PLUIT kini bersuara seperti kemewahan: diam-diam dihasratkan
tapi juga dibenci. Mungkin sudah nasib daerah ini: seperti
terbolak-balik oleh sulapan. "Dulu tempat setan buang anak,"
kata Ali Sadikin, bekas Gubernur DKI Jakarta, melukiskan
terlantarnya daerah itu.
Dulu rawa dan empang mengelilingi rumah penduduk, yang umumnya
butut, dengan air busuk dan penuh nyamuk. Warna hijau segar
sangat langka. Udara kering dari teluk Jakarta seperti berhenti
di sana dan menindih penduduk perkampungan -- yang bukan anak
setan.
Sejak zaman Sumarno duduk di gubernuran, menurut Ali Sadikin,
Jakarta telah membutuhkan dan mencari seseorang yang berani
membuka Pluit. "Saya juga telah menunggunya sampai empat tahun,"
kata Bang Ali. "Sudah saya tawar-tawarkan, lengkap dengan
fasilitas yang saya janjikan, tapi tak ada yang berani."
Lalu muncul Endang Wijaya alias A Tjai. "Apa saya harus menolak
keberamannya, yang memang saya tungguNnggu, hanya lantaran dia
(keturunan) Cina saja?"
Ali Sadikin pun mulai bercerita. Kerjasama A Tjai dengan BPO
(Badan Pelaksana Otorita), pertengahan 1968 dimulai dengan
pembangunan proyek perumahan Jembatan Dua tahap I dan II.
Kebijaksanaan Gubernur, waktu itu, sangat jelas. "A Tjai adalah
partner kerjasama BPO yang ditunjuk sebagai investor.
Sekali-kali bukan sebagai pemborong biasa." Sebagai penanam
modal A Tjai tentu berkewajiban mengeluarkan semua biaya dan
membayar semua kewajiban berupa prasarana dan sebagainya.
Pengosongan tanah dari rumah-rumah penduduk merupakan
tanggungjawab BPO.
Bahwa penunjukan A Tjai sebagai partner BPO adalah tanpa tender,
bagi Ali Sadikin wajar."Mana ada aturannya penunjukan investor
dengan tender? Apakah penunjukan investor untuk pabrik terigu,
pabrik semen atau hotel pakai tender -- memangnya uang siapa? "
Setelah membuat rumah-rumah penampungan bagi penduduk yang
tergusur, awal 1970, A Tjai mulai membangun perumahan Pluit
Baru. Pekerjaan dimulai pada kwartal akhir 1970, meskipun
kontrak baru ditandatangani awal 1971. "Hal itu sama sekali
bukan persoalan," kata Bang Ali. "Tak ada sepeserpun uang DKI
dirugikan. Semua risiko tanggungjawab Endang Wijaya sendiri. "
Dari Pluit, yang telah terbangun perumahan mewah, sekolah sampai
pasar super, A Tjai menyeberang sungai ke perumahan nelayan di
Muara Karang dan Muara Angke. "Perumahan nelayan di Angke itu
yang membangun A Tjai, merupakan rumah murah pertama yang
betul-betul murah, untuk menampung para nelayan dari Muara
Karang dan tempat lain," Ali Sadikin menegaskan.
Pluit merupakan kota satelit Jakarta yang dibangun oleh modal
swasta. Perubahan segera nampak. Suhu di sana turun beberapa
derajat ditiup angin dari pepohonan rindang di mana-mana,
diserap daun-daun akasia yang rimbun di taman-taman luas. Waduk
Pluit, yang menampung air banjir ibukota, jadi 'taman impian'.
Melihat lingkungan itu, banyak pejabat penting memilih rumah di
sana. Menurut penilaian Ali Sadikin: "Taman Impian Ancol di Bina
Ria belum apa-apa dibanding seluruh proyek Pluit." Pernah, kata
Ali Sadikin pula, seorang pejabat top berseloroh setelah capek
keliling Pluit: "Yang membangun daerah ini harusnya dapat
bintang penghargaan! ".
Sukses A Tjai itulah, "yang boleh jadi membuat banyak orang iri
untuk mengungkit-ungkit soal fasilitas yang pernah saya berikan
kepadanya." Padahal, lanjut Bang Ali, "dulu ditawar-tawarkan pun
orang tak ada yang mau."
Dari mana A Tjai memperoleh modal? Ali Sadikin angkat bahu. "Itu
urusan Endang Wijaya." Karena soal modal, seperti dalam kontrak,
bukan tanggungjawab DKI. Hubungan A Tjai dengan pihak bank
manapun, "sama sekali di luar urusan pemerintah." Pun, ketidak
beresan dalam urusan kreditnya -- macet, misalnya --
"semata-mata urusan perbankan yang dapat diselesaikan secara
perdata." Kalau toh terbukti ada kecurangan A Tjai dalam
memperoleh kredit, dalam bentuk manipulasi, "itu juga soal
kriminil biasa, bukan politik atau subversi."
Tapi bagaimana disebutnya keberhasilan A Tjai, dalam mengeduk
sekian milyar rupiah dari bank, antara lain adalah berkat
surat-surat keterangan dari BPO? Jawab Bang Ali: "Menurut saya,
harusnya bank tidak boleh menganggap segala surat keterangan
dari DKI sebagai jaminan kredit. Sebab, pada prinsipnya, DKI tak
punya hak untuk membuat katebelece apapun bagi swasta untuk
memperoleh kredit. Bukankah Bank Bumi Daya itu bukan leveransir
uang, yang boleh mendrop uang berdasarkan katebelece dari
siapapun?"
Ali Sadikin sementara itu memang tak pernah merasa keberatan
bila bawahannya menggunakan mobil atau rumah dari A Tjai.
"Sebagai pejabat BPO, yang bekerja keras untuk membangun Pluit,
saya tak keberatan mereka memperoleh fasilitas sepanjang hal itu
merupakan fasilitas dinas." Artinya, semua fasilitas bukan atas
nama pribadi. "Bagi DKI itu penghematan belanja rumah atau mobil
dinas." Tapi, awas, "jika semua fasilitas itu dibalik nama atas
nama pribadi, hal itu saya anggap pencurian. Kalau tahu waktu
itu, pasti saya tindak !"
Bagaimana dengan Wakil Gubernur DKI ir Prajogo Padmowihardjo?
Tuduhan jaksa kepada A Tjai menyangkut Wagub ini, tentang rumah
yang dibangunkan A Tjai di Cempaka Putih atau pinjaman pribadi
sebesar Rp 15 juta. Tentang ini Ali Sadikin geleng kepala. "Saya
tahu siapa ir Prajogo," katanya, "orangnya baik dan sederhana,
dan saya sangat percaya kepadanya."
Yang terjadi sebenarnya, konon, Prajogo ingin membangun rumah di
atas tanahnya di Cempaka Putih. Dia menunjuk A Tjai sebagai
pemborong. Memang tak satu sen pun Prajogo mengeluarkan uang
untuk itu. Janjinya, jika rumah selesai, A Tjai berhak
mengontrakkannya kepada orang lain sejumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membangun. "Kontrak bangun semacam itu sudah
biasa di Jakarta atau di tempat lain," kata Ali Sadikin.
Ali Sadikin, kini pengusaha swasta, nampaknya memang ingin, agar
dalam perkara A Tjai ini, mereka yang namanya tersangkut
diperlakukan sesuai dengan asas "pra-anggapan tak bersalah "
Tapi mungkinkah sekarang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini