PENGACARA meski sudah mati-matian membela, tidak selalu ikut merasa manisnya kemenangan kliennya. Dua pengacara dari Medan, Ani Abas Manopo dan Abdul Muthalib Sembiring, contohnya. Keduanya merasa dikibuli klien. Diiming-imingi honor sekian juta bila menang perkara, kenyataannya janji gombal, meski kedua pengacara tersebut berhasil memenangkan perkara sampai di tingkat kasasi. Inilah cerita yang hingga kini masih berkembang. Tersebutlah PT Gunung Gahapi dan Gunung Sakti, dua perusahaan baja di Medan, digugat ke pengadilan oleh Ani Abas Manopo, Juli silam. Kedua perusahaan itu, menurut Ani, tidak membayar uang jasa ketika dua pimpinan perusahaan itu dibela di Pengadilan Negeri Medan, 1982. Waktu itu Kamaruddin alias Kim Cui, 36, dan Sehati atau Lie Tjoei Hoa, 34, masing-masing komisaris dan wakil direktur kedua perusahaan itu, ditangkap Laksusda Sumatera Utara. Mereka dituduh menyelundupkan delapan mesin pembangkit listrik (enset) bekas dari Singapura. Menurut saksi-saksi, mesin-mesin itu dibeli Kamaruddin dan Sehati dari Ho & Co. Oleh mereka komponen-komponen mesin itu lalu diurai dan dicampurkan dengan besi-besi bekas lainnya. Barang-barang itU lantas dikirim secara bertahap dengan tiga kapal. Setibanya di Medan, komponen mesin itu lalu dijadikan satu lagi kembali seperti semula. Ani Abas, yang memang sudah sejak 1970 menjadi penasihat hukum kedua perusahaan itu, membantah tuduhan tersebut lewat sepucuk surat yang dikirimkan ke Kopkamtib. Hasilnya, Kamaruddin dan Sehati hanyd seminggu ditahan. Dan, ketika keduanya ditahan kejaksaan tinggi untuk kasus tersebut, Ani kembali berusaha hingga kliennya itu hanya tiga hari ditahan. "Selama sebulan klien saya ditahan, saya tak kenal siang malam, kerja lembur," kata Ani, guru besar FH-USU. Karena berkas sudah sampai ke kejaksaan, akhirnya Kamaruddin dan Sehati tetap maju ke meja hijau. Oleh Ketua Majelis Hakim, Burhan Husein Putrajaya, keduanya dihukum 10 bulan penjara dan denda Rp 5 juta. Ani naik banding, dan, ketika pengadilan tinggi menguatkan putusan tersebut, Ani segera mengajukan kasasi. Di tingkat ini, awal 1986, Ani menang. Selang beberapa hari, Ani menagih baydran kepada kedua perusahaan tersebut. Sebab, ketika ia mulai menangani perkara itu, kepadanya sudah dijanjikan keliling dunia dan akan dipenuhi segala kebutuhannya bila memenangkan perkara tersebut. Namun kedua perusahaan itu menolak tagihan Ani. Bahkan, Ani tak berhasil menemui Kamaruddin atau Sehati. "Padahal, saya sudah 16 tahun menjadi panasihat hukum kedua perusahaan itu," katanya. Ia mengaku mendapat bayaran Rp 75 ribu tiap bulan dari kedua perusahaan itu. Karena merasa diabaikan itu, Ani menggugat kedua perusahaan itu Rp 137 juta, dengan perincian Rp 87 juta sebagai honornya dan Rp 50 juta untuk ganti rugi penghinaan. "Sikap mereka itu 'kan menghina saya," ujarnya.Namun, Lukmanul Hakim, pengacara baru kedua perusahaan itu, dalam sidang membantah tuduhan Ani. "Klien saya tak pernah bermaksud menghina dia. Juga tak pernah menjanjikan keliling dunia," jawabnya. Pengacara yang merasa ditipu kliennya bukan hanya Ani, tapi H. Abdul Muthalib Sembiring juga mengalami. Ceritanya dimulai sepuluh tahun silam, ketika Fa Daood Djafar Company (Fa DDC) digugat oleh PT Murida. Sampai tingkat kasasi, Fa DDC kalah, pengadilan lalu menjalankan putusan kasasi menjual dua ribu hektar kebun karet milik Fa DDC. Sayangnya, Koeswandi Ketua Pengadilan Negri Medan ketika itu, menjualnya langsung ke pembeli, tidak melalui Kantor Lelang Negara. Muthalib Sembiring, pengacara Fa DDC, menggugat Koeswandi. Menang. Kebun karet itu akhirnya kembali ke tangan Buyung Djafar, pemilik Fa DDC, juga karena PT Orici -- pembeli -- bubar: terlibat manipulasi dokumen ekspor kopi. Setahun setelah Muthalib memenangkan perkara itu, 1983, Buyung meninggal. Anak sulungnya, H. Sofyan Djafar, 44, menjual kebun karet itu kepada PT Surya Lestari, Rp 500 juta. "Tapi saya tak mendapat bagian apa pun. Padahal, saya dijanjikan imbalan jasa Rp 10 juta yang akan diangsur dan honor Rp 100 ribu tiap bulan. Selain itu, bila kebun karet itu dijual, saya mendapat 20% setelah Fa DDC membayar utang-utangnya. Kebun karet itu ditaksir seharga Rp 800 juta, dan seharusnya -- sesuai dengan perjanjian saya mendapat Rp 80 juta," tutur Muthalib. Sofyan Djafar mengaku tak tahu-menahu tentang perjanjian antara ayahnya, almarhum, dan Muthalib. "Tapi Fa DDC sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan kebun karet itu dijual untuk membayar utang perusahaan kami yang lebih dari Rp 500 juta," ujar Sofyan. Erlina Agus, Laporan M. Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini