Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muslim Ayub meminta Presiden Prabowo Subianto selektif dalam memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana (napi). Dia menekankan, amnesti hendaknya diutamakan bagi napi lanjut usia, mengidap penyakit kronis, dan tidak membahayakan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagi pelaku korupsi, narkoba berskala besar, dan tindak pidana berat lainnya yang merugikan negara, tidak berhak mendapatkan amnesti," katanya melalui keterangan tertulis, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia setuju bahwa pemberian amnesti dapat menjadi solusi untuk mengurangi beban kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rutan. "Perlu ada langkah yang sistemik terkait pembaruan sistem pemidanaan dalam jangka panjang, termasuk pendekatan hukum yang tidak represif dan mengedepankan pembinaan maupun sanksi sosial," tuturnya.
Dia mengingatkan pemerintah untuk memastikan bahwa yang menerima amnesti benar-benar memenuhi kriteria. Amnesti, kata dia, mesti mempertimbangkan konsepsi keadilan bagi korban kejahatan.
“Memastikan bahwa langkah ini tidak disalahgunakan sebagai jalan pintas untuk meringankan hukuman bagi pelaku tindak pidana berat," ujar Muslim.
Meski demikian, Muslim mendukung rencana Prabowo untuk memberikan amnesti. Kebijakan itu, menurut dia menunjukkan keberpihakan negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
"Terutama bagi kelompok rentan seperti narapidana lanjut usia, mereka yang menderita penyakit kronis, dan narapidana dengan kasus yang tidak membahayakan masyarakat secara langsung," kata politikus Partai NasDem itu.
Dia menilai amnesti dapat menjadi kesempatan kedua bagi napi untuk menata kembali hidupnya dan memastikan tak terulang melakukan tindak pidana. Pertimbangan kemanusiaan dan HAM, kata dia, adalah landasan yang sangat mulia dalam kebijakan ini.
Muslim juga mengusulkan agar napi yang terjerat kasus politik berupa penyampaian pendapat diberi amnesti. Khususnya, mereka yang hanya menyuarakan opini tanpa tindakan kekerasan.
Di sisi lain, dia mengkritisi wacana menjadikan napi yang mendapatkan amnesti sebagai tenaga swasembada pangan dan Komponen Cadangan. Menurut dia, pengalihan tersebut berpeluang mengakibatkan terjadinya eksploitasi.
"Kecuali, pengalihan tersebut diarahkan untuk mendapatkan pembinaan dan kesempatan bekerja, sehingga dapat menunjang keberlangsungan hidup napi pasca amnesti," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan pemerintah akan memberikan amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Pemberian ampunan itu bertujuan untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas di berbagai lapas di Indonesia.
Dia menuturkan, ada empat kategori narapidana yang akan mendapatkan amnesti. Pertama, narapidana perkara tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang penghinaan kepada kepala negara. Kedua, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa.
Kategori ketiga adalah narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua. Keempat, pengguna narkotika yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi.
Supratman menambahkan, pemerintah juga akan mengikutsertakan para narapidana yang mendapat amnesti dalam program swasembada pangan. Mereka akan masuk ke dalam Komponen Cadangan untuk bekerja dalam program tersebut.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.