Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>TANAH GASIBU</font><br />Ujung Sengketa Lahan Gasibu

Mahkamah Agung membatalkan sembilan sertifikat tanah di sekitar Lapangan Gasibu, Bandung, termasuk milik Pemerintah Daerah Jawa Barat. Muncul dugaan ada pemalsuan novum.

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM petugas satuan polisi pamong praja Jawa Barat berjalan menyusuri pagar seng di Jalan Diponegoro, jantung Kota Bandung, Rabu pagi pekan lalu. Pagar itu menutupi sebagian dari tanah 32 ribu meter persegi yang di dalamnya berdiri rumah dinas Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, gedung Bank Mandiri, Pangkalan TNI Angkatan Laut, tiga rumah pribadi, dan sebidang lahan kosong. Di bagian barat tampak papan bertulisan ”Tanah Milik Pemerintah Propinsi Jawa Barat”. Pelaksana Tugas Kepala Polisi Pamong Praja M. Hidayat mengatakan petugasnya sedang berlatih di lahan kosong itu sekaligus mengamankannya. ”Siapa tahu ada yang mau menduduki lahan ini,” ujarnya.

Penjagaan dilakukan setelah ada putusan Mahkamah Agung pada pertengahan September lalu, yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali kasus sengketa kepemilikan lahan bernilai sekitar Rp 4 juta per meter persegi itu. Peninjauan kembali diajukan oleh tiga ahli waris lahan. Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Imam Soebechi menyatakan membatalkan sembilan sertifikat di atas lahan itu, dua di antaranya milik Pemerintah Daerah Jawa Barat.

Sengketa lahan itu bergulir ke meja hijau sejak 2006. Ketika itu Eutik Suhanah bersama dua saudaranya, yang mengaku ahli waris ”raja tanah” Dirdja Kartadiningrat, menggugat Kepala Badan Pertanahan Kota Bandung ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Pada 26 Mei 2007, pengadilan mengabulkan gugatan mereka. Namun di tingkat banding dan kasasi mereka kalah karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan.

Pengacara Eutik bersaudara, Edi Rohaedi, mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung setelah menemukan lima novum atau bukti baru. Novum itu antara lain dua lembar surat ukur zaman Belanda tanggal 3 Februari 1912 dan 26 Maret 1932, putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 16 September 1948 yang menyatakan lahan itu adalah milik Dirdja, serta penetapan kepemilikan lahan dari Kepala dan Panitera Pengadilan Negeri Bandung. Menurut juru bicara Mahkamah Agung, Hatta Ali, novum itulah yang memenangkan mereka. ”Majelis PK mengabulkan permohonan itu karena ada novum yang dianggap benar,” kata Hatta.

Kendati Mahkamah mengabulkan upaya hukum Eutik bersaudara, Hatta mengatakan tidak bisa otomatis lahan itu beralih status menjadi milik mereka. Alasannya, Hatta menjelaskan, kini ada yang melaporkan dugaan pemalsuan surat yang menjadi novum tadi. ”Soal dugaan pemalsuan itu harus dibuktikan dulu di persidangan,” ujarnya. Dia menyarankan mereka yang merasa dirugikan atas putusan itu untuk melakukan upaya hukum.

Pengacara Eutik dkk., Edi, mengatakan tak jadi masalah jika putusan itu ”didiamkan”. Alasannya, jika dalam waktu empat bulan Kepala Badan Pertanahan Kota Bandung tidak mencabut sembilan sertifikat tersebut, status lahan itu otomatis beralih kepada kliennya.

Namun Pemerintah Daerah Jawa Barat tak menerima putusan itu. Pertengahan Oktober lalu, pemerintah melaporkan dugaan pemalsuan dokumen yang dijadikan novum ke polisi. ”Ada kejanggalan dalam novum itu,” kata Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Barat Enny Heryani. Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Komisaris Besar Imam Budi Supeno menolak berkomentar tentang kasus ini. ”Datanya sedang kami dalami,” ujarnya.

Mengenai dugaan pemalsuan, Edi mengatakan tidak ada rekayasa dalam dokumen yang dijadikan novum. ”Semua novum itu sah dan di bawah sumpah,” katanya. Karena itu, dia tak gentar dengan laporan pemerintah ke polisi. ”Kami siap menghadapi laporan itu,” katanya.

Edi berharap mereka yang merasa dirugikan menghormati putusan Mahkamah Agung. Kliennya, menurut dia, juga membuka peluang untuk berdialog karena lahan itu sudah telanjur digunakan. ”Kita bisa memusyawarahkan itu, apakah dengan kompensasi, ganti rugi, atau pembayaran sesuai dengan harga sekarang,” ujarnya. Tapi tampaknya upaya dialog tertutup sudah. ”Itu tanah masih milik provinsi,” kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Rini Kustiani, A. Fikri, Erick P., Alwan R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus