Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAI kata kejaksaan berhasil menyeret seorang koruptor kelas berat ke meja hijau, mungkin mahasiswa tidak menggebu-gebu menghujat ke kantor kejaksaan, akhir pekan lalu. Sialnya, jangankan Soeharto, salah satu kroni Soeharto pun tidak ada yang diadili. Dikhawatirkan, jika kejahatan terhadap masyarakat—seperti korupsi—tidak dihukum sebagaimana mestinya, kegagalan hukum dalam hal ini kelak akan dikategorikan sebagai kejahatan juga. Dan sikap mahasiswa yang mengancam akan menggelar pengadilan rakyat seharusnya ditanggapi serius oleh aparat penegak keamanan.
Sejauh ini, yang telah digiring ke pengadilan baru satu kasus, yakni skandal Bank Bali dengan terdakwa Joko. S. Tjandra. Sementara itu, cukup banyak kasus korupsi yang ’’tersangkut di tengah jalan”, antara lain penyalahgunaan dana PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) sebesar Rp 7,1 miliar. Kasus itu melibatkan mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief dan bawahannya, bekas Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja, Yudo Swasono, serta bekas Direktur Utama Jamsostek, Abdullah Nusi.
April silam, Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Lukman Bachmid, sempat ’’menjanjikan” bahwa proses perkara itu akan ditingkatkan dari penyidikan menjadi penuntutan. Ternyata, kasus itu masih saja mendekam di tingkat penyidikan. Abdul Latief sendiri agaknya lebih dipusingkan oleh berita yang mengaitkan dirinya dengan perceraian artis Desy Ratnasari, ketimbang perkara Jamsostek.
Tentu saja masyarakat semakin lama semakin geram, terutama kalangan pekerja. Perkara dana Jamsostek ini jelas-jelas menyangkut hasil keringat para pekerja. Ironisnya, dana itu disalahgunakan untuk membayar honor ekstra anggota DPR sewaktu menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan tahun 1997. Angpau miliaran rupiah itu fantastis, memang. Bandingkan dengan ongkos proses pembahasan tiga RUU politik yang hanya Rp 200 juta.
Aroma manipulasi dalam kasus Jamsostek terendus setelah satu dokumen penting diketahui publik. Dalam dokumen itu, Latief meminta kepada Jamsostek agar mengucurkan dana Rp 7,1 miliar. Segera saja, anggota DPR, yang waktu itu sedang reses, diongkosi Latief untuk berapat di dua hotel mewah selama tiga bulan. Dan mereka juga diberi ’’amplop” tebal. Iskandar Mandji, bekas anggota DPR dari Fraksi Golkar, mengaku menerima Rp 7 juta.
Walaupun penggelapan dana Jamsostek akhirnya terungkap, Latief sigap sekali berlindung di balik ’’restu” Presiden Soeharto. Menurut Latief, pemakaian dana Rp 7,1 miliar itu berdasarkan instruksi Soeharto. Alasannya, pemerintah hanya mampu menyediakan dana Rp 950 juta.
Tanpa banyak cincong, Jaksa Agung Singgih segera menyatakan bahwa Latief tidak korupsi. Bahkan Singgih ’’meluruskan” dengan pernyataan bahwa biaya pembuatan RUU Ketenagakerjaan cuma Rp 2,4 miliar. Itu pun, menurut Singgih, sudah sesuai dengan prosedur. Sisa dana Rp 4,7 miliar dikembalikan Latief ke Jamsostek. Dengan penjelasan Singgih itu, kasus Jamsostek pun kempis.
Namun, Soeharto lengser dan skandal Jamsostek kembali dipersoalkan. Kini, di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman, sampai Senin pekan lalu Latief sudah empat kali diperiksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta.
Berbeda dengan cerita dulu, kali ini Latief mengaku bahwa dana Rp 2,4 miliar digunakan untuk membeli komputer dan alat tulis yang diperlukan untuk menyelesaikan RUU Ketenagakerjaan. Dari keterangan itu, Latief seakan-akan hendak menghilangkan kesan adanya honor ekstra buat anggota DPR. Namun, Asisten Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Andi Sjarifuddin, menegaskan bahwa Latief harus diuji lagi.
Perihal dana Rp 4,7 miliar, Latief tetap menyatakan bahwa uang itu telah dikembalikan ke Jamsostek. Pengakuan itu pun seakan mengisyaratkan bahwa negara tidak dirugikan, sehingga perkara itu tak termasuk delik korupsi. Padahal, pengembalian uang yang dikorupsi tidaklah menghapuskan hukuman—hanya akan dijadikan hal yang meringankan hukuman.
Bagi Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jakarta, Darwis Lubay, apa yang dilakukan Latief terhadap dana Rp 4,7 miliar itu akan ditelisik lebih jauh. Tak mustahil, dana itu dimanfaatkan dulu untuk kepentingan bisnis Latief selaku bos Pasaraya. Karena itu, menurut Andi dan Darwis, kasus Jamsostek tak akan dihentikan penyidikannya.
Namun, kuasa hukum Latief, Hotma Sitompul, memperkirakan kliennya pasti bebas. Alasannya, unsur melawan hukum pada kasus itu tak cukup kuat. Sebab, perbuatan Latief berdasarkan instruksi Soeharto. Begitu pula unsur memperkaya diri sendiri. Dengan demikian, bila kejaksaan tetap mengajukan kasus itu ke pengadilan, ’’Kami akan menuntut balik karena pencemaran nama baik Latief,” kata Hotma, yakin seperti biasa.
Yusi A. Pareanom dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo