BERSAFARI biru dan dengan senyum ceria, penghuni LP Sukamulia di Medan, Machmud Siregar, memasuki ruangan pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Sabtu pekan lalu. Terpidana perkara korupsi itu sebelumnya divonis hakim Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman 9 tahun penjara, karena terbukti mengkorup uang Pemda Sum-Ut Rp 824 juta selama ia memangku jabatan bendaharawan di kantor tersebut. Tapi, buat apa ia diperiksa lagi? "Satu langkah saya sudah menang," kata Machmud, ketika dikawal dua orang jaksa memasuki kamar periksa. Maksudnya, hari itu ia diperiksa sebagai saksi untuk perkara empat orang pejabat teras Pemda, yang dituduhnya di sidang pengadilan ikut menikmati rezeki haram itu. Berbeda dengan sidang-sidang korupsi lainnya, yang biasanya si terdakwa akan menutupi kesalahan rekan-rekannya atau atasannya, Machmud membeberkan siapa saja yang terlibat dalam kasus menguapnya uang negara itu. Sebagai bendaharawan untuk proyek-proyek nonfisik, kata Machmud di sidang, semua cek yang ditandatanganinya baru bisa dicairkan setelah mendapat fiat atasannya, Kepala Biro Bina Mental di Kantor Gubernur, Bahrum Siregar. Kecuali atasannya, kata Machmud, setiap dana baru bisa dicairkan setelah melewati Tim Penyusunan Lembaran Kerja, Bappedasu, Biro Pembangunan Daerah, Biro Keuangan, sampai ke Sekwilda. "Untuk itu, dari atasan sampai ke tukang ketik, harus disediakan dana," kata Machmud. Sebab itu, Machmud menganggap tidak adil bila hanya dia seorang yang diminta bertanggung jawab atas kebocoran uang negara itu. "Saya hanya kebagian Rp 200 juta," katanya. Selebihnya, katanya, dimakan saksi-saksi, di antaranya Bahrum Siregar, pejabat sebelumnya, Bahrum Ilmi Hutasuhut, dan Tumpang Panghadean, Kepala Subbag Rekening Koran di Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU). Tapi, selain kepada ketiga orang itu, pihak kejaksaan kini juga mengusut Wakil Pimpinan II di bank milik Pemda itu, Tengku Tajul -- sebuah nama yang sebenarnya tidak disebut-sebut dalam perkara Machmud. Pihak pemeriksa belum bersedia mengungkapkan peran keempat pejabat yang diusutnya itu. Khususnya Tengku Tajul yang baru saja masuk "nominasi" dalam perkara itu. Tapi, menurut Machmud, orang itu memang berperan penting: "Bayangkan, hanya dengan tanda tangan dia, cek itu bisa dicairkan di bank." Suatu kali, cerita Machmud, sebelum ia mendapat SK sebagai bendaharawan, Bahrum Ilmi Hutasuhut menyuruhnya mencairkan cek senilai Rp 400 juta ke bank. Cek untuk proyek nonfisik itu sebenarnya, kata Machmud, belum bisa dicairkan karena ketika itu -- DIP (Daftar Isian Proyek) belum ada dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) belum disahkan. Tapi, dana itu bisa juga dicairkan, setelah bank mendapat persetujuan telepon dari seorang pejabat di Kantor Gubernur. "Uang itu keluar dalam tempo sejam," ujar Machmud. Machmud tetap menyangkal keras sebagai pelaku tunggal dalam kasus itu. "Kalau saya pelaku tunggal, tentu saya kabur dengan uang sebanyak itu." Perannya dalam kasus itu, katanya, hanyalah sebagai tempat transito uang itu. "Diperintah ambil saya lakukan, disuruh bayar pada si anu saya bayar persis loperlah," katanya tertawa. Ia juga belum cukup puas dengan diperiksanya keempat pejabat pemda dan bank itu. "Sebenarnya yang terlibat bukan empat orang, tapi empat puluh orang. "Jika semuanya diadili, itu baru namanya adil," kata Machmud, ayah lima anak itu. Benarkah itu semua? Bahrum Siregar, Bahrum Ilmi Hutasuhut, dan Tumpang Panghadean membantah. Bahrum kepada TEMPO bahkan menganggap dialah yang membongkar korupsi Machmud itu. "Kalau saya terlibat, kenapa tidak saya amankan saja kasus itu?" katanya. Sementara itu Bahrum Ilmi Hutasuhut membantah pernah menandatangani cek-cek yang di luar wewenangnya. Ia malah menganggap tanda tangannya telah dipalsukan. "Jadi, kenapa saya harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan?" Pejabat bank, Tumpang Panghadean, beberapa waktu lalu mengaku memindahkan cek-cek Pemda ke rekening pihak lain di banknya. "Tapi itu saya lakukan karena saya percaya kepada Machmud," katanya. Bagaimana dengan Tengku Tajul? "Saya belum diberi tahu kejaksaan -- tanya saja ke atasan saya," kata Tengku Tajul, Kepala Cabang BPDSU Kabanjahe, mengelak. Semua tuduhan Machmud itu pekan-pakan ini memang lagi diteliti kejaksaan. Tapi, yang menarik, Machmud berhasil menyeret atasannya dalam perkara korupsi. Sebelumnya berbagai perkara korupsi besar, seperti dalam kasus Budiaji di Samarinda dan Brongkos di Bogor, diadili tanpa menyeret-nyeret nama para atasan. Budiaji, yang divonis penJara seumur hidup pada 1977, misalnya, mengaku melakukan kejahatan itu tanpa diketahui atasanna. Sedangkan Brongkos, bekas Kepala Dispenda Bogor yang divonis 9 tahun penjara karena korupsi Rp 2,3 milyar, 1984, semula bemiat "bernyanyi". Tapi, belakangan, ia malah tutup mulut. "Buat apa? Toh, mereka tidak akan ditindak iuga," kata Brongkos ketika divonis. Eh, siapa tahu? K.I, Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini