Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Angin surga pierre cardin

Pierre cardin, 66, perancang busana merasa kecewa. jalur hukum yang ditempuh, menggugat pemegang hak cipta merk "p" dinyatakan kalah oleh hakim. selain itu barang-barang merknya masuk tanpa prosedur sah.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANCANG busana terkenal dari Paris, Pierre Cardin, 66 tahun, kecewa berat. Pasalnya pembajak merknya, dengan inisial "P" di Indonesia, yang enam bulan lalu pernah diributkannya, bukannya semakin berkurang malah semakin banyak. Sebab itu, ketika menghadap Direktur Paten dan Hak Cipta, Nyonya Besila, Kamis pekan lalu, bersama Direktur Lisensi Eduard Saint Bris dan pengacaranya, George Widjojo, ia kembali mencak-mencak. "Hanya di negara Anda saya punya kesulitan begini," katanya ketus. Kali ini Monsiuer Cardin memang pantas berang. Sebab, ketika datang pertama kali ke Jakarta Mei lalu, pengusaha dengan pendapatan Rp80 milyar per tahun itu sempat mendapat "angin surga" dari pemerintah Indonesia. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, ketika itu, memberi janji kepada Cardin akan melindungi hak perancang busana terkenal dari Prancis itu. Untuk itu, janji Menteri, semua hak 16 pengusaha lokal atas merk Pierre Cardin, yang sudah telanjur terdaftar habis setiap 10 tahun tidak akan diperpanjang lagi. Janji itu sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 15 Juni 1987. Dalam surat keputusan itu Menteri Pemerintahkan aparatnya agar tak lagi menerima pendaftaran merk-merk terkenal di dunia, termasuk Pierre Cardin, oleh pengusaha lokal, tanpa izin resmi dari pemilik merk itu. Ternyata, hanya enam bulan setelah janji itu terucapkan, kini Cardin menemui keadaan yang lebih parah. Jumlah pengusaha lokal yang memegang merk Pierre Cardin untuk berbagai jenis barang di Direktorat Paten dan Hak Cipta bukan menyusut, malah meningkat dari 16 orang menjadi setidaknya 28 orang -- untuk berbagai jenis barang sejak dan gesper ikat pinggang sampai ke kemeja. Tentu saja tak seizin Cardin. "Ajaibnya" ada permohonan pendaftaran merk Pierre Cardin dari seorang pengusaha lokal yang dikabulkan Direktorat Paten dan Hak Cipta hanya sehari setelah Surat Keputusan Menteri Kehakiman lahir. "Kalau begitu, apa gunanya SK Menkeh," kata Pengacara George Widjojo. Pengusaha yang ciptaannya diproduksi di 98 negara itu -- dengan sekitar 160 ribu karyawan -- memang sangat kesal. Sebab, selain masalah pencurian merknya di Indonesia tak tuntas-tuntas sejak tahun 1972, kunjungannya enam bulan lalu itu juga percuma saja. Padahal, menurut Cardin, di negara-negara lain -- termasuk negara berkembang, seperti Muangthai -- sudah tak ada lagi produk bermerk "P" tanpa izinnya. "Saya rasa memang hanya di negara Anda saya mengalamil kesulitan dalam mengurus merk dagang ini," ujar Cardin kepada Sidartha Pratidina dari TEMPO. Direktur Paten dan Hak Cipta, Nyonya Besila, yang terkena langsung "keberangan" Cardin, belum bisa menjanjkan apa-apa kepada perancang pakaian terkenal itu. "Persoalan itu akan saya sampaikan ke Menteri Kehakiman," ujarnya. Ia tak menyangkal aparatnya kebobolan menerima pendaftaran baru dari "pembajak" merk Pierre Cardin justru setelah ada SK Menteri. "Kami memang kilaf," kata Nyonya Besila kepada Cardin. Kebobolan itu, menurut Besila, hanya disebabkan karena kelemahan Undang-Undang Merk, 1961. "Undang-undang itu memang harus diperbaiki. Sebab, sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan lalu lintas perdagangan," ujar Besila. Ia berharap, semua kesemrawutan itu akan beres setelah undang-undang baru yang mengatur masalah hak-hak milik intelektual selesai digarap Tim Keppres 34, yang diketuai Mensesneg Moerdiono. Kekecewaan Cardin tak hanya karena harapannya tak sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman. Upayanya menempuh jalur hukum lewat pengadilan pun kandas. Pada Agustus lalu, misalnya, gugatan Cardin terhadap salah satu pengusaha lokal yang dianggapnya "membajak" merknya, ahli waris Mudjianto Widjaja, juga ditolak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Nyonya Moerdijatoen. Majelis hakim malah berpendapat bahwa ahli waris Mudjianto justru pemilik sah merk Pierre Cardin itu. Sebab, Mundjiantolah, sesuai dengan Undang-Undang Merk Tahun 1961, tercatat sebagai pemakai dan pendaftar pertama merk dagang Pierre Cardin tersebut. Sebaliknya, pengadilan menganggap Cardin sebagai pemakai merk yang beritikad buruk, sehingga tak perlu dilindungi. Sebab, "Selain ia tak terdaftar di Indonesia, barang-barang merk Cardin itu juga masuk ke Indonesia tanpa melalui prosedur sah, misalnya dengan bukti blanko PPUD," kata Ketua Majelis Nyonya Murdijatun kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Kasarnya, barang Cardin yang asli masuk ke sini melalui penyelundupan. Itulah kekalahan kedua Cardin dari Mudjianto -- setidaknya sudah enam kali ia kalah berperkara dengan pengusaha lokal di sini. Menurut Widjojo, di tahun 1981, Cardin juga kalah melawan Mudjianto, yang mengatasnamakan CV Makmur. Karena kemenangan itu pula Mudjianto bisa menggugat "pembajak" merk Pierre Cardin lainnya dan bahkan menuntut mereka secara pidana. Akibat kekalahan kali ini Pierre Cardin menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sebab, "Sebagai pemilik asli, Cardin justru telah menunjukkan itikad baiknya dengan datang jauh-jauh ke sini," ujar Widjojo. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang mengagetkan pengamat sengketa merk. Sebab, dalam sengketa merk sepatu olahraga Nike, Desember 1986, Mahkamah Agung (MA) justru meralat kembali vonis semula yang memenangkan pengusaha lokal PT Panarub. Dalam vonis peninjauan kembali (reqest avil) itu Mahkamah Agung mengembalikan merk itu ke pemilik aslinya, Nike International, di Amerika. Kendati telah berkali-kali "kecewa", Cardin melalui pengacaranya, Widjojo, masih punya harapan. Widjojo berharap Menteri Kehakiman berani mem-by pass undang-undang merk dengan membatalkan semua pendaftaran merk Pierre Cardin yang sudah telanjur diterima Direktorat Paten, dan Hak Cipta dan mengakui kliennya pemilik merk itu. "Menteri Kehakiman secara ex officio berwewenang menghapuskan atau membatalkan merk-merk yang didaftarkan para pembajak itu, tanpa harus melalui putusan pengadilan," kata Widjojo. Hanya dengan cara itu, menurut Widjojo pihaknya berani membuka cabang di Indonesia. Belum lama ini, Cardin memang sudah memastikan akan memberi lisensi kepada PT Metro Garment di Bandung, dengan imbalan sekitar US$40 ribu per tahun untuk setiap jenis produknya. Tentu saja tak segampang itu Menteri Kehakiman menerima usul Cardin atau Widjojo. Sebab, cara by pass itu, selain berlebihan dan merusakkan tata hukum yang ada, juga tak menjamin bahwa tak akan ada lagi orang yang memalsukan merk terkenal itu. Bukankah pembajakan itu hanya salah satu risiko sebuah merk terkenal? Karni Ilyas, Happy S., dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus