Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font size=1 color=#FF9900>Penipuan</font><br />Kisruh Ari-ari Sampai Polisi

Seorang pengusaha menggugat bank darah tali pusat. Merasa ditipu: darah yang disimpan tak boleh diambil, tapi biaya penyimpanan jalan terus.

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Julita Indrawati kaget bukan buatan ketika membaca surat elektronik Rena Sagita yang disertai lampiran hasil uji laboratorium StemCord di Singapura. Pemeriksaan itu menyebutkan darah ari-ari putri ketiganya tak memenuhi standar minimum jumlah yang bisa disimpan untuk pengobatan. Jumlah sel darah anaknya hanya 180 juta, padahal batas minimal 200 juta.

Rena adalah anggota staf keuangan StemCord Indonesia. Keterangan laboratorium yang diterima Julita pada 29 Maret tahun lalu itu ditulis sendiri oleh General Manager StemCord Singapura Valerie Wong dan Direktur Medis Teo Cheng Peng. Julita sangat terpukul karena ia menyiapkan sel ini untuk mengobati kelumpuhan ayahnya. Pengobatan menggunakan sel punca (disebut juga stem cell atau sel induk) yang terdapat pada darah ari-ari tergolong mutakhir dan istimewa.

"Anda juga mohon mengerti sel darah itu mungkin tak bisa digunakan di masa mendatang," tulis Valerie. Julita tak terima. Dalam keadaan hamil dulu ia pernah berjanji: jika anak yang dikandungnya lahir, sel induknya akan disimpan untuk mengobati ayahnya. Karena itu pula, ketika sepupu jauhnya yang bekerja di StemCord menawarkan jasa penyimpanan sel punca, ia cepat menyambutnya.

Perempuan 39 tahun ini kian masygul karena lampiran ketiga surat Rena itu memintanya membayar iuran tahunan biaya penyimpanan darah sebesar Sin$ 267,5 atau sekitar Rp 1,9 juta. Sebulan sebelumnya, StemCord Singapura menyatakan ia tak pernah membayar iuran sejak menjadi nasabah pada 10 Agustus 2006. "Enak saja, saya bayar Sin$ 2.000 saat meneken perjanjian. Tiap tahun saya membayar Sin$ 267,5," katanya.

Julita pun mengkonfirmasi tuduhan itu ke StemCord Indonesia, yang berkantor di gedung Tamara 608, Jalan Sudirman, Jakarta. Seorang anggota staf di sana berdalih bagian keuangan baru berhenti bekerja dan data nasabah raib. Keduanya sepakat urusan pembayaran akan dibuktikan dengan Julita mengirim bukti-bukti pembayaran premi.

Belum lagi kuitansi dikirim, petugas StemCord lain menelepon. Ia mengatakan Julita akan terkena denda satu persen dari nilai premi jika tak membayar hingga 26 Maret 2010. Sesuai dengan perjanjian, jika iuran tidak dibayar, darah itu akan menjadi milik StemCord—bisa dibuang, dihancurkan, atau disumbangkan ke lembaga riset. Sebelum membayar iuran tahun keempat, Julita meminta pernyataan tertulis bahwa darah anaknya itu baik-baik saja di Singapura. Jawaban yang ia terima adalah surat yang dikirim Rena Sagita di atas.

"Kok, bisa? Kalau tak layak, kenapa diterima? Ditolak saja, dan saya tak jadi nasabah," ujarnya. Sewaktu darah anaknya diambil ketika ia melahirkan putri ketiganya di Rumah Sakit Bunda Jakarta, Julita tak menanyakan apakah darah sang anak layak disimpan atau tidak. Ia menyimpulkan sendiri darah itu sehat dan layak jadi sumber obat karena StemCord langsung menagih pembayaran pada tahun pertama.

Merasa ditipu, Julita menunjuk mediator untuk menengahi sengketa itu. Kebetulan ayahnya, pengusaha Abraham Tommy Suryadi, berkawan karib dengan seorang pengusaha yang juga mengenal Teo Cheng Peng. Berkat pengusaha ini pula, Teo datang ke Jakarta dan bertemu dengan Julita di Hotel Intercontinental pada 27 Mei 2010. Alih-alih menyelesaikan masalah, Teo malah menawarkan uang. Lewat mediatornya, Teo menawarkan kompensasi US$ 15 ribu atau sekitar Rp 150 juta. "Yang saya butuhkan darahnya, bukan uang, karena ayah saya sedang sakit," kata Julita.

Jalan damai telah buntu. Pada 13 Agustus 2010, ayahnya meninggal karena divonis menderita kanker getah bening. Dua bulan setelah berkabung, lulusan sekolah manajemen di Boston, Amerika Serikat, ini maju ke Markas Besar Kepolisian RI. Ia melaporkan StemCord Singapura dengan pasal penipuan dan penggelapan. Pada Mei lalu, polisi menetapkan Angelina Yuri—sepupu Julita yang dulu menawarkan layanan StemCord—dan dokter Nani Permadi sebagai tersangka.

Yuri dan Nani adalah pemilik StemCord Indonesia yang nomor rekeningnya dipakai menerima uang Julita setiap tahun. Yuri batal memberi penjelasan karena ada temannya meninggal. Ia menyarankan Tempo menghubungi Kasman Sangaji, pengacara perusahaan. "Saya ketawa baca pertanyaan Anda," kata Yuri. "Faktanya sudah diputar balik."

Menurut Kasman, persoalan yang dihadapi Julita itu akibat ulahnya sendiri. "Tiga tahun terakhir ini ia tak bayar iuran," katanya. Ini pula, kata Kasman, alasan StemCord Singapura menolak memberikan darah sel induk itu. "Bukan karena selnya rusak atau tidak bisa dipakai mengobati."

Jumlah sel yang kurang dari batas minimum, kata Kasman, bukan berarti sel itu tak bisa disimpan untuk obat. Menurut dia, kondisi sel darah plasenta Julita 90 persen tak tercemar bakteri alias memenuhi syarat untuk dibekukan dalam nitrogen cair dan disimpan dalam jangka lama. Toh, kalaupun jumlahnya kurang, kata Kasman, darah itu tetap disimpan karena masih bisa dipakai obat untuk si anak, tapi tak bisa dipakai untuk orang lain.

Penjelasan ini sama dengan yang disampaikan Valerie Wong. Sementara dalam surat 29 Maret 2010 ia menyatakan kemungkinan sel tak akan bisa dipakai, dua bulan kemudian pernyataannya berubah. Kepada Sophar Hutagalung, pengacara Julita, Valerie menulis sel itu tersimpan baik di laboratoriumnya dan masih bisa dipakai untuk pengobatan anak Julita kelak.

Valerie menolak bercerita secara terperinci tentang kasus ini. Dalam jawaban tertulis kepada Tempo, ia hanya bersedia menjawab pertanyaan seputar StemCord, yang sudah punya 26 ribu unit sel darah di dua laboratorium milik perusahaannya dan membuka cabang di tiga negara. "Soal kasus Bu Julita biar ditangani polisi," katanya.

StemCord Indonesia kemudian meminta berdamai secara kekeluargaan dan menelusuri pengakuan Julita. Menurut Kasman, dari pengecekannya ke rumah sakit yang merawat ayah Julita, Tommy Suryadi tak meninggal karena kanker. "Ternyata meninggal karena demam berdarah," katanya.

Bagja Hidayat


Rame-rame Menabung Punca

Sel punca atawa sel darah di plasenta sedang naik daun. Artis dan orang berduit Indonesia rame-rame menyimpan sel darah tali pusat anak-anak me­reka di laboratorium swasta di luar negeri. Itu karena sel darah ini diklaim bisa menyembuhkan pelbagai penyakit, tak hanya bagi pemilik sel itu, tapi juga saudara-saudaranya.

Lula Kamal misalnya. Ia menitipkan darah ari-ari anak keduanya di StemCord karena percaya darah anaknya akan aman tersimpan di sana. "Ini penting karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada kesehatan anak saya kelak," kata dokter yang juga presenter di televisi ini.

Lula bergabung dengan 1.500 orang Indonesia lain yang menyimpan sel puncanya di StemCord. Ia tertarik ikut menjadi nasabah setelah mendengar cerita kawannya yang sembuh setelah lututnya disuntik sel darah ini untuk kakinya yang tak bisa bergerak.

Di Indonesia, selain StemCord, ada Cord­life, bank darah swasta yang berpusat di Singapura. Cordlife, yang dibuka setahun setelah StemCord pada 2006, sudah memiliki nasabah hingga 5.000 orang.

Sel darah anak Lula diambil saat melahirkan. Darah dalam empat kantong itu kemudian dikirim ke laboratorium di Singapura. Kantong-kantong itu harus segera disimpan dalam cairan nitrogen dalam suhu -180 derajat Celsius tak lebih dari 48 jam setelah diambil.

Menurut Ferry Sandra, Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia, dunia medis dan akademik sudah mengakui pengobatan dari sel punca ini. Sejak dikembangkan pertama kali di Amerika Serikat, 20 tahun lalu, sudah ada sekitar 40 jenis penyakit mematikan yang terbukti bisa disembuhkan lewat pencangkokan sel induk.

BHD, Monika Astridlia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus