Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Coretan 'Dinding' Berakhir Bui

Mengkritik pemerintah lewat Facebook, seorang penggiat pariwisata ditahan polisi. Penyidikan berlanjut meski sudah ada perdamaian.`

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN, 11 Mei lalu, semestinya menjadi hari membahagiakan bagi Furqan Ermansyah. Anak bungsunya yang duduk di kelas III sekolah dasar hari itu genap berusia 8 tahun. Keluarga pun telah menyiapkan perayaan kecil-kecilan: makan malam bersama di sebuah restoran cepat saji. Namun rencana itu buyar ketika sore harinya Furqan menelepon ke rumah. Ia menyampaikan kabar buruk.

Siang itu Furqan menjalani pemeriksaan kedua di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat. Hingga larut malam, tak ada tanda-tanda "wawancara" dengan polisi bakal segera rampung. "Ternyata penyidik menyuruh saya 'nginep'," kata Furqan, Rabu pekan lalu.

Keesokan harinya, istri Furqan, Murni Hayanti Fatimah, mendatangi kantor polisi bersama pengacara. Mereka mengajukan penangguhan penahanan Furqan. Namun polisi menolak permohonan itu. Furqan pun meminta istrinya tak menceritakan penahanan dia kepada ketiga anaknya.

Furqan berurusan dengan polisi setelah dilaporkan Kepala Badan Promosi Pariwisata Nusa Tenggara Barat Taufan Rahmadi pada Desember tahun lalu. Taufan menuding Furqan mencemarkan namanya lewat tulisan di jejaring sosial Facebook. Polisi lantas menjerat Furqan dengan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Imam Sofian, kuasa hukum Furqan, mengatakan tak habis pikir jika kritik yang dilayangkan lewat Facebook sampai membuat kliennya dibui. Semestinya, menurut dia, tulisan Furqan di grup "Forum Membangun NTB" itu menjadi masukan untuk Badan Promosi Pariwisata Nusa Tenggara Barat.

Furqan termasuk anggota aktif di forum diskusi yang sering membahas perkembangan pariwisata di Nusa Tenggara Barat itu. Di Facebook, ia memakai nama beken Rudy Lombok—julukan semasa kecilnya. Furqan sendiri sudah 26 tahun berkecimpung di bidang usaha perjalanan. Terakhir ia memiliki sebuah biro travel.

Menurut Imam, di wall Facebook, Furqan memuat banyak tulisan yang mengkritik Badan Promosi Pariwisata Nusa Tenggara Barat. Namun hanya tiga tulisan yang dilaporkan Taufan. Salah satunya berupa catatan yang diunggah Furqan pada 16 Desember 2014.

Furqan mempertanyakan alasan situs milik lembaga pemerintah, www.bppdntb.com, mempromosikan paket wisata dari salah seorang agen pariwisata di Lombok. Menurut dia, situs milik lembaga pemerintah semestinya tidak mencari untung. Apalagi operasionalisasi situs itu sudah dibiayai anggaran daerah. Setelah muncul kritik itu, situs milik Badan Promosi Pariwisata tersebut sempat ditutup. Ketika www.bppdntb.com muncul lagi, tawaran paket jalan-jalan di situs tersebut sudah hilang.

Dua tulisan berikutnya diunggah Furqan pada 21 Januari 2015 dan 5 Februari 2015. Kedua tulisan menyoroti perhelatan "Tambora Menyapa Dunia" yang sepi peminat. Furqan menilai perhelatan itu tak berhasil menyedot pengunjung karena panitia memang "tidak cakap". Di samping itu, ia menganggap iklan Badan Promosi Pariwisata tentang acara tersebut lebih menonjolkan profil Taufan Rahmadi ketimbang gambaran potensi wisata sesungguhnya.

Rupanya, kritik Furqan membuat gerah pegawai Badan Promosi Pariwisata NTB. "Kami tak alergi jika dikritik, tapi ini sudah menjurus ke fitnah," ucap Taufan, Rabu pekan lalu. Setelah menggelar rapat dengan semua pegawai, Taufan pun melaporkan Furqan ke polisi.

Furqan dan Taufan sebenarnya bukan orang yang tidak saling mengenal. Mereka pernah tinggal satu kampung. Sebelum Taufan pindah rumah, mereka sama-sama tinggal di Gang Panda, Monjok Perluasan, Selaparang, Mataram. Jarak rumah mereka hanya 300 meter. Menurut Furqan, hubungan mereka memburuk setelah ia kerap mengkritik lembaga yang dipimpin Taufan.

Lewat pertemuan keluarga pada pertengahan Mei lalu, Furqan dan Taufan juga sudah menandatangani surat perdamaian. Namun polisi tak mau menghentikan penyidikan kasus tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Komisaris Besar Prasetijo Utomo mengatakan perkara Rudy Lombok bukan delik aduan. Dia beralasan, sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE, penghinaan di media sosial bisa diproses tanpa perlu adanya laporan. "Surat perdamaian pun tidak menghapus perkara ini," kata Prasetijo, Selasa pekan lalu.

Dalam waktu dekat, menurut Prasetijo, polisi akan mengirim berkas pemeriksaan Furqan ke Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat.

Sejumlah tokoh di Mataram pun menggalang dukungan untuk meminta penangguhan penahanan Furqan. Mereka antara lain pemimpin Pesantren Nurul Haramain Putri, Hasanain Juaini, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Zainal Asikin.

Akhirnya, setelah 15 hari menahan Furqan, polisi membebaskan pria itu pada Rabu pekan lalu. Namun Prasetijo kembali mengingatkan Furqan bahwa penangguhan penahanan tak serta-merta menghentikan penyidikan kasusnya. Polisi pun masih mewajibkan Furqan melapor dua kali setiap pekan. "Benar-salah, nanti urusan pengadilan," kata Prasetijo.

Toh, Furqan kini tak mau ambil pusing dengan kelanjutan kasusnya. Dia pun tak menyesali apa yang ia lakukan. Sekarang misinya tinggal satu: "Menebus utang ulang tahun anak," ujar Furqan.

Syailendra Persada (Jakarta), Supriyantho Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus