Kebatinan atau kepercayaan memang tak selalu ada hubungannya
dengan perdukunan. Meskipun sering dicampur-adukkan. Di
Indonesia kepercayaan kepada dukun atau sejenis itu bahkan
terdapat di kalangan terpelajar dan berkedudukan. Sayangnya,
sedikit sekali diketahui tentang mereka ini.
Di bawah ini adalah dua pengalaman wartawan TEMPO dalam
perkara dukun-dukun itu. Yang pertama adalah cerita Toeti
Kakiailatu ten tang seorang wanita yang mengaku menjadi
perantara jamar. ini dengan Suran Kalijaga. Ini terjadi di
Jakarta, dan salah satu pengikutnya adalah penerbit terkenal Mas
Agung, dari "Gunung Agung "
Cerita kedua, dalam box, disusun dari kisah Abdul Bari Ts, yang
pernah bertemu dengan Mbah Suro dan menyaksikan ramalannya:
SUGIYONO bersikap tegak. Mukanya serius. Di depannya, seorang
wanita berambut keriting, berkulit agak gemuk dan mata yang
bulat besar berposisi semedi.
Dua tiga menit, kemudian keluar beberapa kalimat dalam bahasa
Jawa ngoko (bukan bahasa halus) dengan satu dua kata-kata Jawa
kuno, wanita itu berdiri mendekati Sugiyono. Bagaikan orang
sedang melukis, tangan si wanita digerakkan di dada Sugiyono.
Tangan yang satunya menekan perut Sugiyono sambil mengucapkan
beberapa kalimat bahasa Arab. Dan Sugiyono pun selesailah
didadarkan untuk jadi anggota Membuka Jalan Terang
Nama ini mungkin tidak ada hubungannya dengan dokumen 1 karangan
Sawito yang sampai kini masih sering dijadikan bahan pembicaraan
yang mengasyikkan. Jalan Terang berisi wejangan-wejangan Sunan
Kalijaga, yang konon, rohnya datang lewat Pangrukti Aji, si
wanita tersebut. Dalam bahasa Jawa. Perintah Sunan Kalijaga
untuk Kolonel Sugiyono antara lain bahwa dia harus berpuasa
Senen Kemis, mutih (tidak makan garam) setiap Selasa dan Jum'at
Kliwon. Juga pantang makan makanan yang bernyawa (daging dan
ikan) dan harus membaca Surah Wal Asri sebanyak 12 kali.
Tien Wartiningsih, waktu umurnya 9 tahun, sakit rabun. Kebetulan
ada pendeta Osborn -- orang Amerika yang keliling dunia dengan
mengobati orang sakit lewat doa -- mampir di Semarang. Tien
dibawa orangtuanya untuk berobat. Terbukti hingga sekarang
matanya sehat walafiat. Katanya, waktu itu, Osborn ada berkata
bahwa nantinya, Tien juga akan memberikan pertolongan pada orang
banyak. Umur 14 tahun, Tien belajar hipnotisme, telepati dan
sebangsanya. Tiga tahun ilmu tersebut dipelajarinya dan kemudian
ia mulai mengadakan pertunjukan untuk umum: mengendarai motor
dengan mata ditutup, dikubur hidup-hidup, akrobat dan
macam-macam atraksi untuk mempertunjukkan kehebatan dan
keampuhan.
Sponsor untuk pertunjukan pertama di Klaten, Komisaris Polisi
Isnadi. Waktu itu dia mendapat julukan Puteri Sakti. Mendapat
pasaran cukup ramai, Tien kemudian berhenti dari jabatannya
semula, guru sekolah taman kanak-kanak. Atas anjuran ayahnya,
Tien kemudian dianjurkan berguru lebih dalam lagi. Dari pada
kepalang tanggung.
Dan dia pun pergi ke Kyai Sapak di Kaliwungu, Kendal, pergi ke
Cirebon dan banyak tempat lagi, untuk belajar keprihatinan,
puasa, semedi, hingga ia katanya -- sampai bisa melihat
"perwatakan manusia yang asli". Tahun 1968, sepasang
suami-isteri polisi (komisaris) mengeluarkan surat pujian bahwa
Puteri Sakti, lewat ilmunya bisa menemukan barang yang hilang,
mencari pencurinya dan bahkan bisa memanggil orang dari jarak
jauh. Bukan dengan teriak tentunya, tapi lewat semedi.
Pokoknya, kesaktian Tien Wartiningsih semakin bertambah. Apalagi
di tahun 1963, Tien yang sedang lek-lekan (beradang) dengan
beberapa orang kebatinan yang lain di rumah keluarga Supardan,
mendapat wangsit. Jam 4.00 pagi. Keadaan tiba-tiba hening.
Selain Supardan, hadir pula dua orang lain, Sukarno dan
Moehardjo SH. Keadaan yang hening itu kemudian sirna oleh segala
apa yang bergoyang-goyang. Pot, jendela, pintu, semua benda.
Pintu depan terbuka, berbareng dengan munculnya sinar putih
kekuning-kuningan ke ruangan mereka duduk. Di kaca yang
kebetulan tergeletak diatas meja, muncul raut muka seseorang.
Mengenakan jubah putih, sorban di kepala, kitab Al Qur'an di
tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tasbih.
Semua yang hadir, katanya, melihat dengan jelas raut orang dalam
kaca tersebut. Tien mencoba membaca beberapa ayat Qur'an untuk
mengusir orang dalan kaca tersebut. Eh, malah si tokoh
manggut-manggut sambil ketawa. Kemudian hilang. Lalu muncullah
tulisan Arab yang berbunyi Bismillahirrahmanirrahim yang
kemudian disusul kalimat syahadat.
Itu katanya adalah pemunculan dan wejangan Sunan Kalijaga, untuk
orang seisi rumah. Di subuh pagi itulah, Tien mendapat nama baru
lagi. Pangrukti Aji, pemberian "eyang" Sunan Kalijaga.
Selanjutnya, Tien kalau mau berkomunikasi dengan eyang, harus
lewat kunci-kunci doa (pemberian Sunan Kalijaga) tertentu. Dan
eyang akan muncul dengan wejangannya.
Selain wejangan agar menuruti Hukum Tuhan, Sunan Kalijaga
kabarnya di tahun 1963 juga memperingatkan jangan bergaul dengan
orang yang suka membabat dengan arit dan bermain palu. Tahun
1965 akan ada pertumpahan darah, dua tahun kemudian akan muncul
dari puncak gunung anak kecil yang memakai caping dan akan duduk
di kursi gading. Sayang, tidak ada ramalan untuk masa datang.
Kini Tien yang sering menambahkan namanya deugan sebutan
profesor, bekerja sama dengan Mas Agung, tokoh penerbit buku
yang mencetak buku tentang Sukarno dan Suharto. Konon atas
petunjuk eyang. Mas Agung yang sering pakai pici juga ikut ke
gua-gua bersama Tien (dan masuk Islam) mendapat nama baru:
Bawono Aji
Hal ini tentu tidak dilewatkan oleh Mas Agung untuk menerbitkan
beberapa buku pengalaman Tien Wartiningsih. Seiap kali roh
Sunan Kalijaga datang, Mas Agung sibuk merekam semua
ucapan-ucapan Tien. Suami Tien, Fuad Muntaco anak Petamburan,
Jakarta asli yang kemudian mengerti bahasa Jawa,
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Tien dan suami kini
tinggal di Kemanggisan, Slipi, dalam sebuah rumah setengah
tembok dan papan. Mas Agung memperlengkapi perabot rumah,
memberinya sekedar honorarium. Dan Tiensendid "buka praktek"
untuk mengobati orang sakit.
Kepala Dikopyok
"Puteri Sakti yang saya hormati: Mohon kiranya Puteri Sakti bisa
menolong saya yang sedang dalam kesulitan ini. Sudi kiranya
Puteri Sakti menyediakan waktu buat saya". Di bawah tulisan ini
ada tanggal dan tanda tangan yang tidak jelas. Surat tersebut
salah satu dari puluhan yang diterima oleh Tien yang kemudian
diurus oleh "staf'nya. Biasanya ini berupa konsultasi pribadi
yang memerlukan nasehat atau wejangan dari Sunan Kalijaga lewat
Tien. Orang-orang sakit tidak kurang juga yang datang kepadanya,
sekitar 10 orang setiap harinya. Pendeknya, Tien bagaikan
seorang dokter, dan dia memang sering mengenakan stelan
putih-putih. Bedanya: ia mengobati lewat doa-doa. Sebelum
menemui "sang dokter", biasanya stafnya mencatat semua yang
diperlukan oleh pasien. Dicatat misalnya, nama: Atik/4 tahun.
Penyakit: kejang-kejang/stuip, tidak bisa berak, tidak bisa
tidur. Obat: kepala dikopyok dengan jeruk nipis, bawang merah
dan bangle. Baca selawat tujuh kali, Allahu Akbar tujuh kali,
dan anak makan bubur sumsum.
Pasien tidak ditentukan akan membayar berapa. Tapi kalau mau
menyumbang, silakan. Masukkan uang ke sebuah kotak (mirip PMI)
untuk kemudian dibuka nanti oleh Ketua Yayasan Idayu, di sini
Pak Diro, bekas walikota Jakarta. Catatan siapa-siapa yang telah
berobat memang ada, tapi siapa-siapa yang datang untuk kemudian
berhasil baik, tidak mereka miliki. Yang datang biasanya mereka
yang telah lama berusaha berobat (atau memang yang percaya
beginian ketimbang dokter) sehingga keputus-asaan selalu
meliputi hatinya.
Sore hari, di rumah di mana Tien tinggal kini juga membuka
kursus "ilmu kuku" (bisa melihat siapa si pencuri, cuma dengan
lihat kuku di jari jempol), "ilmu kaca" dan macam lain lagi
sebangsanya.
Tien, disertai oleh Mas Agung dan Fuad Muntaco, selalu sibuk
kalau secara tiba-tiba roh Sunan Kalijaga datang memberi
perintah atau pengarahan. Kalau betul, apakah roh eyang Sunan
Kalijaga tidak merasa terganggu untuk dijual sewaktu-waktu?
"Saya kira tidak", ujar Tien, "karena eyang masih mempunyai
tugas sebagai mubaligh. Maka dalam waktu apa pun dan di mana
saja, sebagai arwah suci, eyang bisa diminta bantuannya". Jadi,
roh eyang tidak cuma satu?
Belum habis TEMPO bertanya, tiba-tiba Tien mencekal corong alat
perekam. Tangannya lantas bersikap sujud, mata dipejamkan. Mas
Agung sibuk mengatur kabel-kabel tape. Dan keluarlah dari mulut
Tien beberapa kalimat dalam bahasa Jawa dan Arab. Sunan Kalijaga
kini tidak lagi memberikan wejangannya lewat kaca, dan Tien
cukup menirukan apa yang telah diucapkan eyang. Demikian
pengakuannya.
Setelah selesai berdialog dengan Sunan Kalijaga, Tien membuka
mata dan berucap lagi -- "Maaf, eyang datang bersama Sunan
Bonang dan Sunan Ampel. Sunan Kalijaga mengenakan jubah dan
sorban kuning gading. Yang dua lagi putih-putih. Sunan Ampel
bahkan membawa tongkat".
Suasana di sekeliling Tien Wartiningsih tidak sesyahdu kalau ada
roh orang meninggal (apalagi arwah orang besar) yang datang. Mas
Agung masih terus saja ngobrol dengan dua orang rekannya di
situ. Sesekali dia mengawasi letak dan gerak tape recorder
Jalan hidup Tien Wartiningsih ditentukan sepenuhnya oleh dawuh
eyang, demiWan keterangan orang sekitarnya. "Iya, sampai memilih
suami pun, itu menurut petunjuk eyang", ujar Tien kini 33 tahun.
Dn Sunan Kalijaga memberikan perintah lewat calling atau ya
datang sendiri, di mana perlu. Tambah Tien lagi: "Pernah memang
ada dawuh palsu yang saya terima. Itu cuma dari roh ]ain yang
ingin mencoba mengganggu saya. Antara lain: carilah kekayaan di
puncak gunung Muria. Untunglah saya tidak percaya". Tapi dalam
buku tipis Membuka Jalan Terang, memang ada keterangan dan foto
Tien beserta rombongan ke gunung tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini