INI mungkin cara melarikan utang yang paling lihai. Akong, alias Hwe Kwee Chang, direktur perusahaan kayu lapis terbesar di Kalimantan Barat, PT Harapan Kita Utama, jelas terbukti melarikan utang dari pemasok bahan baku lemnya, Budiono dari PT Benua Multi Lemtari, Rp 500 juta. Karena itu, Pengadilan Negeri Pontianak memerintahkan seluruh harta perusahaannya disita. Tapi ketika sita eksekusi dilakukan, Selasa pekan lalu, yang menjerit bukan Akong, tapi BNI 1946. Sebab, sejak tahun lalu, pihak BNI sudah mengambil alih perusahaan kayu lapis yang tidak sanggup melunasi kreditnya sebesar Rp 70 milyar. Dari semua debitur itu, hanya Budiono yang mau menggugat Akong ke pengadilan, setelah si "Raja Kayu Lapis" itu menghilang dari Pontianak akhir tahun lalu. Pengadilan pun tiga kali memanggil tergugat. Tapi Akong atau kuasanya tetap tidak hadir. Sebab itu, akhirnya, persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Soetrisno memutuskan Akong harus membayar lunas utangnya kepada Budiono Rp 530 juta -- dalam proses persidangan verstek, tanpa dihadiri tergugat. Ternyata, sampai vonis itu berkekuatan pasti, tidak ada perlawanan dari pihak Akong. Sebab itu, pengadilan memerintahkan sita eksekusi atas harta PT Harapan Kita Utama (HKU) di Pontianak, Mempawah, dan Jakarta. Harta yang disita itu berupa kantor berlantai tiga di Pontianak, beberapa bidang tanah, pabrik penggergajian kayu di Sukalanting. Mempawah, dan kantor cabang di Jakarta, serta kendaraan bermotor. Juga disita 2.000 kubik lebih kayu di tempat penggergajian yang sudah siap diekspor. Tapi, pihak BNI, yang sejak tahun lalu mengambil alih perusahaan kayu itu, menjerit. Manajer baru perusahaan kayu itu dari BNI, Rusli Abdillah, menganggap harta yang ada sekarang bukan lagi milik HKU tapi milik perusahaan yang baru dibentuk BNI, PT Harapan Papan Plywood Industry. Menurut Rusli, sebenarnya pihak BNI-46 yang diwakilinya pun tidak mendapat apa-apa dari harta HKU itu dibandingkan utang perusahaan ke BNI yang meliputi jumlah Rp 70 milyar lebih. Tidak satu pun, dari kendaraan-kendaraan milik HKU, kata Rusli Abdillah, ketika manajemen diambil alih BNI yang masih bisa dipakai. Ke-14 mobil yang sempat disita pengadilan pekan lalu itu pun, kabarnya, tidak lagi atas nama HKU tapi atas nama pribadi-pribadi yang tidak berhubungan dengan perusahaan itu. Sementara itu, sejak awal tahun ini, pabrik kayu lapis itu sudah macet total. Akibatnya, selain dari banyaknya utang yang ditinggalkan Akong, kini usaha itu menghadapi pula soal gaji sekitar 5.000 orang buruh yang konon sudah membengkak sampai Rp 500 juta. Kalau BNI saja hanya dapat sisa-sisa, apalagi debitur-debitur lainnya. "Semua barang tidak bergerak di perusahaan ini sudah dijaminkan ke BNI, dan mereka tidak bisa menagih kami. Sebab ketika manajemen kami ambil alih, dalam satu klausul disebutkan bahwa kami tidak menanggung utang-utang perusahaan lama," kata Rusli. Dalih Rusli itu yang tidak bisa diterima Budiono dan juga pengadilan. "Perusahaan baru yang dibuat BNI itu mungkin saja gelap, karena tidak terdaftar di pengadilan daerah ini," kata pengacara Budiono, M.B. Panggabean. Kecual itu, katanya, pihak BNI itu tidak bisa mengajukan keberatan atas sita eksekusi yang dilakukan pengadilan. "Mereka 'kan bukan kuasa tergugat, tapi pihak ketiga," kata Panggabean. Seandainya pun mereka berhak, kata panitera Pengadilan Negeri Pontianak dan pelaksana eksekusi, Djafar Oesman, jangka waktu untuk melakukan perlawanan sudah lewat -- vonis hakim sudah jatuh Juni lalu dan teguran kepada tergugat pun sudah melebihi waktu yang diberikan undang-undang. Sebab itu, katanya, pihaknya akan melelang barang-barang itu. "Seharusnya, kalau BNI-46 tidak bersedia membayar utang HKU, ia meminta perusahaan itu dinyatakan pailit." kata Djafar. K.I., Laporan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini