Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sunan kalijaga "bicara" lewat ...

Tien wartiningsih dari jakarta, dukun yang mengantarai zaman kini dengan sunan kali jaga. salah seorang pengikutnya adalah mas agung dari "gunung agung". (ag)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebatinan atau kepercayaan memang tak selalu ada hubungannya dengan perdukunan. Meskipun sering dicampur-adukkan. Di Indonesia kepercayaan kepada dukun atau sejenis itu bahkan terdapat di kalangan terpelajar dan berkedudukan. Sayangnya, sedikit sekali diketahui tentang mereka ini. Di bawah ini adalah dua pengalaman wartawan TEMPO dalam perkara dukun-dukun itu. Yang pertama adalah cerita Toeti Kakiailatu ten tang seorang wanita yang mengaku menjadi perantara jamar. ini dengan Suran Kalijaga. Ini terjadi di Jakarta, dan salah satu pengikutnya adalah penerbit terkenal Mas Agung, dari "Gunung Agung " Cerita kedua, dalam box, disusun dari kisah Abdul Bari Ts, yang pernah bertemu dengan Mbah Suro dan menyaksikan ramalannya: SUGIYONO bersikap tegak. Mukanya serius. Di depannya, seorang wanita berambut keriting, berkulit agak gemuk dan mata yang bulat besar berposisi semedi. Dua tiga menit, kemudian keluar beberapa kalimat dalam bahasa Jawa ngoko (bukan bahasa halus) dengan satu dua kata-kata Jawa kuno, wanita itu berdiri mendekati Sugiyono. Bagaikan orang sedang melukis, tangan si wanita digerakkan di dada Sugiyono. Tangan yang satunya menekan perut Sugiyono sambil mengucapkan beberapa kalimat bahasa Arab. Dan Sugiyono pun selesailah didadarkan untuk jadi anggota Membuka Jalan Terang Nama ini mungkin tidak ada hubungannya dengan dokumen 1 karangan Sawito yang sampai kini masih sering dijadikan bahan pembicaraan yang mengasyikkan. Jalan Terang berisi wejangan-wejangan Sunan Kalijaga, yang konon, rohnya datang lewat Pangrukti Aji, si wanita tersebut. Dalam bahasa Jawa. Perintah Sunan Kalijaga untuk Kolonel Sugiyono antara lain bahwa dia harus berpuasa Senen Kemis, mutih (tidak makan garam) setiap Selasa dan Jum'at Kliwon. Juga pantang makan makanan yang bernyawa (daging dan ikan) dan harus membaca Surah Wal Asri sebanyak 12 kali. Tien Wartiningsih, waktu umurnya 9 tahun, sakit rabun. Kebetulan ada pendeta Osborn -- orang Amerika yang keliling dunia dengan mengobati orang sakit lewat doa -- mampir di Semarang. Tien dibawa orangtuanya untuk berobat. Terbukti hingga sekarang matanya sehat walafiat. Katanya, waktu itu, Osborn ada berkata bahwa nantinya, Tien juga akan memberikan pertolongan pada orang banyak. Umur 14 tahun, Tien belajar hipnotisme, telepati dan sebangsanya. Tiga tahun ilmu tersebut dipelajarinya dan kemudian ia mulai mengadakan pertunjukan untuk umum: mengendarai motor dengan mata ditutup, dikubur hidup-hidup, akrobat dan macam-macam atraksi untuk mempertunjukkan kehebatan dan keampuhan. Sponsor untuk pertunjukan pertama di Klaten, Komisaris Polisi Isnadi. Waktu itu dia mendapat julukan Puteri Sakti. Mendapat pasaran cukup ramai, Tien kemudian berhenti dari jabatannya semula, guru sekolah taman kanak-kanak. Atas anjuran ayahnya, Tien kemudian dianjurkan berguru lebih dalam lagi. Dari pada kepalang tanggung. Dan dia pun pergi ke Kyai Sapak di Kaliwungu, Kendal, pergi ke Cirebon dan banyak tempat lagi, untuk belajar keprihatinan, puasa, semedi, hingga ia katanya -- sampai bisa melihat "perwatakan manusia yang asli". Tahun 1968, sepasang suami-isteri polisi (komisaris) mengeluarkan surat pujian bahwa Puteri Sakti, lewat ilmunya bisa menemukan barang yang hilang, mencari pencurinya dan bahkan bisa memanggil orang dari jarak jauh. Bukan dengan teriak tentunya, tapi lewat semedi. Pokoknya, kesaktian Tien Wartiningsih semakin bertambah. Apalagi di tahun 1963, Tien yang sedang lek-lekan (beradang) dengan beberapa orang kebatinan yang lain di rumah keluarga Supardan, mendapat wangsit. Jam 4.00 pagi. Keadaan tiba-tiba hening. Selain Supardan, hadir pula dua orang lain, Sukarno dan Moehardjo SH. Keadaan yang hening itu kemudian sirna oleh segala apa yang bergoyang-goyang. Pot, jendela, pintu, semua benda. Pintu depan terbuka, berbareng dengan munculnya sinar putih kekuning-kuningan ke ruangan mereka duduk. Di kaca yang kebetulan tergeletak diatas meja, muncul raut muka seseorang. Mengenakan jubah putih, sorban di kepala, kitab Al Qur'an di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tasbih. Semua yang hadir, katanya, melihat dengan jelas raut orang dalam kaca tersebut. Tien mencoba membaca beberapa ayat Qur'an untuk mengusir orang dalan kaca tersebut. Eh, malah si tokoh manggut-manggut sambil ketawa. Kemudian hilang. Lalu muncullah tulisan Arab yang berbunyi Bismillahirrahmanirrahim yang kemudian disusul kalimat syahadat. Itu katanya adalah pemunculan dan wejangan Sunan Kalijaga, untuk orang seisi rumah. Di subuh pagi itulah, Tien mendapat nama baru lagi. Pangrukti Aji, pemberian "eyang" Sunan Kalijaga. Selanjutnya, Tien kalau mau berkomunikasi dengan eyang, harus lewat kunci-kunci doa (pemberian Sunan Kalijaga) tertentu. Dan eyang akan muncul dengan wejangannya. Selain wejangan agar menuruti Hukum Tuhan, Sunan Kalijaga kabarnya di tahun 1963 juga memperingatkan jangan bergaul dengan orang yang suka membabat dengan arit dan bermain palu. Tahun 1965 akan ada pertumpahan darah, dua tahun kemudian akan muncul dari puncak gunung anak kecil yang memakai caping dan akan duduk di kursi gading. Sayang, tidak ada ramalan untuk masa datang. Kini Tien yang sering menambahkan namanya deugan sebutan profesor, bekerja sama dengan Mas Agung, tokoh penerbit buku yang mencetak buku tentang Sukarno dan Suharto. Konon atas petunjuk eyang. Mas Agung yang sering pakai pici juga ikut ke gua-gua bersama Tien (dan masuk Islam) mendapat nama baru: Bawono Aji Hal ini tentu tidak dilewatkan oleh Mas Agung untuk menerbitkan beberapa buku pengalaman Tien Wartiningsih. Seiap kali roh Sunan Kalijaga datang, Mas Agung sibuk merekam semua ucapan-ucapan Tien. Suami Tien, Fuad Muntaco anak Petamburan, Jakarta asli yang kemudian mengerti bahasa Jawa, menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Tien dan suami kini tinggal di Kemanggisan, Slipi, dalam sebuah rumah setengah tembok dan papan. Mas Agung memperlengkapi perabot rumah, memberinya sekedar honorarium. Dan Tiensendid "buka praktek" untuk mengobati orang sakit. Kepala Dikopyok "Puteri Sakti yang saya hormati: Mohon kiranya Puteri Sakti bisa menolong saya yang sedang dalam kesulitan ini. Sudi kiranya Puteri Sakti menyediakan waktu buat saya". Di bawah tulisan ini ada tanggal dan tanda tangan yang tidak jelas. Surat tersebut salah satu dari puluhan yang diterima oleh Tien yang kemudian diurus oleh "staf'nya. Biasanya ini berupa konsultasi pribadi yang memerlukan nasehat atau wejangan dari Sunan Kalijaga lewat Tien. Orang-orang sakit tidak kurang juga yang datang kepadanya, sekitar 10 orang setiap harinya. Pendeknya, Tien bagaikan seorang dokter, dan dia memang sering mengenakan stelan putih-putih. Bedanya: ia mengobati lewat doa-doa. Sebelum menemui "sang dokter", biasanya stafnya mencatat semua yang diperlukan oleh pasien. Dicatat misalnya, nama: Atik/4 tahun. Penyakit: kejang-kejang/stuip, tidak bisa berak, tidak bisa tidur. Obat: kepala dikopyok dengan jeruk nipis, bawang merah dan bangle. Baca selawat tujuh kali, Allahu Akbar tujuh kali, dan anak makan bubur sumsum. Pasien tidak ditentukan akan membayar berapa. Tapi kalau mau menyumbang, silakan. Masukkan uang ke sebuah kotak (mirip PMI) untuk kemudian dibuka nanti oleh Ketua Yayasan Idayu, di sini Pak Diro, bekas walikota Jakarta. Catatan siapa-siapa yang telah berobat memang ada, tapi siapa-siapa yang datang untuk kemudian berhasil baik, tidak mereka miliki. Yang datang biasanya mereka yang telah lama berusaha berobat (atau memang yang percaya beginian ketimbang dokter) sehingga keputus-asaan selalu meliputi hatinya. Sore hari, di rumah di mana Tien tinggal kini juga membuka kursus "ilmu kuku" (bisa melihat siapa si pencuri, cuma dengan lihat kuku di jari jempol), "ilmu kaca" dan macam lain lagi sebangsanya. Tien, disertai oleh Mas Agung dan Fuad Muntaco, selalu sibuk kalau secara tiba-tiba roh Sunan Kalijaga datang memberi perintah atau pengarahan. Kalau betul, apakah roh eyang Sunan Kalijaga tidak merasa terganggu untuk dijual sewaktu-waktu? "Saya kira tidak", ujar Tien, "karena eyang masih mempunyai tugas sebagai mubaligh. Maka dalam waktu apa pun dan di mana saja, sebagai arwah suci, eyang bisa diminta bantuannya". Jadi, roh eyang tidak cuma satu? Belum habis TEMPO bertanya, tiba-tiba Tien mencekal corong alat perekam. Tangannya lantas bersikap sujud, mata dipejamkan. Mas Agung sibuk mengatur kabel-kabel tape. Dan keluarlah dari mulut Tien beberapa kalimat dalam bahasa Jawa dan Arab. Sunan Kalijaga kini tidak lagi memberikan wejangannya lewat kaca, dan Tien cukup menirukan apa yang telah diucapkan eyang. Demikian pengakuannya. Setelah selesai berdialog dengan Sunan Kalijaga, Tien membuka mata dan berucap lagi -- "Maaf, eyang datang bersama Sunan Bonang dan Sunan Ampel. Sunan Kalijaga mengenakan jubah dan sorban kuning gading. Yang dua lagi putih-putih. Sunan Ampel bahkan membawa tongkat". Suasana di sekeliling Tien Wartiningsih tidak sesyahdu kalau ada roh orang meninggal (apalagi arwah orang besar) yang datang. Mas Agung masih terus saja ngobrol dengan dua orang rekannya di situ. Sesekali dia mengawasi letak dan gerak tape recorder Jalan hidup Tien Wartiningsih ditentukan sepenuhnya oleh dawuh eyang, demiWan keterangan orang sekitarnya. "Iya, sampai memilih suami pun, itu menurut petunjuk eyang", ujar Tien kini 33 tahun. Dn Sunan Kalijaga memberikan perintah lewat calling atau ya datang sendiri, di mana perlu. Tambah Tien lagi: "Pernah memang ada dawuh palsu yang saya terima. Itu cuma dari roh ]ain yang ingin mencoba mengganggu saya. Antara lain: carilah kekayaan di puncak gunung Muria. Untunglah saya tidak percaya". Tapi dalam buku tipis Membuka Jalan Terang, memang ada keterangan dan foto Tien beserta rombongan ke gunung tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus