Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pengalaman ketemu mbah suro

Mulyono dengan sebutan "mbah suro" terkenal sebagai dukun di desa nginggil, jawa tengah. menurut abdul bari ts, mbah suro adalah dukun palsu. (ag)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKOH "Mbah Suro" dari desa Nginggil yang gersang kini mulai terlupakan. Tapi sebelum peristiwa Sawito, agaknya peristiwa di tepi Bengawan Sala 9 tahun yang lalu itu merupakan contoh lain, yang berbeda, tentang bagaimana sejumlah orang ingin berlindung dan bertahan dalam suatu masa yang mencemaskan. Waktu itu adaah waktu kejatuhan Bung Karno, waktu peralihan yang penuh gejolak ke "masa baru". Mulyono, bekas lurah Nginggil yang berumur kira-kira 46 tahun, sudah dikenal dengan sebutan "Mbah Suro". Ia bertindak sebagai dukun. Banyak orang mempercayai kesaktiannya, termasuk orang yang berkedudukan di kota-kota. Tak heran bila banyak orang datang. Dan desa Nginggil pun berubah wajah -- bak daerah yang banyak dikunjungi turis. Lampu-lampu neon dipasang di sana. "Sehingga kalau malam hari kita ke Nginggil", begitu tulis wartawan Ramelan dalam bukunya Mbah Suro Nginggil (1967), "kita akan menikmati sinar-sinar lampu neon di tengah-tengah lingkungan hutan belantara yang gelap seram itu". Bahkan direncanakan jalanan akan diaspal oleh Mbah Suro. Aspal sudah tersedia. Tapi kemudian pemerintah Orde Baru melancarkan operasi polisionil ke desa itu Genjer-genjer Adapun penguasa setempat waktu itu mensinyalir bahwa "Pertapaan Gunung Kendeng" di desa Nginggil itu tempat persembunyian orang-orang PKI yang lari. Menurut Let. Kol. (waktu itu) Leo Ngali Maret 1967, satu team penyelidik yang terdiri dari anggota ABRI dan sipil pernah dikirim ke sana. Mereka diterima para murid Mbah Suro dan dipersilakan menunggu: katanya, setelah jam 12.00 mereka bakal diterima Mbah Suro (ternyata tidak jadi). Selama menunggu, mereka dihidangi tarian dan nyanyian, antara lain lagu Genjer-Genjer, yang menurut pemerintah Orde Baru adalah lagu PKI. Juga, kata Leo Ngali, para pengikut Mbah Suro meneriakkan yel "Hidup PKI!" Mbah Suro diketahui memang sering menyatakan kesetiaannya kepada Bung Karno. Pertemuan dengan para pengikutnya konon selalu disertai seruan "Hidup Bung Karno!" (yang lalu disambut dengan: "Hidup Mbah Suro!"). Ada juga diberitakan bagaimana orang-orang di dusun itu mengucapkan pernyataan anti para pelajar dan mahasiswa di kota-kota besar -- yang waktu itu berdemonstrasi menentang Bung Karno. Mbah Suro kemudian tertangkap. Anak buahnya berupa pasukan "Banteng Ulung" dan "Banteng Sarinah" (para wanita) dilumpuhkan oleh pasukan RPKAD. Sang pemimpin kemudian ditembak mati, "konon melarikan diri ketika sedang disuruh apel", tulis Ramelan. Satu regu dokter dan pejabat, kemudian kepada umum membuktikan bahwa Mbah Suro betul mati. Ketika beberapa saat setelah menyerah si Mbah yang masih muda itu ditanya apa betul ia kebal, ia menjawab: "Ah, tidak, Pak. Itu kan hanya orang-orang saja yang mengatakan". Mbah Suro memang bukan manusia luar biasa. Paling tidak, begitulah pengalaman pembantu TEMPO Abdul Bari Ts. yang di tahun 1960 sudah ketemu dengan dia di desa Nginggil. Waktu itu Mbah Suro atau Mulyono masih berstatus lurah, merangkap dukun. Abdul Bari waktu itu masih siswa Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Bogor. Dia tengah berpraktek ke hutan -- sampai ke kecamatan Menden, yang mewilayahi desa Nginggil. Acara: menjejaki para pencuri kayu jati. Maka untuk mendapatkan data penduduk, mata pencaharian dan keamanan hutan, ia dan beberapa kawannya bertemu dengan lurah Mulyono Waktu itu, menurut mandor yang mengantar praktek, pak lurah atau Mbah Suro sedang nglakoni. Tak makan nasi sudah selama 2 tahun. Cuma rokok dan kopi. Juga tiga hari tiga malam pati geni, tak makan tak minum. Rambutnya sudah mencapai bahu. Badannya tegap berisi, berpakaian baju hitam seten dan celana sepe dril. Isterinya berkain, baju brokrat hitam. Di lehernya tergantung leontin dari emas. Bentuknya: palu arit. "Waktu itu saya sudah yakin", kata Abdul Bari, "bahwa Mulyono ini BTI (Barisan Tani Indonesia) atau PKI". Pertemuan kedua lebih menarik. Dengan 8 rekan, mereka tiba di Nginggil. Perjalanan agak sukar karena baru banjir. Rumah Mbah Suro yang berbentuk joglo, berikut pendoponya, dihias janur kelapa dan pisang berbuah. yang diikat di tiang-tiang. Juga bendera merah putih. Persiapan kenduri. Mbah Suro sedang merayakan Mauludan -- sehubungan dengan akan lewatnya yang mbau rekso ("si penjaga") Bengawan Sala. Acara penyambutan diramaikan dengan wayang kulit semalam suntuk. Dan Mbah Suro memamerkan kebolehannya meramal: ia menyatakan bahwa kedatangan rombongan itu sudah diketahuinya sebelumnya. Dan dalam rombongan itu memang ada yang mau diobati dan diramal. Yang mau diobati adalah anak Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (KBKPH), karena sekolahnya kurang "maju". Yang minta diramal adalah dua siswa Sekolah Kehutanan, teman Abdul Bari. "Ingin tahu saja', bisik mereka. Prosedur ramalan begini: Mbah Suro masuk kamar. Sang isteri dan seorang cantrik berada di luar, duduk menghadapi orang yang mau diramal. Agak lama kemudian, sang isteri lemas, lunglai dan tersandar di kursinya. Dengan bantuan sang cantrik-yang sekaligus merangkap sebagai pemberi penjelasan -- sang isteri ditegakkan duduknya. Tapi tetap tak sadar. Lalu ia mulai bicara. Tapi suaranya besar, suara lelaki. Inilah Mbah Suro, katanya. Lalu ucapan-ucapan lain yang setengah menggumam dalam bahasa Jawa --yang tak difahami oleh para siswa dari Bogor itu, sebab mereka orang Sunda. Tapi kemudian ramalan diterangkan. Rekan yang satu diramal akan dipaksa menikah dengan seorang gadis di kampungnya di Tasikmalaya. Keluarga gadis itu akan memaksanya bahkan dengan senjata tajam. Tapi jangan cemas: ada jimat penangkis, kata si Mbah. Betulkah ramalan Mbah Suro terbukti kemudian? Tidak. Hanya sepulang dari Nginggil pemuda yang diramal itu demam. Pemuda yang satu diramal baik: enam bulan lagi akan segera ke luar dari sekolah, dan akan pegang jabatan penting di kehutanan sekitar situ. Ramalan ini aneh. Waktu itu mereka di kelas dua Sekolah Kehutanan Tingkat Atas. Untuk lulus dari sekolah, paling sedikit dibutuhkan 18 bulan lagi -- bukan cuma 6 bulan seperti ramalan Mbah Suro. Dan ramalan itu memang ternyata tak terbukti. Siswa yang bersangkutan bahkan tak naik kelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus