Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akal Bulus Bisnis Piramida

Polisi menangkap otak bisnis permainan uang dengan skema Ponzi. Tersangka pertama yang dijerat dengan Undang-Undang Perdagangan.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goenarni Gunawan baru selesai makan siang ketika delapan polisi menghampirinya di restoran Urban Kitchen, lantai lima Senayan City, Jakarta, Kamis pekan pertama Mei lalu. Meski terkejut, dia sempat menanyakan surat tugas sewaktu polisi memintanya ikut ke kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Sepekan kemudian, Goenarni dibawa ke Jayapura sebagai tahanan Kepolisian Daerah Papua. "Dia menjadi tersangka kasus bisnis skema Ponzi," kata Kepala Subdirektorat Industri dan Perdagangan Polda Papua Komisaris Juliarman E. Pasaribu, Selasa pekan lalu.

Bisnis skema Ponzi alias sistem piramida berantai pertama kali diperkenalkan Charles Ponzi dari Amerika Serikat pada 1920-an. Dalam skema ini, peserta mendapat imbalan bukan dari menjual barang, melainkan dari perekrutan anggota. Di Negeri Abang Sam, bisnis skema Ponzi dilarang karena terbukti merugikan anggotanya.

Polisi menjerat Goenarni dengan Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014. Sejak undang-undang ini disahkan pada Maret tahun lalu, menurut Juliarman, Goenarni merupakan tersangka pertama bisnis skema Ponzi. "Sebelumnya, tersangka kasus money game hanya dijerat dengan pasal penipuan," ujar Juliarman.

Larangan mempraktekkan usaha skema Ponzi tercantum dalam Pasal 9 Undang-Undang Perdagangan. Ancaman hukuman maksimal penjara 10 tahun dan denda Rp 10 miliar.

Menurut Juliarman, awalnya polisi mendapat laporan penipuan dari sejumlah peserta skema Ponzi yang bergabung dalam jaringan Wandermind Indonesia. Seorang tukang ledeng di Jayapura, misalnya, melapor bahwa uangnya Rp 30 juta amblas karena ia tertipu jaringan bisnis itu. "Dia tergiur karena iming-iming keuntungan Rp 100 juta. Ternyata bohong, " kata Juliarman.

Polisi memperkirakan jaringan Wandermind masuk ke Papua pada Oktober 2014. Untuk membongkar jaringan ini, beberapa penyidik Polda Papua kali menghadiri pemaparan skema usaha, antara lain di Hotel Yasmin, Jayapura.

Di samping mempelajari skema "investasi" Wandermind, penyidik berkonsultasi kepada beberapa ahli. Salah satunya ke Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). "Dari struktur bisnisnya sangat jelas memakai sistem segitiga piramida," ujar Juliarman.

Setelah yakin soal permainan uang ini, polisi membidik otak jaringan, yakni Goenarni, yang mendirikan PT Wandermind Indonesia pada 2013. Dari anggotanya, Wandermind menghimpun dana "investasi" sebesar Rp 3,75 juta per akun.

Setiap pemilik akun mendapat gelang kesehatan dan voucher hotel senilai Rp 750 ribu. Pemilik akun juga dijanjikan memperoleh akses untuk menjadi agen pemasaran hotel atau tiket pesawat lewat Internet. "Tiket sekadar aksesori. Faktanya, anggota tertarik pada iming-iming bonus," kata Juliarman.

Peserta Wandermind, menurut polisi, diiming-imingi bonus Rp 100 juta dalam waktu tiga bulan. Peserta dijanjikan bonus bila menjalankan dua tahap perekrutan, yakni standard board dan executive board.

Ketika baru bergabung dengan satu akun, peserta berada di level I standard board. Pemilik akun akan masuk ke tahap berikutnya bila berhasil merekrut pemilik dua akun. Semua level standard board bisa dilewati bila peserta sanggup mengisi penuh 14 akun.

Setelah lolos di tahap standard board, peserta masuk ke level executive board, yang memiliki 64 akun. "Peserta disarankan memiliki akun sebanyak-banyaknya agar cepat naik level." Permainan uang, menurut Juliarman, terjadi karena bonus untuk level tertentu sebenarnya diambil dari uang anggota di level bawahnya.

* * * *

Goenarni Gunawan, 55 tahun, bukan orang baru di dunia bisnis permainan uang. Namanya pernah tersangkut bisnis permainan uang TVI Express. "Dia pernah dilaporkan ke polisi, tapi kasusnya tak jalan," kata Ketua APLI Djoko Komara.

TVI Express juga mempraktekkan skema piramida dengan kedok bisnis perjalanan. "Mirip dengan Wandermind," ujar Djoko. Setiap peserta membayar Rp 2,6 juta per akun dengan iming-iming keuntungan voucher menginap di hotel bintang tiga sampai lima di seluruh dunia. Peserta yang berhasil merekrut minimal dua anggota baru pun dijanjikan bonus US$ 10 ribu.

Pada 2011, korban jaringan TVI Express melapor ke polisi di berbagai daerah, seperti Aceh, Jambi, Jakarta, dan Medan. Mereka umumnya melapor tak bisa mengklaim voucher hotel atau mendapat bonus. Di Medan, misalnya, ada 30 orang yang melapor dengan kerugian lebih dari Rp 100 miliar.

Salah seorang pemimpin cabang TVI Express, Rahmad Hidayat bin Syamsudin, sudah divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jambi pada September 2014. Dia diseret ke pengadilan antara lain atas laporan Harman Zenarto, yang menyetor Rp 100 juta, dan Helmi, yang menyetor Rp 96,8 juta.

Karena banyaknya laporan penipuan atas nama TVI Express, pemerintah mencabut izin usaha jaringan bisnis berantai itu pada 2011. Adapun Goenarni, sebagai Direktur Utama TVI Express, tak dijerat karena waktu itu belum ada larangan bisnis skema Ponzi.

Sebelum jaringan TVI Express mati, Goenarni pernah meluncurkan buku biografi berjudul Perjalanan Teladan Perempuan Indonesia. Acara peluncuran buku itu di Jakarta dihadiri sejumlah kepala daerah, pengusaha, dan anggota jaringan TVI Express. Pada April 2011, sebuah majalah perempuan terbitan Jakarta memasukkan Goenarni ke daftar 100 tokoh perempuan inspiratif.

Dalam wawancara dengan sebuah majalah multilevel marketing pada Oktober 2011, Goenarni mengklaim anggota jaringan TVI Express berjumlah 1 juta orang. Adapun uang yang beredar dalam jaringan itu sekitar Rp 2,6 triliun.

Pada 2012, Goenarni mendirikan perusahaan penerbangan Pacific Royale Airways. Perusahaan itu buah kerja sama Goenarni dengan Tarun Trika, pemilik TVI Express. Namun maskapai penerbangan yang melayani rute Batam-Surabaya itu hanya bertahan enam bulan. Perusahaan tutup karena Goenarni bersengketa soal kepemilikan saham dengan mitra bisnisnya.

Setelah pemerintah mencabut izin TVI Express, Goenarni tak langsung mati langkah. Ia bangkit dengan mengembangkan jaringan baru: Wandermind.

Kuasa hukum Goenarni, Wahyu Purnomo, mengatakan kliennya bukan pendiri Wandermind. "Perusahaan itu berafiliasi dengan Wandermind Amerika," katanya. Wahyu pun menyangkal jika Wandermind disebut menjalankan skema Ponzi. "Memang strukturnya berbentuk segitiga, tapi bukan skema Ponzi." Menurut dia, "Ini bisnis travel via Internet."

Wahyu menyatakan bisnis Wandermind di Indonesia memiliki izin resmi. Jaringan itu dilaporkan ke polisi gara-gara permainan seorang "leader" di Papua. Pemimpin jaringan itu meminta anggota Wandermind membuka hingga 32 akun. "Itu tak sesuai dengan prosedur bisnis ini," ucap Wahyu.

Toh, polisi tak begitu saja percaya pada penjelasan Goenarni dan kuasa hukumnya. Menurut Komisaris Juliarman, polisi tengah mempelajari data komputer yang disita dari kantor Goenarni di kompleks Duta Merlin, Jalan Gajah Mada, Jakarta. Dalam komputer itu tercatat data 70 ribu anggota jaringan Wandermind. "Kalau dihitung-hitung, perputaran uangnya lebih dari Rp 260 miliar," kata Juliarman.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Patrige Renwarin menambahkan, sejauh ini polisi telah menyita berbagai aset Goenarni. Antara lain, 3 pesawat terbang, 1 unit apartemen, rekening tabungan di 5 bank, 19 lembar kartu ATM, dan 26 lembar kartu kredit. "Kami berupaya membekukan aset dia yang berupa uang," ujar Patrige.

Yuliawati, Cunding Levi (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus