Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, operasi intersepsi atau penyadapan mesti mematuhi standar operasional prosedur (SOP) yang ketat. Tindakan intersepsi atau penyadapan oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian dianggap rawan disalahgunakan jika tidak diawasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyebut pelaksanaan penyadapan merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri. Penerapan intersepsi juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua juga harus memenuhi ketentuan penghormatan pada hak asasi warga negara,” ucap Bambang saat dihubungi, Selasa, 7 Mei 2024.
Sebelumnya, Amnesty International Security Lab mengungkap adanya pengadaan alat sadap oleh lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia melalui Singapura sepanjang 2019 hingga 2021. Data tersebut diperoleh dalam bocoran dokumen pengiriman perangkat teknologi spionase dan spyware ke Indonesia. Salah satu lembaga yang diduga melakukan pengadaan teknologi itu adalah kepolisian melalui Staf Logistik Polri.
Menurut Bambang, ada enam prinsip dalam peraturan itu yang meliputi: perlindungan hak asasi manusia (HAM), legalitas, kepastian hukum, perlindungan konsumen, partisipasi, dan kerahasiaan. Peraturan ini sebagai pedoman bagi anggota Polri saat menyadap untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan atas suatu tindak pidana.
Sebelum melakukan penyadapan, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri mengajukan permohonan izin penyadapan kepada ketua pengadilan negeri setempat, sesuai tempat operasi penyadapan dilakukan. Operasi bisa dilakukan usai mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri.
Bambang Rukminto melihat ada celah dalam sistem keamanan publik di Indonesia yang menjadi kewenangan kepolisian. Maksudnya adalah tidak ada lembaga yang diberi kewenangan sebagai pengawas eksternal yang kuat untuk mengawasi Polri.
“Akibatnya upaya penyelidikan maupun penyidikan dengan menggunakan peralatan penyadapan minim pertanggungjawaban sehingga rawan untuk disalahgunakan,” katanya.
Penyadapan dilarang menurut Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan, ketentuan penyadapan juga diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun dalam ayat (3), intersepsi atau penyadapan dilakukan dalam rangka penegakkan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan atau institusi lainnya.
Pratama menjelaskan, Pasal 31 ayat (4) UU ITE dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010. Sehingga tata cara penyadapan diatur dengan undang-undang.
Tetapi, kata Pratama, meski ada peraturan kapolri atau kabareskrim, regulasi itu dianggap kurang kuat. “Dengan belum disahkannya RUU Penyadapan maka masih belum ada payung hukum perihal aturan penyadapan,” tuturnya.
Karena tidak adanya UU Penyadapan, masih akan terjadi kesimpangsiuran aturan serta proses yang akan dilakukan. Maka dari itu, berpotensi terjadinya penyalahgunaan alat sadap.
Pratama Persadha juga melihat ada kekhawatiran dari Amnesty International ketika alat sadap masuk ke Indonesia beberapa waktu ke belakangan. “Dikhawatirkan ditujukan kepada jurnalis serta warga sipil untuk membungkam aspirasi serta merebut kebebasan berekspresi mereka,” ujarnya.
Dalam pelaksanaan penyadapan, aparat penegak hukum yang bisa melakukan tindakan ini selain Polri adalah Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga Badan Intelijen Negara (BIN). Penyadapan itu biasa digunakan untuk mengungkap kejahatan luar biasa, seperti korupsi, teror, dan narkotika.
Menurut laporan Majalah Tempo edisi 5 Mei 2024, Amnesty International Security Lab mencatat ada 19 alat sadap yang dibelanjakan dan diantar ke kantor Staf Logistik Polri di Jakarta Timur pada 15 Juli 2021. Pengiriman dilakukan oleh ESW Systems PTE, perusahaan yang berkantor di Singapura. Nilai impor peralatan teknologi itu mencapai US$ 10,87 juta atau sekitar Rp 158 miliar sesuai kurs saat itu.
Tempo telah berupaya mengonfirmasi soal pengadaan alat sadap ini kepada Markas Besar Polri dengan mengirimkan surat permohonan wawancara. Kemudian Markas Besar Polri mengirim jawaban tertulis melalui Kepala Biro Pengelolaan Informasi dan Data Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Tjahyono Saputro pada Jumat, 3 Mei 2024.
“Bahwa informasi yang diminta mengenai penggunaan teknologi surveilans pada Polri merupakan salah satu informasi yang dikecualikan di lingkungan Polri,” tulis Tjahyono.