Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naskah revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah rampung di tingkat Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selama setahun, tim yang dipimpin Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Ashwin Sasongko menggodok kelemahan undang-undang yang disahkan pada 21 April 2008 itu.
Sedikitnya ada tujuh pasal yang "dibongkar-pasang" tim Ashwin tersebut, termasuk sanksinya. Pekan-pekan ini naskah tersebut akan diharmonisasikan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar tidak tumpang-tindih dengan beleid lain. "Targetnya akhir tahun diajukan ke DPR," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto.
Pasal penyadapan, misalnya, menurut Gatot, dibatalkan karena adanya putusan uji materi Mahkamah Konstitusi pada 24 Februari lalu. Dalam putusan itu, Mahkamah memerintahkan pasal penyadapan Undang-Undang ITE diatur dengan undang-undang tersendiri mengenai penyadapan. Semula pasal itu menyatakan tata cara penyadapan diatur melalui peraturan pemerintah.
Tak hanya pasal penyadapan yang pernah dibawa ke Mahkamah. Pada Juni 2009, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi mengajukan uji materi pasal 27 ayat 3 berikut ketentuan sanksinya. Pasal ini mengatur tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media daring (online). Koalisi menilai pasal tersebut membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Tapi gugatan itu pada Mei 2010 ditolak Mahkamah. Mahkamah menilai pasal itu tidak inkonstitusional lantaran dibuat demi melindungi warga negara.
Pasal ini kembali menjadi pembicaraan ramai setelah dipakai "menjerat" Prita Mulyasari dengan tuduhan mencemarkan nama Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Tangerang.
Setelah Prita, artis Luna Maya juga sempat merasakan "tajam"-nya pasal 27. Luna diadukan ke polisi oleh sejumlah pekerja infotainmen karena mengeluarkan caci maki di akun Twitternya. Luna "berkicau" perihal ketidakprofesionalan mereka saat hendak mewawancarainya. Tapi perkara ini tak sampai ke meja hijau lantaran berakhir damai.
Desakan merevisi pasal itu langsung menghangat kembali setelah dua kasus itu mencuat. Hanya, dalam naskah revisi, tim penyusun ternyata tidak mengubah pasal itu. Menurut Gatot, tim hanya mengubah pasal 45, yang mengatur sanksi hukum pasal penghinaan itu. Dari semula paling lama enam tahun penjara menjadi maksimal satu tahun. "Denda juga diturunkan dari maksimal satu miliar menjadi di bawah seratus juta rupiah," ujar Gatot.
Edmon Makarim, pakar hukum telematika Universitas Indonesia, yang ikut menyusun undang-undang tersebut, menyayangkan tidak direvisinya pasal 27. Menurut Edmon, pasal itu semula sebenarnya untuk melindungi warga negara dari penghinaan pihak yang tidak bertanggung jawab. "Misalnya penghinaan seseorang di Internet dengan menggunakan nama samaran."
Prakteknya, kata Edmon, pasal itu menjadi multitafsir sehingga rawan disalahgunakan. "Prita salah satu korbannya," ujarnya. Untuk menghindarkan multitafsir, Edmon meminta pemerintah memerinci pasal itu secara gamblang sehingga jelas siapa saja pelaku yang pantas dijerat. Setiap unsur pasal, katanya, harus didefinisikan dengan jelas. "Hukumannya sebaiknya hanya denda," kata Edmon.
Pakar hukum pidana penghinaan dari Universitas Brawijaya, Malang, Adami Chazawi, juga mendesak pemerintah merevisi pasal 27. Pasal ini, menurut Adami, bisa dikenakan kepada siapa saja karena tidak jelas mengatur obyek pidananya. E-mail, misalnya, menurut Adami, bukan obyek pidana pasal itu karena hanya bisa diakses sekelompok orang, bukan untuk umum.
Karena merupakan lex specialis pasal penghinaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kata Adami, sanksi pidana pasal ini semestinya juga lebih rendah dari KUHP. Dalam KUHP, penghinaan dijerat dengan hukuman maksimal sembilan bulan, sedangkan dalam Undang-Undang ITE enam tahun. "Secara substansi dan bunyi, pasal itu memang harus direvisi," kata penulis buku Hukum Pidana Positif Penghinaan ini.
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi komunikasi dan informatika juga mendukung revisi itu. Menurut Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq, ada sejumlah pasal dalam Undang-Undang ITE yang mengandung multitafsir dan mesti direvisi, termasuk pasal 27. Mahfudz menyesalkan lambatnya naskah revisi undang-undang tersebut masuk Dewan. "Mestinya awal tahun ini revisi itu sudah dibahas di komisi," katanya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo