawasan khusus dan dikenai status cease and desist order (perintah kepada bank melakukan kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh melakukan kegiatan usaha tertentu).
Tim bertugas mengawasi perbaikan kinerja Bank CIC, dari meningkatkan kualitas aktiva produktif hingga menyuntikkan modal tambahan US$ 75 juta, seperti tertuang dalam capital restoration plan. Tim juga bertugas memantau pelaksanaan cease and desist order.
Targetnya, setelah masa pengawasan khusus berakhir pada akhir 2002, bank ini harus memiliki rasio kecukupan modal minimal 8 persen. Bukan kerja mudah mengingat rasio modal CIC merah menyala: minus 60,07 persen per Februari 2002. Modal segar yang dibutuhkan Rp 1,88 triliun. Bila tidak terpenuhi, Bank CIC harus tutup pintu.
Bukan perbaikan yang didapat, tim ini malah menemukan patgulipat baru. Bank CIC melakukan transaksi perbankan yang kebanyakan mengalir buat kepentingan Robert Tantular. Kredit macetnya US$ 59,4 juta plus Rp 120,973 miliar (total US$ 70 juta). Berbagai akrobat itu belum terungkap saat bank ditetapkan masuk pengawasan khusus pada Maret 2002. Temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti (Tempo, 11-17 Januari 2010).
Ke mana dana mengalir? Sumber Tempo mengatakan, dana masyarakat yang disedot dari CIC itu sejatinya digunakan pemegang saham untuk menyuntikkan modal seperti yang tertuang dalam capital restoration plan. Begini urut-urutannya. Setelah terkumpul di Chinkara, dana itu dialirkan ke Outlook Investment. Oleh Outlook, fulus US$ 70 juta tadi disetorkan kembali ke Bank CIC sebagai tambahan modal pada awal 2003.
Nah, untuk menutup dana US$ 70 juta itu, Robert memerintahkan agar ditimbulkan biaya perkara Rp 1 triliun dengan cara menguber-uber debitor macet CIC. ”Robert ketika itu membabi buta mencari kambing hitam untuk diperkarakan,” kata seorang sumber.
Pos biaya perkara ini lalu ditampung di dalam pos rupa-rupa aktiva, sehingga dapat ditangguhkan pembiayaannya (diamortisasi) setiap bulan selama 10 tahun. Alhasil, biaya yang timbul dan dibukukan setiap bulan Rp 8 miliar. Padahal, kata sumber tadi, bila dilakukan set off biaya, bank akan dibebani biaya perkara yang langsung menggerus modal hingga kembali minus.
Biaya perkara itu, kata sumber lain, dipecah dua. Yang pertama dipakai untuk menutup rekayasa transaksi US$ 70 juta. Sisanya sebagai ongkos membiayai mafia peradilan dengan mengkambinghitamkan nasabah CIC yang dianggap tidak kooperatif.
Robert membantah keterlibatannya. ”Itu urusan direksi,” katanya. Di depan anggota Panitia Khusus Hak Angket Bank Century dua pekan lalu, Robert mengaku sudah tidak aktif di CIC sejak 1999. Bambang Hartono, pengacara Robert, juga mengatakan kliennya tidak tahu urusan itu karena tak lagi di manajemen.
Ditanya soal ini, Erry Riyana Hardjapamekas membenarkan pernah menerima laporan soal kasus tersebut. Kasus ini, kata dia, dilimpahkan ke kepolisian dan Bank Indonesia karena masuk delik pidana kejahatan perbankan. Tapi kini kasus itu menguap.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo