Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah pria berseragam itu langsung sumringah saat tangannya menemukan benda mirip uang logam berwarna cokelat. Senin dua pekan silam, bersama tim Seksi Penindakan Bea dan Cukai, ia menggerebek sebuah gudang di Jalan Bandengan Utara, Jakarta Utara. Itulah gudang yang dicurigai sebagai tempat penimbunan trenggiling yang akan diselundupkan.
Bea-Cukai tak sendiri menyerbu ke gudang milik Edy Hermansyah tersebut. Bersama mereka ikut pula aparat Badan Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta.
Adapun benda bulat mirip koin yang ditemukan di salah satu tumpukan kotak itu adalah sisik trenggiling. Ribuan sisik itu ditemukan bersama tubuh-tubuh trenggiling yang sudah "telanjang" membeku serta disimpan pada tempat berbeda. "Gudang itu tempat penyimpanan trenggiling yang belum sempat diekspor," kata Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Soekarno-Hatta Gatot Sugeng Wibowo, yang ikut dalam penggerebekan.
Total di dalam gudang itu petugas menemukan 1.200 kilogram tubuh trenggiling dan 380 kilogram sisik trenggiling. Masing-masing tersimpan dalam empat kotak pendingin dan 19 dus. Hari itu Edy Hermansyah alias Edy Ong langsung ditahan. Bersama pria 53 tahun itu ikut dijebloskan Kanta, Nardi, dan Imbuh. Ketiganya pegawai Edy.
Penggerebekan gudang milik Edy bermula ketika petugas menangkap Kanta, 48 tahun. Saat itu Kanta hendak mengirim daging dan sisik trenggiling—binatang yang masuk kategori dilindungi—ke Singapura menggunakan pesawat AirAsia. Petugas Bea-Cukai memergoki dokumen pengiriman tak sesuai dengan isinya. "Dokumennya tertulis ikan segar," kata Kepala Kantor Wilayah Bea-Cukai Banten Cirus F. Sidjabat. Dari Kanta, nama Edy pun lalu muncul. Kepada petugas, Edy mengaku trenggiling itu diperolehnya dari Jambi, Palembang, Banjarmasin, dan Pontianak. Ia membeli dari pemasok Rp 250 ribu per ekor.
Diinterogasi berjam-jam, Edy akhirnya buka mulut soal jaringan pemburu trenggiling ini. Menurut dia, pengiriman ke Singapura itu atas permintaan David Liem sebagai pengekspor. Di Negeri Singa, trenggiling itu bakal diterima Acun. Menurut Cirus, pihaknya kini tengah memburu David dan Acun.
Trenggiling dinyatakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam, mereka yang menyelundupkan hewan ini bisa dihukum lima tahun plus denda Rp 100 juta.
Di luar negeri, harga daging hewan ini mencapai US$ 112 atau sekitar Rp 1 juta per kilogram. Adapun sisiknya mencapai Rp 4 juta per kilogram. Dagingnya, antara lain, dipercaya bisa membuat kulit perempuan mulus dan menambah vitalitas pria. "Keuntungan yang besar dari menjual hewan ini membuat semuanya silap," kata Cirus.
Bukan hanya kali ini aparat menggagalkan penyelundupan hewan yang tubuhnya diselimuti sisik tebal itu. Akhir Mei lalu, aparat Bea-Cukai Tanjung Priok menemukan tujuh ton trenggiling dan 64 kilogram sisiknya dalam kontainer yang siap dikapalkan. Hewan yang saat masih hidup beratnya rata-rata 5-7 kilogram itu rencananya dikirim ke Vietnam. "Total nilai trenggiling yang akan diselundupkan itu Rp 8 miliar," ujar Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok Rahmat Subagyo.
Menurut sumber Tempo di Bea dan Cukai, penyelundupan trenggiling awalnya banyak dilakukan langsung dari daerah "penghasil"-nya, seperti Palembang dan Medan. Belakangan, karena sering terjadi penggerebekan, pengiriman dipindah lewat Tanjung Priok. Modus pengirimannya hampir seragam. Hewan dikuliti sisiknya, dibekukan, dan dikirim dengan dokumen sebagai ikan beku.
Penyelidikan kasus penyelundupan 70 ton trenggiling bisa dibilang menemui jalan buntu. Bea-Cukai tak menemukan siapa dalang di balik ekspor hewan terlarang itu. Yang baru bisa dimintai keterangan hingga detik ini hanya perusahaan eksportirnya, PT SJBM. Adapun pemimpin perusahaannya hingga hari ini tak bisa dihadirkan ke ruang penyidik Bea-Cukai.
Menurut sumber Tempo, sebenarnya ada kaitan penyelundupan di Tanjung Priok dengan Bandara Soekarno-Hatta. Semuanya menuju titik yang sama: Cina. Singapura dan Vietnam hanyalah negeri antara. "Kamuflasenya juga sama, dijejalkan ke produk ikan beku."
Sebagai hewan yang terlarang diperdagangkan, trenggiling dikumpulkan oleh penduduk lokal yang memang dikerahkan para pengekspor binatang itu. Di Jambi, misalnya, Juni silam aparat Direktorat Polisi Air menangkap kapal motor Mitra Wilis II di perairan Tanjung Jabung, Jambi. Di dalam kapal, polisi menemukan 14 trenggiling yang sudah dibekukan milik Syarifudin alias Acok.
Kepada polisi, Acok mengaku membawa trenggiling itu dari Kepulauan Singkep untuk dibawa ke Jambi. Ia mengaku membeli hewan itu dari penduduk Singkep dan akan disetor kepada seseorang di Jambi. "Sampai kini kami masih mengejar penadahnya di Jambi," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Jambi, Ajun Komisaris Besar Alamsyah, kepada Tempo.
Jambi memang surga pemburu trenggiling. Kaki tangan para penadah binatang itu mendatangi penduduk kampung dan menyatakan akan membeli berapa pun trenggiling yang bisa mereka tangkap. Berkali-kali polisi Jambi menangkap penduduk yang kepergok mengangkut trenggiling, tapi tetap saja mereka tak kapok. Pada Mei 2010, misalnya, polisi berhasil menyelamatkan 72 trenggiling hidup yang akan dikirim ke luar Jambi. "Jaringannya memang kuat dan rapi," kata Alamsyah.
Maraknya penangkapan dan penjualan trenggiling itu membuat berang Ketua ProFauna Rosek Nursahid. Di mata Rosek, pemerintah tidak pernah serius memberantas kejahatan perdagangan hewan langka. Menurut Rosek, perdagangan satwa dilindungi itu menjadi ancaman serius kelestarian satwa liar Indonesia. "Upaya pemerintah jauh dari maksimal." katanya.
Sandy Indra Pratama, Ayu Cipta (Tangerang), Syaipul Bakhori (Jambi)
Si Manis Bernasib Tragis
Nama Latinnya indah: Manis javanica. Tapi, tak seperti namanya, nasib trenggiling, demikian hewan ini disebut di Tanah Air, sangat mengenaskan. Diburu, dibunuh, lalu diperjualbelikan. "Populasinya terus merosot," ujar Ketua ProFauna, organisasi pencinta hewan, Rosek Nursahid, tentang satwa tak bergigi yang banyak ditemukan di hutan Sumatera, Nias, Mentawai, sebagian Kalimantan, dan Pulau Jawa itu.
Dalam daftar satwa dilindungi, si manis masuk kategori Appendix II, hewan yang dilarang diperdagangkan. Menurut Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta Ahmad Saerozi, trenggiling kemungkinan besar akan "naik tingkat" masuk Appendix I, yakni hewan yang dilindungi, terlarang diperjualbelikan dalam bentuk apa pun karena dinilai sudah kritis, dan berpotensi punah menurut Convention on International Trade in Endangered Species. Menurut Ahmad, di pasar gelap, harga daging hewan bersisik itu mencapai Rp 1 juta per kilogramnya.
Trenggiling dipercaya memiliki beragam khasiat. Empedunya diyakini bisa menjadi obat perkasa pria. Empedu trenggiling, misalnya, bisa ditemukan di toko-toko obat di Cina. Yang termahal dari semua bagian tubuh si manis ini adalah sisiknya. "Sekitar US$ 4 per keping," kata Direktur Penyelidikan dan Pengamanan Hutan Kementerian Kehutanan Rafles Brotestes Panjaitan.
Dari sisiknya inilah banyak barang bisa diciptakan. Dari kosmetik hingga, kabarnya, narkotik. Riset yang dilakukan oleh pakar lingkungan dan kesehatan Universitas Riau, Ariful Amri, tahun lalu menyatakan, dalam sisik trenggiling terdapat kandungan zat aktif tramadol HCL, partikel pengikat untuk psikotropika jenis sabu-sabu. Zat itu salah satu obat analgesik yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri hebat.
Dihubungi Tempo, Jumat pekan lalu, Kepala Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional Kuswardani menyatakan pihaknya belum pernah menemukan referensi perihal tramadol HCL, yang bisa dijadikan bahan dasar sabu-sabu. "Hingga saat ini bahan pembuat sabu adalah epheÂdrine dan methyl ethyl ketone," ujar Kuswardani.
Toh, Kuswardani menyatakan tak tertutup kemungkinan tramadol kelak juga bisa menjadi bahan pembuat sabu. "Bisa saja terjadi jika nanti ada proses sintesis yang berkembang dan mengubah tramadol menjadi sabu-sabu."
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo