Asadyra Kena, Air tak Keruh Kejaksaan mengalihkan pengelolaan RS Asadyra. Padahal, statusnya masih barang sitaan. SETIAP barang sitaan, menurut peraturan perundangan, tak bisa dialihkan sebelum diputus pengadilan. Ketentuan itu kini "diterobos" Kejaksaan Agung. Instansi penuntut itu, belum lama ini, mengalihkan pengelolaan Rumah Sakit (RS) Asadyra di Cimahi, Jawa Barat, yang berstatus barang sitaan dalam kasus korupsi Rp 6,8 milyar, dari Yayasan Asadyra kepada Yayasan Harapan Sejahtera (YHS). Rumah sakit berlantai empat yang dibangun pada 1988 itu disita Kejaksaan Agung sejak 16 Februari lalu. Sebab, biaya pembangunannya diduga berasal dari hasil korupsi Rp 6,8 milyar di PN Pertani. Dua hari kemudian, Kejaksaan menahan Ketua Yayasan Asadyra -- pengelola RS itu -- Soewarno, 48 tahun. Soewarno, sewaktu menjadi Direktur PT Sumber Tani Agung (STA), rekanan Pertani pada 1985-1990, disangka memanipulasi ongkos angkut dan jumlah pestisida, yang diangkut dari Jakarta ke Medan. Penyelewengan itu, dalam penyidikan Kejaksaan, dilakukan Soewarno bersama tiga orang pejabat PN Pertani -- juga sudah ditahan. Sebagian hasil korupsi itulah, menurut penyidikan, digunakan Soewarno untuk membangun RS Asadyra, dan karena itu Kejaksaan menyita. "Agar barang tersebut tak sampai lolos ke pihak lain, sehingga nantinya sulit dilacak," kata Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Penyitaan itu tentu saja biasa. Tapi yang mengagetkan adalah keputusan Kejaksaan Agung yang menetapkan YHS pimpinan Prof. Dr. Sambas Wiradisurya sebagai pengelola baru RS Asadyra. Berdasar penetapan itu, plus izin operasional dari Kanwil Departemen Kesehatan (Depkes) Jawa Barat, resmilah YHS mengelola RS yang berkapasitas 150 tempat tidur dengan 23O orang karyawan itu -- 100 di antaranya dokter. Baik Sukarton maupun Kakanwil Depkes Ja-Bar, Dr. H. Soejoga, menyatakan bahwa pengalihan pengelolaan itu tak lain demi kepentingan umum. Maksudnya, supaya kegiatan pelayanan kesehatan tetap berjalan dan para karyawan tak telantar. Siapa pun pengelolanya, kata Sukarton, asal baik dan tak merugikan negara. Yang penting, dalam mengusut kasus korupsi ini, "Ikannya sudah kena, tapi airnya tak keruh," ujar Sukarton. Sementara itu, Kepala Humas YHS, Dr. Basrul Hanafi, menyatakan bahwa pengalihan tersebut sebetulnya tindak lanjut kerja sama untuk mengubah manajemen RS itu antara pengelola lama, Yayasan Asadyra, dan YHS pada 4 Februari 1990. "Pengelola lama merasa tak bisa mengembangkan rumah sakit ini. Bahkan kondisi rumah sakit semakin parah," kata Basrul, yang juga menjadi Pelaksana Harian Badan Pembina Manajemen RS Asadyra. Bisakah RS Asadyra yang berstatus barang sitaan itu dialihkan sebelum diputus pengadilan? Menurut seorang ahli hukum perdata, Abdul Wahab Bakri, pengalihan itu tak dapat dibenarkan. Apalagi, katanya, jika pengalihan itu ditetapkan Kejaksaan Agung atau Depkes. Sebabnya, "Status kepemilikannya kan belum diputuskan secara hukum," ucap dosen FH Universitas Padjadjaran itu. Berdasarkan itu, katanya lagi, seharusnya pengelolaan RS Asadyra tetap di tangan pengelola lama. Sukarton merasa tak ada ketentuan yang melarang instansinya menetapkan pengelolaan RS, yang sedang disita. "Secara eksplisit, pasal seperti itu tidak ada," kata Sukarton kepada G. Sugrahetty D.K. dari TEMPO. Lagi pula, "Kalau pengelolanya tak diubah, uang pemasukan rumah sakit itu kan bisa dimakan semua. Atau, kalau tiba-tiba dijualbelikan, mau apa saya?" katanya menandaskan. Kepala Humas Kejaksaan Agung, Soeprijadi, menambahkan bahwa pengalihan pengelolaan barang sitaan dibolehkan. "Asalkan rumah sakit itu tak dijual atau dipindahtangankan ke pihak ketiga," kata Soeprijadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini