Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir

Kendati dianggap saudara sendiri, Madin, 21, nekat menyudahi Agus Mardono, 28 & Evie, 26. ia sakit hati karena sering cekcok. Diduga mayat Evie sempat disetubuhi. Psikiater diminta memastikan jiwa Madin.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Akhir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TENGAH malam menjelang dinihari, Senin pekan lalu, di rumah kontrakan di Jalan Kangkung 60, Cipulir, Jakarta Selatan, terjadi kegaduhan. Disusul suara permintaan tolong nyonya rumah, Evie. Pemilik rumah kontrakan itu, Haji Asmat, buru-buru menuju ke rumah Engkoh dan Encik -- panggilan akrab Agus Mardono, 28 tahun, dan Evie, 26 tahun, yang keturunan Cina itu -- sekitar 30 meter dari rumah Pak Haji. Tapi sampai di depan rumah itu, Pak Haji bingung karena keadaan di dalam rumah gelap dan tak ada suara apa-apa. "Encik ... ! Encik ...!" panggil Haji Asmat, 63 tahun, sambil mengetuk pintu kaca nako. Karena tak ada jawaban, Pak Haji ganti memanggil pembantu kedua suami-istri itu, Madin, 21 tahun. "Madin..., ada apa?" Berkali-kali Pak Haji mengetok kaca jendela dan memanggil nama penghuninya. Tapi tetap tak ada jawaban. Setelah beberapa menit berlalu, barulah terlihat Madin. Tubuhnya dililit handuk, tanpa baju. "Nyalakan lampu, saya pingin ketemu Encik," kata Pak Haji. Madin menjawab, "Nanti dulu, mau memakai celana." Setelah itu, yang terdengar adalah suara guyuran air di kamar mandi. Begitu Madin selesai berpakaian, ia kembali ke ruang depan menemui Pak Haji dan mengatakan bahwa pintu tak bisa dibuka karena tak ada anak kunci. "Bangunkan Engkoh," kata Pak Haji. Madin menuruti perintah itu. "Koh ..., bangun Koh, ada yang cari," suara Madin terdengar jelas. "Ah, bilang saja besok," jawab suara lainnya dengan sengau. Rupanya, suara sengau itu cuma sandiwara. Juga, pintu yang dikatakan Madin tak ada anak kuncinya itu. Sebab, begitu Pak Haji mengangkat kaca nako, ia melihat anak kunci tergantung di pintu. Pak Haji merogoh kunci itu dan memutarnya. Klek. Pintu terbuka. Pak Haji masuk. Tapi masih di ruang tamu Pak Haji tertegun. "Astagfirullah," serunya. Di hadapannya mayat Agus dan Evie bersimbah darah. Sementara itu, motor Honda bebek milik Agus sudah berada di depan pintu, dengan kunci kontak siap di tempatnya. Madin tak bisa mengelak lagi. Sebelum dihajar warga, lelaki asal Balaraja, Tangerang itU diamankan di rumah Pak Haji. Polisi, yang kemudian dihubungi, segera menahan tersangka. Menurut Kapolres Jakarta Selatan, Drs. Faisal Arwien, berdasarkan pemeriksaan sementara, tersangka mengaku melakukan pembunuhan itu karena sakit hati. Ia, katanya, sejak dua bulan lalu ikut membantu tuannya berdagang di toko P & D di Jalan Raya Kebayoran Lama. Tapi sejak dua minggu lalu, konon, dia dan kedua majikannya itu cekcok. Ia sering dimarahi dan bahkan disakiti. Ia, ceritanya, pernah dilempar dengan kentang, telur, dan bahkan disiram minyak dingin. Bahkan sehari sebelum pembunuhan itu, Madin, yang mengaku memang malas membuka toko, diusir tuannya. Tapi kendati telah diusir dari rumah, Agus dan Evie rupanya masih memperkenankan pemuda itu menginap di rumahnya. Pada Minggu malam itu, Madin datang ke rumah Pak Haji, meminjam pisau. "Untuk mengupas mangga, Pak Haji," kata Madin. Tanpa curiga apa-apa, pisau buatan sendiri dari bekas gergaji besi itu diberikan. Kebetulan pula rumah kontrakan itu baru sebulan dihuni pasangan Agus dan Evie. Dan karena baru, rumah yang hanya terdiri dari sebuah ruangan tamu dan sebuah kamar tidur itu belum rapi benar. Antara ruangan tamu, tempat Madin tidur, dan kamar majikannya, misalnya, belum ada pintunya, dan hanya dibatasi sebuah tirai. Bahkan perabot rumah tangga kedua pasangan itu belum lengkap -- sebagian masih ditinggal di rumah orangtua Agus, di Kedoya, Jakarta Barat. Sebab itu, sejak tinggal di rumah itu, pasangan yang kabarnya masih pengantin baru itu terpaksa tidur di lantai dan hanya dilapisi vinil. Karena keadaan rumah itu pula Madin dengan mudah bisa masuk ke kamar majikannya pada malam itu. Ia diam-diam mendekati Agus yang tertidur lelap di samping istrinya. Sebuah tusukan dihunjamkan Madin ke ulu hati Agus. Korban sempat melolong, sehingga Madin memberi tusukan sekali lagi ke dada kanannya. Mendengar teriakan suaminya, Evie, yang ada di sampingnya, terbangun. Ia pun berteriak minta tolong. Tapi Madin keburu memiting lehernya dan menyudahi dengan tusukan di dada kiri. Keduanya tewas di tempat. Setelah Evie tewas, dalam pengakuan Madin ke polisi, ia memperkosa mayat itu. "Madin juga mengaku menyetubuhi Evie yang telah menjadi mayat," kata Kapolres Faisal, yang didampingi Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol. Latief Rabar, ketika memberikan keterangan pers. Selesai melaksanakan hajatnya, Madin berniat kabur. Karena itu, ia menyiapkan sepeda motor dan mengambil uang korban Rp180 ribu. Ketika itulah, rupanya, Pak Haji mengetuk rumah itu dan disusul warga sekitar itu. Madin tak berkutik. Sebab, pintu keluar hanya satu-satunya di depan rumah dan sudah dipenuhi tetangga. Persoalannya kini, benarkah Madin memperkosa mayat Evie? Di rahim mayat wanita itu memang ditemukan sperma. Tapi sperma itu bisa saja milik Agus sebelum keduanya terbunuh. "Kami memang sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter, yang juga memeriksa sperma itu di laboratorium. Dari psikiater pun kita usahakan secepatnya mendapatkan kepastian adakah Madin mengidap kelainan jiwa atau tidak," kata Wakaserse Polres Jakarta Selatan, Kapten Polisi Sarito. Sebuah sumber TEMPO di Polres Jakarta Selatan memang memperkirakan Madin memperkosa mayat majikannya. Sebab, mereka bertiga tinggal di rumah yang sangat sempit. Diperkirakan, Madin sering mendengar atau memergoki pasangan pengantin baru itu bermesraan. "Sebagai anak muda, wajar kalau ia terangsang," kata sumber itu. Kalau tuduhan dan perkiraan itu benar Madin memang keterlaluan. Sebab, sejak kecil Madin, yang ditinggal mati ayahnya, ikut orangtua Evie di Jembatan Lima, Jakarta Kota. Bagi Evie, ia bukan orang yang asing. Itu sebabnya, begitu Evie mendaftarkan diri ke RT setempat, Madin diperkenalkan sebagai keluarga sendiri. "Sudah saya anggap keluarga sendiri," kata Evie kepada ketua RT. Widi Yarmanto dan Prijono (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus