Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

RCTI Nyelonong ke Rumah Bukan ...

Selama sepekan pemirsa tv bisa menikmati siaran gratis RCTI. Syarat hiburan, tak punya sentuhan jurnalisme visual. Pemasangan decoder ke TV pelanggan terlambat karena kekurangan tenaga profesional.

26 November 1988 | 00.00 WIB

RCTI Nyelonong ke Rumah Bukan ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TV swasta, RCTI? Agaknya itulah bahan percakapan paling mengasyikkan di kalangan remaja Jakarta pekan ini. Mereka banyak bergerombol di depan layar kaca sejak 13 November lalu, ketika siaran terbatas Rajawali Citra Televisi Indonesia, alias RCTI, mulai ditayangkan. Para pemilik TV, kendati tidak mendaftar sebagai langganan, bisa pula ikut menikmati. Siaran gratis alias promosi? Kira-kira begitulah. RCTI telah memulai operasinya dengan siaran percobaan yang tidak terbatas hanya untuk pelanggan. Kegiatan cuma-cuma tersebut akan berlangsung sampai akhir pekan lalu, selama lima jam sehari -- dari pukul 17.30 hingga 22.30 WIB. Tapi bagaimana RCTI bisa "nyelonong" ke rumah-rumah non-pelanggan? Padahal, 'kan semestinya RCTI hanya bisa ditangkap oleh pesawat TV yang dilengkapi decoder, alias alat pembaca sandi? Lantas, orang pun menduga-duga. "Saya yakin, encoder -- alat pengirim sandi -- sengaja dibocorkan, sebagai salah satu upaya untuk menarik pelanggan," ujar seorang pemirsa. Dugaan itu mungkin tak terlalu salah. Selama seminggu itu -- kecuali acara siaran berita yang di-relay dari TVRI -- RCTI hanya menayangkan film kartun, film cerita lepas, dan musik, yang semuanya merupakan film impor. Untuk konsumsi anak-anak ditayangkan film kartun (seperti Real Ghost Buster) dan film cerita Sesame Street. Sedangkan yang juga bisa dinikmati oleh orang dewasa adalah film-film komedi seperti Golden Girls dan Who's The Boss. Khusus untuk konsumsi para ibu, bapak, dan anak-anaknya yang sudah pada gede ada film musik, detektif, dan cerita silat. Semuanya merupakan film yang biasa ditayangkan di gedung-gedung bioskop. Maaf, film musik rupanya terpaksa digolongkan pada konsumsi dewasa, sebab di sini tak ada sensor sama sekali. Yang bugil tak ada, tapi gerakan-gerakan erotis para penyanyi bule itu cukup merangsang juga. Dan tampaknya, itu memang digemari sebagian pelanggan. "Adegan cium tidak dipotong, wanita berbikini juga tak apa-apa. Jadi, saya puas menontonnya," kata Helen Basuki, yang menyimak RCTI sejak Senin pekan lalu. Sang suami tak mau kalah. "Mudah-mudahan, dengan adanya RCTI istri dan anak-anak saya menjadi betah di rumah," ucapnya setengah menyindir. Tapi kepala sama hitam, toh pendapat berbeda-beda. Segelintir penonton yang ditanyai TEMPO menilai bahwa RCTI terlalu sarat hiburan. Padahal, kalau cuma sekadar nonton film cerita atau musik, 'kan bisa sewa video yang hanya Rp1.000. Lagi pula, katanya, menjadi langganan RCTI tidak efisien. Sebab, tidak setiap hari atau setiap malam keluarganya nongkrong di depan TV. Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh seorang dosen. Menurut dia, di mana saja, kapan saja, asal punya uang, hiburan macam apa pun bisa dinikmati. "Jadi, bagi saya RCTI tidak istimewa," ucapnya ketus. Apalagi yang ditayangkan hanya produk-produk impor. "Selain tidak menggambarkan adanya prestasi, RCTI sama sekali tak memiliki sentuhan jurnalisme visual," ujarnya lagi. Kelemahan ini diakui oleh RCTI. Seperti diungkapkan Bagian Humasnya, RCTI masih membeli program acara dari luar negeri (terutama AS), karena tenaga ahlinya belum siap untuk mengolah acara lokal. Sedangkan encoder yang bocor, menurut Direktur Teknik RCTI, Alex Kumara bukanlah kesengajaan, tapi semata-mata kesalahan teknis. "Maklum, ini merupakan teknologi yang benar-benar baru buat Indonesia," ujarnya. Untunglah, setelah diperbaiki, encoder itu kini tak bocor lagi. Lantas, kenapa siarannya bisa lolos sampai seminggu? Alex mengakui bahwa siaran gratis itu memang disengaja. Tapi bukan untuk promosi. Cuma karena pemasangan decoder di rumah-rumah pelanggan agak lambat," katanya. Keterlambatan ini pun beralasan sama, yakni: karena teknologi baru, hingga para instalator canggung memasangnya. Terbukti dari daya tangkap yang dihasilkan. Ada beberapa rumah yang kendati sudah dipasangi decoder tetap saja tak bisa menangkap siaran. Memang, 220 instalator -- dari 22 agen decoder tampaknya harus bekerja keras. Mereka harus melayani calon pelanggan yang tak kurang dari 40 ribu rumah. Itu belum termasuk beberapa hotel -- di antaranya Hilton dan Hyatt Aryaduta. Bahkan RCTI menargetkan, sampai akhir tahun ini pelanggannya akan mencapai 70 ribu, yang akan meningkat sampai 150 ribuan pertengahan tahun depan. Walaupun jumlah pelanggannya masih jauh dari 1/2 juta -- oplah media cetak terbesar di Indonesia sekitar 1/2 juta -- para pengusaha menilai jumlah itu sudah memadai. Mereka antusias untuk berpromosi. Kabarnya, tidak kurang dari 100 produk yang sudah pasti diiklankan di sini. Menurut humas RCTI, dari situ saja, sudah masuk sekitar Rp18,8 milyar. Ditambah lagi iuran dari 40 ribu pelanggan (@ Rp30 ribu sebulan), yang tiap bulan menghasilkan Rp 1,2 milyar. Melihat angka-angka itu, investasi 80 juta dolar yang ditanamkan di RCTI tampak tak terlalu besar. Apalagi bagi Peter Langlois -- tenaga ahli dari AS yang menjadi general manager -- ada kebanggaan tersendiri. Menurut eks manajer satu stasiun pemancar milik NBC di Sacramento ini, stasiun RCTI dua kali lebih besar dari stasiun yang pernah ditanganinya. Dan pembangunannya sangat cepat, hanya 8 bulan. "Di AS, stasiun seperti ini dibangun paling cepat 18 bulan," ujarnya. Problem yang dirasakan sangat mengganjal adalah tenaga operasional yang kurang banyak. Dari 104 karyawan yang dipekerjakan, masih terlalu sedikit yang benar-benar mampu. Alasannya: alat-alat RCTI masih asing bagi mereka. Akibatnya, 10 tenaga asing -- 8 dari AS, 2 dari Filipina -- yang seyogyanya menjadi penasihat, untuk sementara terjun langsung sebagai operator. Dalam kondisi serba kurang itu, mula Senin pekan ini, RCTI akan tampil lengkap. Para pemirsa yang pelanggan diharapkan jangan cepat bosan. Sebaliknya, yang bukan pelanggan tentu mesti tahu diri. Soalnya, tak ada lagi siaran gratis, sebab mulai pekan ini juga, siaran sudah diacak. Maksudnya: siaran sudah diamankan, agar tak dapat ditangkap kalau tanpa decoder. Budi Kusumah, Syafiq Basri, Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus