Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat Gereja setelah Tiwikrama

Harta peninggalan Romo Mangun menjadi perkara sengketa antara enam adiknya dan gereja. Dasar pertimbangan: hak waris mereka telah ditiadakan.

14 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPERGIAN Romo Y.B. Mangunwijaya tak hanya meninggalkan keharuman nama, tapi juga ’’bom waktu” perkara. Enam orang adiknya kini bersengketa dengan pihak gereja (Vikaris Jenderal Keuskupan Agung di Semarang). Mereka memperebutkan harta warisan Romo Mangun berupa tabungan, uang tunai, dan beberapa bidang tanah. Selasa pekan ini, proses perkara di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, itu akan memasuki tahap pembuktian.

Sampai kini, 15 bulan sejak wafatnya, jasa besar Romo Mangun tetap lekat dalam ingatan banyak orang. Sang Pastor bukan hanya rohaniwan yang berwawasan luas, tapi juga budayawan kondang yang sangat peduli akan nasib rakyat kecil. Jasanya yang monumental adalah membangun sekaligus menjadi arsitek bagi permukiman ledok Code di tepi Kali Code yang membelah Kota Yogyakarta. Memang, hanya sedikit yang tahu bahwa sang Pastor adalah juga seorang arsitek.

Romo Mangun mengembuskan napas terakhir pada Rabu, 17 Februari 1999, setelah membacakan makalahnya dalam sebuah simposium buku di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia meninggal dunia karena serangan jantung, pada usia 70 tahun. Pemakamannya semarak dengan iring-iringan rakyat sepanjang tiga kilometer.

Walau tak memiliki keturunan, Romo Mangun diberkahi 11 orang adik kandung. Kenyataan ini belakangan menjadi penting karena ia ternyata meninggalkan harta, antara lain, tabungan yang pada April 1999 bernilai Rp 1,34 miliar, serta tiga bidang tanah. Belum lagi pelbagai royalti dari hak cipta buku-buku karyanya di banyak penerbitan.

Semua harta peninggalan itu ternyata telah dihibahkan Romo kepada Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (YDED), yang didirikannya pada 4 Agustus 1989. Hal itu berdasarkan surat wasiat (welingan atau testamen) yang dibuat Romo pada 27 Juni 1994 di hadapan notaris R.M. Suryanto Partaningrat. Dalam testamen itu juga disebutkan bahwa Keuskupan Agung di Semarang ditunjuk sebagai pelindung YDED.

Malang tak dapat ditolak, hibah itu tak diterima oleh enam adik Romo Mangun. Alasannya, hal itu bertentangan dengan ketentuan waris menurut hukum perdata. Sesuai dengan hukum perdata, bila istri ataupun anak mendiang tak ada, adik-adiknyalah yang berhak mewarisi harta mendiang.

Selain mempermasalahkan peniadaan hak waris para adik, keenam adik Romo Mangun mempersoalkan nasib kantor YDED, yang dulu juga menjadi tempat tinggal Romo Mangun, di Jalan Kuera, Mrican, Yogyakarta. Menurut salah satu adik, Agustinus Purnomo, setelah Romo meninggal, tempat itu dikuasai oleh Keuskupan Agung. Bahkan, pada April 1999, keuskupan mengganti semua pengurus YDED dengan personel dari keuskupan.

Yang terjadi kemudian, kata Purnomo, tak setiap orang bisa datang ke tempat itu. Yang bisa masuk pun harus melalui proses birokrasi panjang bak menembus Tembok Berlin. Padahal, ’’Sewaktu Romo Mangun hidup, rumah itu terbuka untuk siapa saja, tak hanya eksklusif bagi umat Katolik,” ujar Purnomo, yang penampilan fisiknya mirip Romo Mangun.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Purnomo dan lima adiknya menggugat YDED dan Keuskupan Agung Semarang. Lima saudara mereka yang tak sependapat dengan tuntutan itu juga ditarik sebagai tergugat. Purnomo mengakui, upaya hukum itu terpaksa ditempuh setelah ia melakoni tapa (tiwikrama) selama empat bulan.

Dengan adanya gugatan itu, Purnomo dan kelima adiknya mengaku sudah siap untuk dicerca oleh pihak gereja. Tapi Purnomo menandaskan bahwa gugatan itu bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi mereka. ’’Bila gugatan itu berhasil, uangnya kami gunakan untuk meneruskan cita-cita Romo Mangun,” kata Purnomo, yang mengaku sangat memahami konsep sosial Romo.

Sementara itu, tim kuasa hukum para tergugat menganggap tuntutan Purnomo bersaudara itu berlebihan. Menurut Chandera, anggota tim kuasa hukum itu, Keuskupan Agung menguasai YDED berikut harta warisan Romo berdasarkan testamen tadi. ’’Menurut hukum perdata, surat wasiat itu sah,” ucap Chandera. Lagi pula, tak semua peninggalan Romo dikuasai keuskupan. Chandera menambahkan, karena Romo telah memisahkan harta milik gereja dan harta pribadi, keuskupan hanya menguasai harta milik gereja. Adapun harta pribadinya tetap digunakan seperti kehendak Romo yang tercantum dalam wasiatnya. Di situ disebutkan ada biaya pendidikan untuk seorang anak asuh bernama A. Sri Harimurni dan Rp 10 juta untuk permukiman lembah Code.

Kalau saja tak ada testamen itu, menurut anggota kuasa hukum, Hari Supriyanto, kedudukan hukum gereja bisa amat kuat. Sebab, berdasarkan hukum kanonik, harta peninggalan pastor dianggap sebagai milik gereja. Masalahnya, kata ahli hukum perdata di Universitas Gadjah Mada, Prof. Sudikno Martokusumo, hukum kanonik hanya berlaku di lingkungan gereja Katolik. Jadi, tak berlaku di pengadilan perdata Indonesia.

Hp.S., L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus