Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah warga Malaysia yang datang ke Jakarta untuk menonton konser musik Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024 menjadi korban pemerasan sejumlah polisi dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Amir Mansor (29 tahun) warga Malaysia salah satu korban mengatakan, tidak hanya orang Malaysia, sejumlah penonton dari negara lain juga menjadi sasaran pemerasan polisi Indonesia, termasuk orang Indonesia sendiri juga diperas dengan alasan telah mengkonsumsi narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir bercerita, ia dan 8 orang temannya ditangkap oleh polisi saat hari pertama konser musik DWP pada 13 Desember 2024 dan langsung dibawa ke Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya.
“Malam pertama itu saya punya group ada 9 orang, lepas itu (setelah itu) ada group yang sebelumnya ada 4 lagi, lepas itu di luar kantor, di sel-sel ada group daripada Singapura, daripada Taiwan,” kata Amir dengan menggunakan bahasa Melayu saat dihubungi Tempo melalui telepon seluler pada Jumat malam, 3 Januari 2025.
Amir bersama 8 temannya menginap di kantor Polda Metro Jaya selama dua malam, sejak 13 Desember 2024 malam dan keluar pada 15 Desember 2024 siang. Pada tanggal 14 malam, dia mengaku melihat juga orang Indonesia yang dibawa ke Polda Metro Jaya terkait DWP.
“Malam kedua, datang lagi satu group daripada Indonesia juga, memang orang lokal Indonesia pun ada juga,” katanya.
Saat berada di kantor Polda Metro Jaya, Amir dan 8 kelompoknya itu di tes urine, hingga ponsel pribadi mereka disita oleh polisi. "Ada dikalangan kami yang positif ada yang negatif. Tapi tidak ada narkoba di tangan kami, kami mengkonsumsinya di Malaysia, tidak mengkonsumsi langsung. Kami juga tidak bisa buat panggilan, tidak bisa appoint (menunjuk) lawyer (pengacara) sendiri, dan tidak bisa call sama embbasy,” kata Amir saat menceritakan saat dia dan kawannya berada di kantor Polda Metro Jaya.
Karena tidak ditahan di dalam sel, dan hanya dibiarkan di dalam kantor, maka menurut cerita Amir, pada 14 Desember 2024, dia bertanya bagaimana caranya jika ingin terbebas. “Police cakap kalau mau keluar, perlu bayar lebih kurang Rp 800 juta untuk keluar,” kata dia.
Setelah mendapat keterangan besarnya biaya persyaratan bebas, Amir dan 8 temannya tidak menyanggupi nominal yang ditawarkan. “Kami cakaplah (bilang) itu terlalu banyak, sedangkan kami enggak ada apa-apa, enggak ada narkoba juga sama kami, ada yang negatif pun,” ucap Amir.
Bukannya membebaskan, menurut cerita Amir, polisi lantas langsung memberikan kembali ponsel pribadi Amir dan kawannya, agar segera menelepon pihak keluarga untuk meminta sejumlah uang agar terkumpul Rp 800 juta rupiah.
“Masa tu, Cuma lebih kurang sekitar 50 ribu ringgit yang kita ada (sekitar Rp 179 rupiah) yang kita ada, kami coba negosiasi sama polisi, sama lawyer, boleh tidak terma 50 ribu ringgit. Tapi mereka enggak bisa terima,” kata Amir.
Seorang pengacara yang dimaksud Amir, dia mengklaim merupakan pengacara yang dibayar oleh polisi untuk kemudian uang yang mereka kumpulkan ditransfer melalui rekening orang yang mengaku sebagai pengacara.
Karena belum terkumpul Rp 800 juta, Amir dan 8 kawannya belum bisa keluar dari Polda Metro Jaya. “Mereka (polisi dan orang yang mengaku sebagai pengacara) negosiasi, mereka mau amount (angka) yang tinggi. Polisi agree (setuju) dengan satu amount, dia mau 100 ribu ringgit (sekitar Rp 360 juta),” kata Amir soal nominal angka yang harus dibayar agar bebas.
Amir dan kawannya pun kembali mengumpulkan uang senilai jumlah kesepakatan, yakni Rp 360 juta. “Setelah itiu ditransfer ke account personal lawyer, keesokannya baru kami dilepaskan,” tuturnya.
Usai dibebaskan, Amir mengaku langsung menghubungi pihak Embbasy Malaysia atau Kantor Kedutaan Malaysia untuk Indonesia, untuk melaporkan kasus yang menimpa dia dan 8 temannya. “Setelah keluar daripada Polri Metro Jaya—Polda Metro Jaya, saya Cuma hubungi Embassy Malaysia, jadi Embassy Malaysia yang uruskan semua,” jelasnya.
Pilihan Editor: Cerita Orang Malaysia Korban Pemerasan Polisi Indonesia: Kalau Mau Keluar Bayar Rp 800 Juta