Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ada Siahaan, Ada Di Payung, Dimana...

B siahaan dan arelan o sipayung ditahan polisi rantau perapat karena menadah kayu balok di hutan negara, aek kuo, sumatera. menurut pengakuan mereka, a hock juga terlibat, tapi tidak dituntut. (krim)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Napiah (56 tahun) dan Hasyim Nasution (53 tahun) keduanya pengusaha penggergajian kayu balok di kampung Kwala Bangka, Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Pertengahan Juni yang lalu mereka mendapat tawaran 600 batang kayu balok dari Z. Batubara, Kepala Bahagian Pemangkuan Hutan Kualuh. Menurut yang menawarkan, barang tadi hasil temuan di hutan Aek Kuo. Keterangan ini membuat kedua pengusaha tadi mula-mula merasa ragu. Tapi Batubara memberi penjelasan akan asal-usul kayu-kayu itu sebenarnya, berikut surat instruksi atasannya yang memerintahkan kepadanya untuk menjual barang temuan tadi. Begitu transaksi terjadi pihak pembeli pun lega karena kwitansi pembelian sebesar Rp 215.000 atas nama Dinas Kehutanan setempat. Sekitar pertengahan Juli 1976, atas perintah Komandan Resort (Danres) 207 Labuhan Batu Letkol. B. Siahaan, haji Napiah dan Hasyim Nasution ditangkap dan ditahan Polisi Rantau Perapat. Mereka dituduh menadah kayu balok hasil kejahatan sesuai dengan pengaduan A Hock alias Sahat Rusli seorang pengusaha dari Padang Halaban, Rantau Perapat. Menurut A Hock kayu balok itu miliknya. Polisi pun memeriksa Z. Batubara, Kepala Bahagian Pemangkuan Hutan (KBPH) Kualuh Pane. Batubara mengaku memang benar dia yang menjual kayu itu, sesuai dengan instruksi atasan. Walhasil haji Napiah dan Hasyim Nasution lepas dari cel setelah mendekam 5 hari. Tapi kisah kayu ini belum selesai. Sebab menurut ir. Arelan Oscar Sipayung, Kepala Kesatuan Pemangku Hutan Surnatera Timur Il, cerita sebenarnya begini. Sekitar bulan Pebruari 1976, petugas Dinas Kehutanan yang melakukan tugas rutin menemukan lebih kurang 2000 batang kayu balok di sungai Aek Kuo kecamatan Kualuh Hilir. Ini tentu mencurigakan. Lebih-lebih karena kayu balok tadi belum ada tanda telah dicukai. Tambahan lagi di sekitar hutan itu tak ada dikeluarkan izin persis mengambil hasil hutan. Maka berarti kayu balok temuan ini ditebang dari hutan negara. "Ini jelas pencurian kayu", fikir . Batubara si petugas. Selidik punya selidik, diketahui bahwa kayu itu hasil tebangan A Hock. Orang ini telah berkali-kali dipanggil secara dinas namun tak pernah muncul. Akhirnya untuk panggilan terakhir muncul seorang oknum ABRI berpangkat Peltu mengaku dari Kodim 0206 Labuhan Batu. Mulanya si oknum mengaku bahwa dia pemilik itu balok. Akan tetapi setelah dijelaskan oleh Batubara tentang risikonya sebagai penebang kayu di hutan tanpa izin si oknum tadi mundur teratur. Kayu balok tadi kemudian dianggap sebagai barang temuan. Dan diputuskan agar dijual saja Ternyata setelah bertemu pembeli kayu balok tadi hanya tinggal 600 batang saja. "Tegasnya, Z Batubara menjualkan itu kayu atas perintah kami dan uangnya yang Rp 215. 000 sekarang berada di kas negara", tutur ir. Sipayung. Sebenarnya menurut ir. Sipayung, A Hock harus dituntut karena mencuri kayu. Kebun Kelapa Sawit Seharusnya begitu A Hock mengadu pada polisi bahwa dia kehilangan kayu balok, pihak alat negara mengusut asal usul dari mana A Hock memperoleh kayu dan apakah dia punya izin tebang Menurut ir. Sipayung hal ini telah dijelaskan pada polisi namun tak mendapat perhatian. Menurut versi Letnan Kolonel B. Siahaan, kisah kayu balok itu begini. A Hock alias Sahat Rusli (40 tahun) seorang pengusaha dan kontraktor pada beberapa perkebunan di Labuhan Batu berniat membuka perkebunan kelapa sawit. Untuk itu dia meminta tanah seluas 300 Ha, yang lokasinya di kecamatan Kualuh Hilir. Permohonan A Hock telah disetujui Bupati Labuhan Batu, maka kayu-kayu yang ada di areal dimaksud dimanfaatkan A Hock. "Bagaimana dia menanami areal itu dengan kelapa sawit kalau hutan itu lebih dulu tak dirambahnya?" kata Danres. Ir. Sipavung bulat-bulat membantah Siahaan. Menurutnya andainya A Hock benar telah memperoleh izin membuka areal perkebunan kelapa sawit, tindakannya masih bisa ditolerir. Maksudnya hutan itu memang boleh dirambahnya dengan ketentuan kayu balok hasil dari sana mesti dikutip cukai. Memang benar A Hock telah memajukan permohonan memperoleh surat Hak Guna Usaha (HGU) atas sejumlah areal tanah di sana. Tapi surat dimaksud yang seyogianya dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, sampai saat ini belum keluar. Mungkin saja, menurut Sipayung permohonan A Hock telah memperoleh rekomendasi dari Bupati Labuhan Batu tapi itu tak berarti izin HGU-nya telah ada. Karena prosesnya masih panjang, sebelum sampai di meja Menteri. Agaknya atas dasar itu ditambah pula bahwa A Hock tidak pernah memiliki izin persil untuk mengambil hasil hutan seperti yang dimaksud Peraturan Daerah (Perda) propinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 1973 fasal 2 ayat 1, tentang ketentuan untuk hak mengambil hasil hutan, ir. A.O. Sipayung berpendapat bahwa A Hock telah melakukan pencurian kayu di hutan negara. Siapa A Hock? Letnan Kolonel B. Siahaan belum puas Menurut Danres ini kalau kasus ini mau diperpanjang bakalan merugikan pihak Dinas Kehutanan sendiri. Karena cara-cara yang mereka tempuh mulai dari menyita sampai menjual kayu balok itu melanggar prosedur yang lazim. Penyitaan dilakukan tanpa diketahui kepala kampung setempat, dan penjualannya tanpa melalui lelang oleh badan yang berhak untuk itu (maksudnya barangkali pengadilan). Tegasnya menurut Letnan kolonel B. Siahaan mereka melakukan penjualan di bawah tangan dan itu salah. Menurut Sipayung, penjualan seperti itu boleh saja, asal nilainya tak lebih dari Rp 500.000. "Timbang kayu itu busuk atau hilang, kan lebih baik uangnya masuk kas negara", kata Sipayung membuat pleidoi. Soal ke pengadilan? Sipayung nampaknya sedikitpun tak gentar. "Kalau menurut hukum kami mesti salah, ya... itu resiko", katanya. Bagaimana pula soal A Hock sehingga dia tak diusut' 'Maklum dia orang beken, bahkan ada yang menggelarinya sebagai Bupati swasta di sana", tutur seorang pegawai Dinas Kehutanan pada TEMPO Sekitar bulan Januari yang lalu, untuk mengolah kayu baloknya tadi A Hock mendirikan penggergajian papan di hutan sekitar kawasan itu juga. Konon sama seperti baloknya, penggergajian itu juga tak punya surat izin. Setahu bagaimana mesinnya meledak dan dua pekerjanya tewas. Nah, perkara tewas dua pekerja ini tak pernah diperiksa dan dimajukan ke pengadilan sampai sekarang. Begitulah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus