DI bawah sumpah, Sersan Satu Djoko Erwono menyatakan kesaksiannya. "Hartono telah melakukan perdagangan wanita sebagai mata pencarian kelas kakap," kata polisi berusia 28 tahun itu. "Ketika penggerebekan, para wanita itu sedang duduk-duduk berpakaian lengkap dalam satu ruangan." Itulah salah satu kesaksian saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan ini, dalam sidang kasus rumah bordil. Terdakwa utama, Hartono Setyawan, dituduh telah menggunakan rumah di Jalan Prapanca 4 sebagai tempat usaha bisnis seks. "Dari hasil pemeriksaan, wanita-wanita itu mengaku sebagai anak asuh," kata polisi itu lagi. Dan tertuduhlah yang bertindak sebagai pengasuh alias germonya. Selain Hartono, dihadirkan pula dua terdakwa yang lain, konon pembantu Hartono: Johannes Handoyo dan Wahyu Hartanto. Untuk sidang yang memperkarakan hal pelacuran, ini tergolong sepi. Mungkin karena di kursi saksi hanya duduk seorang polisi yang ikut menggerebek rumah yang diduga digunakan sebagai bordil. Lima wanita yang disebut "anak asuh", yang sedianya akan dihadirkan juga sebagai saksi, tak muncul. Panggilan tak sampai, karena mereka tak lagi diketahui alamatnya. Maka, cuma ada sejumlah wartawan, dan tiga-empat warga masyarakat. Sidang berjalan lancar. Semua keterangan saksi dibenarkan oleh tersangka utama, dan dua yang lain. Menurut Hartono, 34, bisnis yang dikelolanya sudah berjalan sekitar delapan tahun. Selama kurun waktu itu, tak sekali pun usahanya terganggu. Ini yang menyebabkan, tempo hari, terdengar kabar yang tak jelas sumbernya. Yakni tersangka punya beking. Menurut kabar itu, tersangka tiap bulan menyetorkan sejumlah uang kepada sejumlah aparat keamanan. Lalu ada 50 wartawan Ibu Kota yang terlibat dengan bisnis ini. Hartono membantah. "Tidak ada pelindung. Saya berusaha sendiri," katanya kepada TEMPO. Pertengahan Juli, empat petugas dari Polda Metro Jaya, dipimpin oleh Letda Kisworo, tiba-tiba saja menerobos masuk rumah yang sudah beberapa lama mereka curigai. Mereka menemukan sembilan belas wanita, cantik-cantik, yang, menurut para penggerebek, "siap bertugas". Maksudnya, wanita yang berusia antara 20 dan 27 tahun itu sedang menunggu panggilan telepon atau kunjungan langsung para langganan. Waktu itulah orang yang kini duduk sebagai terdakwa, yang berada di rumah itu pula, ditahan. Dalam pemeriksaan, terungkap pula, "anak asuh" tertuduh bukan cuma wanita Indonesia. Tapi juga perempuan dari luar negeri. Yakni ada dua orang dari Filipina. Tapi berapa sebenarnya "anak asuh" di Prapanca itu, susah disebutkan. "Wanita-wanita yang ditampung berganti-ganti serta berasal dari berbagai daerah dan negara," kata Jaksa J.R. Bangun. Manajemen rumah bordil ini tampaknya memang digarap. Misalnya saja, di sini jam kerja dibagi dua shift. Pertama, pukul 11.00 hingga 16.00, dan kedua dari pukul 19.00 sampai 24.00. Untuk jam-jam tersebut berlaku tarif Rp 100.000 sekali pakai. Tarif long play, semalam suntuk, dua kali lipat. Sebagaimana usaha pelacuran Madam Mayflower di New York (lihat Selingan) di sini pun ada "anak asuh" bertarif khusus. Ukuran Prapanca, yang disebut khusus yakni yang datang dari luar negeri, Rp 300.000 untuk pada jam kerja biasa, dan dua kalinya bila diajak menginap. Bagi hasil tampaknya ditempuh perhitungan gampang. "Wanita yang bekerja memperoleh 50%, sisanya buat tertuduh," kata J.R. Bangun. Dan jangan mencoba berbohong soal jam kerja, sebab di sini ada kewajiban absensi -- yang dijalankan dengan mesin absen, yang tentu saja selalu jujur, kecuali sedang rusak. Bila ada "anak asuh", di sini ada juga anak buah. Itulah antara lain kedua orang yang mendampingi Hartono sebagai terdakwa pula. Pesanan lewat telepon diurus oleh Wahyu, 35. Ia juga mewakili Hartono menerima uang setoran, bila bos berhalangan. Johannes, 27, bertugas mengantar jemput wanita yang dipesan. Kedua orang kepercayaan itu mendapat gaji Rp 100.000 per bulan. Pesanan memang tak selalu lewat telepon. Langganan yang punya keberanian bisa langsung memilih di tempat. Di rumah itu tersedia semacam ruang untuk lobbying, berukuran sekitar 3 kali 4 meter persegi. Di salah satu sudut atas di ruang itu, dipasang sebuah kamera, yang tampaknya digunakan untuk mendeteksi setiap tamu yang datang. Kurang jelas ada jugakah tukang pukul di sini untuk berjaga bila ada tamu yang rewel. Sebagian besar wanita di rumah Prapanca datang diajak teman yang sudah lebih dulu berada di situ. Ada yang datang sendiri, lalu melamar menjadi anggota, umpamanya yang mengaku bernama Linda, 23 tahun, asal Semarang, Jawa Tengah. Ada pula yang khusus diantarkan seseorang -- entah itu germo dari tempat asal wanita itu -- ke situ. Tapi, untuk ini, Hartono menyangkal punya agen di daerah yang mencarikan "anak asuh". Sejak penggerebekan itu, Hartono mengaku tidak pernah lagi mengurusi usahanya. Lelaki asal Semarang ini pun tak tahu lagi nasib bekas "anak asuh" dan anak buahnya. Ia membuka usaha ini delapan tahun lalu, mengaku bermotifkan menolong orang-orang miskin yang sulit mencari pekerjaan. "Saya tidak tahu lagi pada ke mana mereka. Ada yang ke luar kota, mungkin pulang kampung. Yang jelas, sejak kejadian itu, saya tidak pernah berhubungan dengan mereka," katanya. Hartono, yang bertubuh kurus tinggi dan ke mana-mana selalu membawa radio pager itu, di persidangan tampak lesu. Seandainya benar sinyalemen polisi dan jaksa, rumah di Prapanca itu memang tersamar. Dari luar, rumah nomor 4 itu tidak berbeda dengan rumah lain di sepanjang Jalan Prapanca. Berpagar tinggi, pintunya hanya dibuka bila ada pengunjung. Tidak pernah ada keluhan dari tetangga. Ini bisa dimaklumi, sebab sebagian besar tetangga adalah orang asing, pegawai berbagai kedutaan. Bila tertuduh tak banyak rewel di persidangan, mungkin karena polisi yang menggerebek sempat menyimpan bukti-bukti kuat. Antara lain kartu-kartu absen, beserta mesin absennya sekaligus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini