PERTAMA kali terjadi sebuah putusan praperadilan dalam soal penangkapan dan penahanan terpaksa diperiksa ulang akibat upaya peninjauan kembali (PK). Pengadilan Negeri Stabat, Sumatera Utara, pekan-pekan ini terpaksa menyidangkan kembali praperadilan yang pernah dimohonkan Ridwan alias Aceng, 33 tahun. Pemeriksaan itu dilaksanakan berdasarkan perintah Mahkamah Agung melalui surat Direktur Pidana, M. Syafiuddin Kartasasmita. Kejadian itu tentu saja amat mengejutkan. Sebab, pengadilan yang sama, pada 20 Juni silam, sudah memutuskan tidak menerima permohonan praperadilan Ridwan itu. Ridwan, ketika itu mengajukan permohonan praperadilan karena ditahan selama sepekan secara tidak sah oleh petugas keamanan, atau semacam satpam Pertamina di daerah itu. Sesuai dengan KUHAP, putusan praperadilan dalam soal penangkapan dan penahanan tak bisa banding atau kasasi, apalagi PK. Dan proses PK sendiri, masih menurut KUHAP, hanya untuk vonis berkekuatan tetap -- bukan untuk praperadilan. Dalam kasus Farid, anak Moh. Sirajuddin alias Pak De, misalnya. Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam sidang praperadilan memutuskan bahwa Polda bersalah karena tanpa alasan yang sah menahan Farid selama empat hari. Sebab itu, Polda dihukum membayar ganti rugi Rp200 ribu. Pihak Polda, yang tak puas atas penetapan itu, mencoba kasasi ke Mahkamah Agung, kendati menurut KUHAP tak ada lagi upaya hukum untuk putusan semacam itu. Sesuai dengan KUHAP, Mahkamah Agung, Juni lalu, menolak permohonan kasasi Polda Metro Jaya. Sebab itu, putusan peradilan bawahan tersebut berkekuatan tetap. Kendati telah ada yurisprudensi kasus Farid itu, toh Pengadilan Negeri Stabat, sejak 15 November lalu, terpaksa membuka kembali sidang praperadilan Ridwan tadi. Tentu saja untuk mendengarkan hal-hal baru, seperti umumnya syarat-syarat PK. Hal baru itu, menurut pengacara Ridwan dari LBH Medan, Darwan Perangin-angin, yang mengajukan permohonan PK, adalah kesaksian anggota Laksusda Sum-Ut, yang disidang praperadilan sebelumnya, Juni lalu, tak didengar hakim. Di sidang praperadilan itu, Darwan memang tak pernah menyinggung anggota Laksus. Yang dimintanya jadi termohon adalah Komandan Sekuriti Pamper (Petugas Keamanan Perusahaan) Pertamina Unit I di Pangkalan Susu, Djasmani, dan 2 anak buahnya, Leo Hutajulu dan Nurdin. Ketiga orang itu, menurut Darwan, pada 14 Mei 1988 tengah malam, tanpa permisi menerobos rumah Ridwan. Pedagang besi tua itu, tanpa surat penangkapan, ditangkap Pamper tersebut dengan tuduhan menadah barang curian, besi tua milik Pertamina Unit I. Selain itu, para Pamper itu juga menyita sekuter Ridwan serta 900 kg besi tua miliknya. Setelah sehari dikurung di kantor Satpam Pertamina Pangkalansusu, 100 km dari Medan, Ridwan dibawa ke kantor Laksusda di Medan. Tiga hari berikutnya, pesakitan itu diserahkan lagi ke Polsek Pangkalanbrandan. Tapi dua hari kemudian, Ridwan dikeluarkan dengan status tahanan luar. "Saya sakit hati karena perbuatan mereka," kata Ridwan. Menurut Darwan, ketiga anggota Pamper itu bisa diklasifikasikan sebagai polisi khusus (polsus), yang bisa dipraperadilankan. Sebab, menurut SK Menhankam tertanggal 13 Juni 1974, Polsus termasuk sebagai penyidik. Selain itu, ada ketentuan, semua satpam harus mendapat izin Kapolri atau Kapolda setempat. Sebab itu, Darwan mengajukan permohonan praperadilan terhadap ketiga anggota Pamper itu. Tapi permohonan praperadilan Ridwan itu ternyata tak diterima Hakim Sarbuan Harahap. "Mereka bukan penyidik, karena itu tidak dapat dipraperadilankan," kata Harahap. Lagi pula, kata Harahap, yang menangkap dan menyita barang-barang Ridwan, bukanlah ketiga anggota Pamper itu. "Tapi anggota Laksusda." Sementara itu, ketiga anggota Pamper itu, katanya, cuma mendampingi. Darwan jengkel, sebab anggota Laksus itu tak pernah dipanggil ke persidangan. Tak ada logikanya, anggota Laksus didamplngi anggota Pamper. "Laksusda punya alat operasional, yang lebih menjamin pelaksanaan tugasnya," kata Darwan. Belakangan Darwan mencoba "terobosan" baru. Tanpa melalui upaya kasasi, ia mengajukan permohonan PK atas putusan praperadilan tersebut. Dalam permohonan PK itu, Darwan mengharapkan anggota Laksus itu didengar keterangannya. Mahkamah Agung, ternyata, lewat surat tanggal 3 Oktober itu, merintahkan Pengadilan Negeri Stabat memproses permohonan PK tersebut. Direktur Pidana MA, Syafiuddin Kartasasmita menyatakan tak ingat persisnya PK atas praperadilan Ridwan itu. Tapi, anehnya, Syafiuddin membenarkan bahwa sebuah putusan praperadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti kasus Ridwan itu, tak dapat dimintakan banding atau pun kasasi, apalagi PK. Menurut Syafiuddin, sampai kini memang masih saja ada pencari keadilan yang coba-coba menempuh upaya atas suatu putusan praperadilan ke MA. Hal itu tiada lain "karena mereka belum menguasai tata cara proses praperadilan," katanya. Padahal, putusannya nanti, katanya, paling-paling tidak dapat diterima MA. Tapi ketua majelis hakim Nyonya Siti Zainab, yang menyidangkan kembali permohonan PK, hanya berkata, "Memang, soal PK dalam perkara praperadilan tidak diatur, tapi bisa saja MA melihat lain. Sementara itu, Ridwan, ayah 3 anak itu gembira dengan proses PK tersebut. Kalau setelah upaya itu masih kalah juga, ia berniat mengadukan para Pamper itu secara pidana. "Mereka perampok. Enak saja mereka masuk rumah orang padahal mereka bukan penyidik," kata Darwan. Monaris Simangunsong dan Agung Firmansyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini