Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sorot mata Sirhan Nizar Salim Sether menajam. Kepada dua orang yang mengunjunginya di lembaga pemasyarakatan Tual, Maluku, ia kembali menegaskan isi hatinya. "Beta tidak gentar," katanya, seperti ditirukan Koordinator Advokasi Maluku Media Center, Almudatsir Sangaji, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Menurut Almudatsir, tak terlihat raut kesusahan atau kesedihan di wajah Nizar. Padahal sudah dua bulan Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Malanesia itu mendekam di sel penjara.
Ongen, panggilan Almudatsir, hari itu tengah menemani Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana menjenguk Nizar. Dewan Pers mengirim Hendrayana dari Jakarta untuk memastikan keadaan pria berusia 33 tahun itu. Bulan lalu polisi dari Maluku Tenggara datang ke Dewan Pers atas perintah kejaksaan. Mereka mengabarkan Nizar dipenjara karena kasus perusakan mobil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku Tenggara. "Kabar itu salah. Dia dipenjara karena kasus pencemaran nama baik," kata Hendrayana.
Nizar, yang memimpin Suara Malanesia sejak tabloid mingguan itu terbit setahun lalu, dijebloskan ke bui oleh polisi atas pengaduan Bupati Maluku Tenggara Anderias Rentanubun. Gara-garanya sebuah kutipan di dalam Suara Malanesia yang terbit pada 8 November tahun lalu. Kutipan dalam berita berjudul "Ari-Edi Kenal Sosok Karmelia" di halaman empat itu berbunyi, "Jangankan anggota Dewan, orang nomor satu di Kabupaten Maluku Tenggara pun ada di belakang Karmelia."
Nizar membuat berita itu setelah mewawancarai Ari dan Edi. Keduanya terpidana kasus narkoba yang telah divonis lima tahun penjara. Adapun Karmelia adalah seseorang yang diduga bandar besar narkoba yang memimpin jaringan di Maluku Tenggara dan Kota Tual. Keberadaannya selama ini masih misterius. Polisi pun belum bisa menangkapnya. Ari dan Edi bercerita banyak kepada Nizar tentang sepak terjang bos mereka itu. "Keduanya menyebut banyak beking di belakang Karmelia," kata Hendrayana.
Meski berita itu tak langsung menyebut nama, Anderias berang. Ia merasa kutipan itu menunjuk hidungnya. Berita itu juga ia anggap tak etis karena tak ada konfirmasi. Anderias mengaku sempat ingin melayangkan somasi ke Suara Malanesia. Tapi, katanya, Nizar enggan meladeni somasi itu. Ia pun kecewa. Apalagi selama ini Anderias merasa berhubungan baik dengan Nizar. "Dia menantang saya agar melapor ke polisi," kata Anderias kepada Tempo.
Berbekal berita di tabloid yang oplahnya sekali terbit sekitar 700 eksemplar itu, Anderias melapor ke polisi. Ia menuduh Nizar melanggar Pasal 311 dan 335 KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik. Laporan ini sempat mengendap empat bulan di meja penyidik sebelum akhirnya keluar panggilan kedua pada 18 Mei lalu. "Ia langsung ditangkap," kata Ongen.
Dewan Pers menganggap penangkapan dan penahanan Nizar di penjara itu pelanggaran hukum. Menurut Hendrayana, inilah untuk pertama kalinya seorang wartawan di Indonesia ditahan atas kasus pencemaran nama baik. Selama ini, dalam sidang sengketa pers di pengadilan, ujar Hendrayana, tak pernah ada penahanan. Pasal pencemaran nama baik ancamannya setahun penjara, bukan lima tahun, yang mengharuskan tersangka ditahan. Kamis pekan lalu Hendrayana meminta penangguhan penahanan Nizar. "Dewan Pers jadi penjamin," katanya.
Surat itu ampuh. Seusai salat Jumat pekan lalu, Nizar dibebaskan. Ia kini sudah berkumpul lagi dengan istri dan tiga anaknya. Ia mengaku tak kapok menjadi wartawan walau ia mendengar ada kabar yang menyebut ia menjadi "target operasi" bandar narkoba setelah keluar dari penjara. Ada segudang rencana yang sudah ia susun untuk menghidupkan kembali Suara Malanesia, yang sempat "pingsan" karena ia tinggal. "Penahanan ini menjadi semangat baru bagi saya," katanya kepada Tempo lewat sambungan telepon, satu jam setelah ia bebas.
Kepala Polres Maluku Tenggara Ajun Komisaris Besar Suranta Pinem tak buru-buru menutup kasus ini. Meski Nizar dibebaskan, katanya, tak lantas perkara ini dihentikan. "Berkasnya kini sudah di tangan kejaksaan," kata Suranta. Menurut dia, penahanan Nizar sudah tepat. Hanya, Suranta tidak menyebut alasannya. "Kami sangat hati-hati menangani kasus ini," katanya.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo