Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA jam membacakan putusan, suara hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati nyaris tak tertangkap mikrofon. Hakim tunggal sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu pun tak berusaha mendekatkan alat pengeras suara agar kata-katanya terdengar di seluruh ruangan.
Di akhir pembacaan putusan, suara sang hakim tiba-tiba terdengar lebih jelas. "Penetapan tersangka tidak sah. Termohon tidak dapat membuktikan dua alat bukti yang cukup," ujar Yuningtyas, Selasa pekan lalu. Ruang sidang pun bergemuruh. Puluhan pengunjung serempak menyerukan takbir. Sebagian dari mereka bersujud syukur.
Sidang itu hampir lima jam tertunda. Di jadwal, sidang putusan gugatan praperadilan bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin itu semestinya dimulai pukul 10.00. Namun hakim Yuningtyas baru memasuki ruang sidang pukul 14.45.
Menurut Yuningtyas, Komisi Pemberantasan Korupsi tak berhasil menunjukkan dua alat bukti yang sah. Dalil sang hakim, antara lain, seluruh dokumen yang diajukan KPK ke persidangan hanya berupa fotokopian tanpa pengesahan (legalisasi).
Di samping membatalkan status tersangka Ilham, hakim Yuningtyas menyatakan tindakan penyidik KPK lainnya tidak sah. Termasuk di antaranya penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran tiga rekening bank milik Ilham. Hakim pun meminta nama dan hak Ilham dipulihkan. "Sementara permintaan ganti rugi Rp 1.000 tidak dikabulkan," kata Yuningtyas.
Inilah untuk pertama kalinya hakim membatalkan penetapan status tersangka setelah Mahkamah Konstitusi memperluas obyek praperadilan. Pada 28 April lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi oleh mantan terpidana kasus korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah.
Sebelumnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang bisa digugat ke praperadilan hanya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Lewat putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek praperadilan.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ilham sebagai tersangka pada 7 Mei 2014. Itu persis hari terakhir masa jabatan Ilham sebagai Wali Kota Makassar. Menurut KPK, Ilham diduga terlibat korupsi dalam kerja sama pengelolaan dan transfer instalasi Perusahaan Daerah Air Minum Makassar pada 2006-2012. Hengky Wijaya, Direktur PT Traya Tirta Makassar, yang menjadi mitra PDAM, pun menjadi tersangka.
Komisi antikorupsi mengusut kerja sama PDAM dengan PT Traya Tirta Makassar setelah menerima laporan masyarakat pada 2012. Menurut perkiraan KPK, kerugian negara dalam kasus itu sekitar Rp 38,1 miliar. Perhitungan KPK ini lebih tinggi daripada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2012, yang menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 31,8 miliar.
Menurut pelaksana tugas pemimpin KPK, Johan Budi S.P., proses penetapan tersangka Ilham Arief telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK. "Sudah ada ekspose perkara. Kami pun yakin dengan bukti permulaan dalam menetapkan tersangka," ujar Johan.
Ilham Arief Sirajuddin menyiapkan gugatan praperadilan sejak Februari lalu. Mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Sulawesi Selatan itu meminta sembilan pengacara menjadi kuasa hukumnya. Salah seorang di antaranya Johnson Panjaitan. "Setelah gugatan praperadilan Budi Gunawan dimenangkan hakim, ada ruang yang bisa saya perjuangkan," kata Ilham Arief, Kamis pekan lalu.
Komisaris Jenderal Budi Gunawan memenangi gugatan bahkan sebelum Mahkamah Konstitusi menyatakan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Karena itu, putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi tersebut dianggap melampaui wewenang praperadilan dan menabrak hukum acara perdata.
Ilham pertama kali mengajukan gugatan praperadilan pada 23 Maret lalu. Namun, pada 2 April lalu, ia mencabut lagi gugatannya. Tim kuasa hukum Ilham mengubah materi gugatan setelah hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali. Kebetulan Johnson merupakan kuasa hukum Suryadharma.
Pada 16 April lalu, Ilham kembali memasukkan berkas gugatan praperadilan. Sidang perdana berlangsung Senin, 4 Mei lalu. Di persidangan, hakim Yuningtyas meminta KPK menunjukkan dua bukti bahwa Ilham Arief telah melakukan tindak pidana yang merugikan negara.
Selama persidangan, KPK menyerahkan daftar 34 alat bukti disertai lampiran fotokopi dan hasil pemindaian sejumlah dokumen. Namun tim kuasa hukum Ilham berkeras penyidik menunjukkan dokumen aslinya. Salah satu yang diminta dokumen aslinya adalah laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. "Itu saja tak bisa ditunjukkan penyidik," ujar Johnson.
Ketika kuasa hukum Ilham mencecar dengan berbagai pertanyaan, penyidik KPK berkali-kali menyatakan bahwa semua dokumen asli ada di kantor KPK. Karena bersifat rahasia, menurut si penyidik, bukti-bukti itu tak bisa dibuka di sidang praperadilan. Rupanya, seperti tim kuasa hukum Ilham, hakim Yuningtyas pun menganggap daftar alat bukti dan fotokopi dokumen yang ditunjukkan KPK bukan bukti yang sah.
Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji, mengatakan tim KPK sebenarnya sudah menyiapkan fotokopi alat bukti beserta aslinya. Namun permintaan KPK untuk menunda waktu penyampaian bukti itu ditolak hakim Yuningtyas.
Indriyanto pun menyayangkan permintaan hakim agar KPK membuka dua alat bukti permulaan di sidang praperadilan. Pendekatan seperti itu, menurut dia, berisiko membahayakan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Indriyanto menambahkan, sifat tertutup dalam proses pra-ajudikasi (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) tentang alat bukti harus dipertahankan. Bila tidak, terbuka peluang besar bagi saksi atau tersangka untuk menyamarkan alat bukti. "Baik dengan menghilangkan, mengaburkan, ataupun merusaknya," ucapnya.
Menurut Indriyanto, putusan praperadilan tak membatasi KPK untuk membuka kembali penyidikan kasus Ilham. "Tidak ada nebis in idem dalam kasus ini," katanya. Asas nebis in idem yang menyatakan seseorang tak bisa dituntut atas kesalahan yang sama, menurut dia, hanya berlaku bila hakim telah membuat putusan akhir.
Senada dengan Indriyanto, Johan Budi pun memastikan KPK akan melakukan perlawanan hukum. "Kami tunggu dulu salinan lengkap putusannya," ujar Johan.
Yuliawati, Linda Trianita, Moyang Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo