Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berita VS Pemukulan

Wartawan Pos Kota Susilo Arinanjaya dianiaya Robinson Pakpahan dkk. Seorang hakim & jaksa di PN Jak-pus diberitakan menghindar dari ancaman saksi. Kasus serupa pernah menimpa wartawan Editor & Vista.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Berita VS Pemukulan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BAGI orang Betawi dan sebagian penduduk Jawa Barat, kata ngibrit sudah tak asing lagi. Ngibrit berarti lari atau menghindarkan diri dari situasi tertentu. Mungkin karena nuansa tertentu itu pula, harian Pos Kota yang terbit 3 November silam memilih "ngibrit" untuk mengungkapkan perihal Hakim dan Jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua penegak hukum itu diberitakan menghindarkan diri dari ancaman seorang saksi. Hanya saja, berita yang berjudul "Tongkat Penyangga Kaki Hampir Melayang ke Hakim" tersebut berbuntut jelek. Susilo Arinanjaya, wartawan Pos Kota yang memberitakan kejadian itu, terpaksa menelan pil pahit. Ia dipukuli hingga babak belur oleh seorang tukang pukul. Soalnya, asisten pengacara Robinson Pakpahan SH., adalah adik jaksa tersebut, tidak berkenan dengan isi berita yang dibuat Susilo. Memang Robinson kemudian membantah -- antara lain lewat rubrik Surat Pembaca harian Kompas, 21 November 1988 -- bahwa tidak benar dia menyuruh pukul Susilo. Katanya, berita itu fitnah. Isi berita yang dilaporkan Susilo boleh dibilang tak membahayakan pihak mana pun. Artikcl itu hanya bercerita tentang seorang yang mengamuk, karena sidang kasusnya tertunda-tunda sampai tiga bulan. Mungkin masalahna semata-mata timbul, karena jaksa dan hakim dilaporkan ngibrit. Tak heran bila Robinson dengan garang balik menghardik Susilo. "Apa kamu tahu, kalau jaksa itu ngibrit?" begitu sergahnya. Susilo sendiri tidak hadir dalam persidangan tersebut. Tapi, ia mengaku, sudah melakukan konfirmasi ke berbagai pihak yang terlibat, termasuk majelis hakim yang menyidangkan kasus itu. "Jadi, semua yang saya tulis itu merupakan kejadian yang sebenarnya," kata Sus. Maka, Susilo berpendapat, tindakan yang dilakukan Robinson cs. tidak beralasan sama sekali. "Kalau merasa tidak puas atau merasa dirugikan karena pemberitaan itu, 'kan bisa melapor ke kantor kami," ujarnya. Kini jalan ceritanya berbalik. Susilo ganti merasa tak puas. Hari itu juga, ia melaporkan kasusnya pada Polres Jakarta Pusat dan PWI Jaya. Ia ingin agar kasusnya diusut lebih jauh. Siapa sebenarnya yang bersalah dalam kasus ini? Rosihan Anwar, sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, menyesalkan tindakan yang dilakukan Robinson cs. Menurut dia, ketidakpuasan seperti itu bisa saja diadukan ke kantor PWI. Kalau masih tidak puas, yang merasa dirugikan bisa menuntut koran atau yang bersangkutan ke meja hijau. "Jangan main pukul, selesaikan saja secara hukum," ujarnya. Kasus penganiayaan seperti yang dialami Susilo? menurut Rosihan? bukan hal baru. "Dulu juga ada, tapi tidak banyak seperti sekarang," ujarnya. Ini karena peliputan berita waktu itu lebih banyak di bidang politik. Sedangkan sekarang, selain politik, masalah-masalah sosial ekonomi lebih dominan dalam ajang pernberitaan. "Jadi? kerja wartawan sekarang ini lebih rumit ketimbang dulu," tambah Rosihan. Dewasa ini, menganiaya wartawan tampaknya nyaris menjadi pilihan terbaik bagi sumber-sumber berita yang merasa dirugikan. Peristiwa pemukulan di Medan, misalnya. Bulan lalu, seorang wartawan majalah berita mingguan Editor ditinju oleh seorang dokter Rumah Sakit Glugur. Kabarnya, dokter tersebut tak mau diwawancarai sementara wartawannya agak ngotot. Maka, kepalan pun melayang seketika. Kasus serupa, yang paling populer, adalah penganiayaan terhadap wartawan majalah Vista, S.K. Martha, dua tahun lalu. Ketika itu, Martha dipukuli oleh Budi Prakosa (suami bintang film Jenny Rachman) dan tiga orang centengnya. Bahkan, kalau Budi tidak sempat dicegah Jenny, Martha nyaris kehilangan alat vitalnya. Budi sudah menyiapkan gunting untuk itu. Tapi yang lebih tragis, juga terjadi dua tahun lalu, adalah terbunuhnya wartawan harian Mimbar Umum, R.M. Subari Ismanto. Jasadnya ditemukan mirip korban Petrus alias penembak misterius. Bayangkan, sesudah ditembak almarhum diikat dan dimasukkan ke dalam karung. Tubuhnya kemudian dicampakkan di sebuah selokan di Desa Lapan, Kecamatan Babakan, Langkat, Sum-Ut. Kalau tak salah, wartawan yang tak bergaji ini dibunuh karena tulisannya telah merugikan seorang sumber berita. Nah, sampai kapankah kejadian serupa ini akan berlangsung? Lembaga-lembaga yang tersangkut tampaknya tidak akan berpangku tangan. Seperti dikemukakan Menpen Harmoko kepada Kompas, "Kasus ini harus segera dituntaskan, sebab kalau tidak, bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan pers." Apalagi hal itu dilakukan oleh penegak hukum di sebuah kantor pengadilan. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono pun tak tinggal diam. Karena peristiwanya menyangkut seorang jaksa, ia berjanji akan segera mengusut kasus ini. "Kalau terbukti ada jaksa yang terlibat, saya akan bertindak tegas." Tekad-tekad seperti itu tujuannya baik, kendati realisasinya masih harus dibuktikan. Mudah-mudahan saja kelak, kerja wartawan bisa lebih aman. Lagi pula, seperti di mana pun juga, hubungan wartawan dan masyarakat bagalkan hubungan separuh hati: dicari kalau perlu, disingkirkan kalau mengganggu. Padahal, seperti yang dikemukakan Rosihan, wartawan tak bedanya dengan masyarakat kebanyakan. "Dia tak punya hak istimewa, dan tak kebal hukum." BK & Agung Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus