Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ali Sadikin Bicara

Ali Sadikin menganggap penunjukan A Tjai alias Endang Wijaya sebagai investor proyek Pluit melalui prosedur yang benar. Urusan kredit merupakan urusan perbankan yang dapat diselesaikan secara perdata.(krim)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLUIT kini bersuara seperti kemewahan: diam-diam dihasratkan tapi juga dibenci. Mungkin sudah nasib daerah ini: seperti terbolak-balik oleh sulapan. "Dulu tempat setan buang anak," kata Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI Jakarta, melukiskan terlantarnya daerah itu. Dulu rawa dan empang mengelilingi rumah penduduk, yang umumnya butut, dengan air busuk dan penuh nyamuk. Warna hijau segar sangat langka. Udara kering dari teluk Jakarta seperti berhenti di sana dan menindih penduduk perkampungan -- yang bukan anak setan. Sejak zaman Sumarno duduk di gubernuran, menurut Ali Sadikin, Jakarta telah membutuhkan dan mencari seseorang yang berani membuka Pluit. "Saya juga telah menunggunya sampai empat tahun," kata Bang Ali. "Sudah saya tawar-tawarkan, lengkap dengan fasilitas yang saya janjikan, tapi tak ada yang berani." Lalu muncul Endang Wijaya alias A Tjai. "Apa saya harus menolak keberamannya, yang memang saya tungguNnggu, hanya lantaran dia (keturunan) Cina saja?" Ali Sadikin pun mulai bercerita. Kerjasama A Tjai dengan BPO (Badan Pelaksana Otorita), pertengahan 1968 dimulai dengan pembangunan proyek perumahan Jembatan Dua tahap I dan II. Kebijaksanaan Gubernur, waktu itu, sangat jelas. "A Tjai adalah partner kerjasama BPO yang ditunjuk sebagai investor. Sekali-kali bukan sebagai pemborong biasa." Sebagai penanam modal A Tjai tentu berkewajiban mengeluarkan semua biaya dan membayar semua kewajiban berupa prasarana dan sebagainya. Pengosongan tanah dari rumah-rumah penduduk merupakan tanggungjawab BPO. Bahwa penunjukan A Tjai sebagai partner BPO adalah tanpa tender, bagi Ali Sadikin wajar."Mana ada aturannya penunjukan investor dengan tender? Apakah penunjukan investor untuk pabrik terigu, pabrik semen atau hotel pakai tender -- memangnya uang siapa? " Setelah membuat rumah-rumah penampungan bagi penduduk yang tergusur, awal 1970, A Tjai mulai membangun perumahan Pluit Baru. Pekerjaan dimulai pada kwartal akhir 1970, meskipun kontrak baru ditandatangani awal 1971. "Hal itu sama sekali bukan persoalan," kata Bang Ali. "Tak ada sepeserpun uang DKI dirugikan. Semua risiko tanggungjawab Endang Wijaya sendiri. " Dari Pluit, yang telah terbangun perumahan mewah, sekolah sampai pasar super, A Tjai menyeberang sungai ke perumahan nelayan di Muara Karang dan Muara Angke. "Perumahan nelayan di Angke itu yang membangun A Tjai, merupakan rumah murah pertama yang betul-betul murah, untuk menampung para nelayan dari Muara Karang dan tempat lain," Ali Sadikin menegaskan. Pluit merupakan kota satelit Jakarta yang dibangun oleh modal swasta. Perubahan segera nampak. Suhu di sana turun beberapa derajat ditiup angin dari pepohonan rindang di mana-mana, diserap daun-daun akasia yang rimbun di taman-taman luas. Waduk Pluit, yang menampung air banjir ibukota, jadi 'taman impian'. Melihat lingkungan itu, banyak pejabat penting memilih rumah di sana. Menurut penilaian Ali Sadikin: "Taman Impian Ancol di Bina Ria belum apa-apa dibanding seluruh proyek Pluit." Pernah, kata Ali Sadikin pula, seorang pejabat top berseloroh setelah capek keliling Pluit: "Yang membangun daerah ini harusnya dapat bintang penghargaan! ". Sukses A Tjai itulah, "yang boleh jadi membuat banyak orang iri untuk mengungkit-ungkit soal fasilitas yang pernah saya berikan kepadanya." Padahal, lanjut Bang Ali, "dulu ditawar-tawarkan pun orang tak ada yang mau." Dari mana A Tjai memperoleh modal? Ali Sadikin angkat bahu. "Itu urusan Endang Wijaya." Karena soal modal, seperti dalam kontrak, bukan tanggungjawab DKI. Hubungan A Tjai dengan pihak bank manapun, "sama sekali di luar urusan pemerintah." Pun, ketidak beresan dalam urusan kreditnya -- macet, misalnya -- "semata-mata urusan perbankan yang dapat diselesaikan secara perdata." Kalau toh terbukti ada kecurangan A Tjai dalam memperoleh kredit, dalam bentuk manipulasi, "itu juga soal kriminil biasa, bukan politik atau subversi." Tapi bagaimana disebutnya keberhasilan A Tjai, dalam mengeduk sekian milyar rupiah dari bank, antara lain adalah berkat surat-surat keterangan dari BPO? Jawab Bang Ali: "Menurut saya, harusnya bank tidak boleh menganggap segala surat keterangan dari DKI sebagai jaminan kredit. Sebab, pada prinsipnya, DKI tak punya hak untuk membuat katebelece apapun bagi swasta untuk memperoleh kredit. Bukankah Bank Bumi Daya itu bukan leveransir uang, yang boleh mendrop uang berdasarkan katebelece dari siapapun?" Ali Sadikin sementara itu memang tak pernah merasa keberatan bila bawahannya menggunakan mobil atau rumah dari A Tjai. "Sebagai pejabat BPO, yang bekerja keras untuk membangun Pluit, saya tak keberatan mereka memperoleh fasilitas sepanjang hal itu merupakan fasilitas dinas." Artinya, semua fasilitas bukan atas nama pribadi. "Bagi DKI itu penghematan belanja rumah atau mobil dinas." Tapi, awas, "jika semua fasilitas itu dibalik nama atas nama pribadi, hal itu saya anggap pencurian. Kalau tahu waktu itu, pasti saya tindak !" Bagaimana dengan Wakil Gubernur DKI ir Prajogo Padmowihardjo? Tuduhan jaksa kepada A Tjai menyangkut Wagub ini, tentang rumah yang dibangunkan A Tjai di Cempaka Putih atau pinjaman pribadi sebesar Rp 15 juta. Tentang ini Ali Sadikin geleng kepala. "Saya tahu siapa ir Prajogo," katanya, "orangnya baik dan sederhana, dan saya sangat percaya kepadanya." Yang terjadi sebenarnya, konon, Prajogo ingin membangun rumah di atas tanahnya di Cempaka Putih. Dia menunjuk A Tjai sebagai pemborong. Memang tak satu sen pun Prajogo mengeluarkan uang untuk itu. Janjinya, jika rumah selesai, A Tjai berhak mengontrakkannya kepada orang lain sejumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun. "Kontrak bangun semacam itu sudah biasa di Jakarta atau di tempat lain," kata Ali Sadikin. Ali Sadikin, kini pengusaha swasta, nampaknya memang ingin, agar dalam perkara A Tjai ini, mereka yang namanya tersangkut diperlakukan sesuai dengan asas "pra-anggapan tak bersalah " Tapi mungkinkah sekarang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus