KELOMPOK Astra International memang besar. Sedikit saja ia melangkah, sudah jadi berita penting. Awal bulan ini orang meributkan "memo Astra" yang mensinyalir 11 bank bakal ambruk akibat Pakto, sedangkan pekan yang lalu majalah Far Eastern Economic Review (FEER) memuji langkah Astra dalam menggenjot ekspor nonmigas dari Indonesia. Tak kurang penting adalah bahwa artikel yang ditulis Jonathan Friedland di FEER (17 November 1988), yang menyebutkan bahwa Astra International untuk pertama kalinya akan menjual saham kepada kelompok di luar keluarga Om Willem, yakni International Finance Corp., sebuah anak perusahaan Bank Dunia. Disebutkan juga, Astra akan menjual 3-7% sahamnya kepada IFC. Bermarkas di Washington DC, IFC bersedia membayar US$12,5 juta untuk saham yang dilego Astra tersebut. Edin Soryadjaya, putra Oom Willem yang sering digunjingkan punya peluang besar untuk menggantikan Teddy Rachmat sebagai Presdir Astra International, ada menjelaskan bahwa penjualan saham ini merupakan langkah untuk memperluas kepemilikan grup Astra. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mengembangkan bisnis perusahaan yang asetnya konon sudah menggelembung sekitar Rp 1 trilyun itu. Suntikan dana memang sedang dibutuhkan Astra, karena belakangan struktur permodalannya tampak rapuh. Utangnya kini diperkirakan US$500-600 juta, sebagian besar berjangka pendek. Tak dapat tidak, Astra harus gali lubang tutup lubang. Sejumlah utang baru dibuat, untuk menutup utang lama. Menurut FEER, tahun ini diperkirakan sekitar Rp179 milyar dana yang dapat dihimpun Astra, sebagian berjangka panjang. Juni lalu Astra menerbitkan obligasi senilai Rp60 milyar. Dalam laporan FEER sepanjang tiga halaman itu, juga disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berbendera Summa Group yang dipimpin Edward Soeryadjaya -- putra tertua dari William Soeryadjaya sekarang sudah dikendalikan oleh orang-orang Astra International. "Itu salah interpretasi sama sekali," ujar Edward ketika ditemui TEMPO di markas besar Summa International, Chase Plaza, Jakarta, akhir pekan lalu. Dalam piramida organisasi, ada sebuah piramida kecil yang diduduki oleh William dan anak istrinya. Di sinilah kebijaksanaan grup-grup perusahaan di bawahnya ditentukan. Di bawah kerucut kecil ini ada kelompok-kelompok usaha: Astra International, Summa International Summa Surya, dan kelompok-kelompok nongroup seperti Bank Perkembangan Asia dan Hotel Bali Sol. Astra International berkembang bagus selama lebih dari 30 tahun. Tapi kedua Summa yang didirikan Edward masih di bawah 10 tahun. "Hanya ada 3 orang eks Astra yang ditarik ke Summa International, dan 5 orang Astra lainnya yang ke Summa Surya," ujar Edward. Perpindahan ini katanya wajar saja. Disamping kedua Summa dimiliki oleh keluarga William, seperti halnya Astra International, perpindahan itu dimaksudkan untuk memberi posisi yang lebih baik bagi para manajer Astra, yang kariernya sudah mentok di Astra. Summa International, misalnya, didirikan di Manila pada tahun 1980. Di deretan kursi Summa International duduk Prof. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Ketua Dewan Komisaris. Berdiri di bawah panji Summa International adalah Summa Handelsbank AG (Dusseldorf), Summa International Finance (Hong Kong), Summa Wardley Leasing (Jakarta), Summa International Bank dan Cebu International Finance (Manila). Aset Summa International ini, kalau dikonsolidasikan, sudah mendekati Rp700 milyar. Di sini Edward duduk sebagai Presiden Direktur. Sedangkan Summa Surya bergerak di bidang perdagangan umum ekspor, perhotelan, real estate dan kegiatan bisnis di Vietnam (Indovina). Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini