Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perang napoleon di muba

PTP X Bandar Lampung digugat di PN Sekayu karena di anggap telah menyerobot 300 ha tanah petani di desa Betung, Kab. Musi Banyuasin, Sum-Sel. ada dua kelompok mengaku pemiliknya: Tjek Olah & Napoleon.

5 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENARI-NARI di atas ladang rakyat itulah kini yang dituduhkan kepada PTP X Bandarlampung. BUMN tersebut pekan-pekan ini terpaksa berurusan dengan Pengadilan Negeri Sekayu, karena dianggap telah menyerobot 300 ha tanah petani di Desa Betung, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan. Bahkan di atas tanah tak sah itu, dalam gugatan 46 warga, perusahaan perkebunan itu telah "memetik" keuntungan Rp 5,5 milyar selama dua tahun ini dari bertanam sawit. Semula langkah PTP itu sah saja. Perusahaan itu mendapat hak membebaskan tanah rakyat seluas 8.300 ha sesuai dengan SK Gubernur Sum-Sel pada 1975. Tapi, seperti biasa terjadi, seorang pegawai PTP, juga pelaksana penggusuran, Jani, "main" dalam pembebasan itu. Ia menggeser patok tanah yang dibebaskan itu hingga mencaplok tanah petani. Dengan begitu, ia berharap upah penggusuran yang diterimanya akan membengkak. Akibat ulahnya itu, bukan main. Buldoser pun menggemuruh meratakan sawah, kebun buah-buahan, dan tanaman karet rakyat. Bahkan tak kurang dari 1.200 kuburan penduduk setempat raib dan tengkoraknya pun hilang. Rakyat tak bisa mencegahnya. Selain karena penggusuran itu berlangsung malam, juga lokasinya 15 km dari perkampungan penduduk. Rakyat, diwakili Tjek Olah, 50 tahun, menuntut ganti rugi ke PTP, sambil melayangkan pengaduan ke berbagai instansi. Ketika Tim Pembebasan Tanah dari Sekayu dan Palembang turun, terbukti PTP telah melanggar batas SK Gubernur. PTP tak menyangkal, bahkan bersedia membayar ganti rugi Rp 150 juta. Tapi rakyat menuntut Rp 400 juta -- sesuai dengan harga standar pemerintah pada waktu itu. Karena tak ada titik temu, apa boleh buat, kasus itu pun melimpah ke meja hijau sejak November lalu. Kuasa rakyat, advokat Aslin Amardi, menghitung kerugian kliennya. Ternyata, nilai tanah itu sekarang Rp 600 juta masih selaras dengan tarif pemerintah. Ditambah dengan hasil sawit selama dua tahun, Aslin pun menggugat Rp 6,1 milyar. Persoalan semakin rumit karena, selain kelompok Tjek, muncul pula kelompok Napoleon Hayoen, yang mengaku pemilik tanah sebenarnya. Menurut Napoleon, "orang-orang" Tjek sejengkal pun tak punya tanah di situ. Hanya saja, Tjek berhasil merayu 46 orang itu meneken "surat pengakuan hak atas tanah", yang kemudian ditandatangani pula oleh kepala desa dan camat. Napoleon bersama 30 warga lainnya, pada 15 September 1987, pernah mengajukan sanggahan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sum-Sel. Tim BPN yang kemudian turun menemui tanah itu tumpang tindih 120 ha pada areal yang diklaim kelompok Tjek dan Napoleon. Jadi, siapa sih pemiliknya? BPN tak bisa membuktikannya. Selain areal itu sudah ditumbuhi sawit, mereka juga cuma punya bukti sumir. Kelompok Tjek cuma memiliki "surat pengakuan" tahun 1986, sedang grup Napoleon hanya memegang surat pendaftaran tanah tahun 1987. Karena itulah Bupati Muba menyurati kedua kelompok agar maju saja ke meja hijau untuk menentukan siapa pemilik sebenarnya. Ternyata, cuma kelompok Tjek yang melangkah menggugat pihak PTP. Kelompok Napoleon, yang memberi kuasa kepada Biro Hukum Pro-Justicia Palembang, hanya mengajukan sanggahan dan akan tampil sebagai saksi PTP. Napoleon berharap gugatan Tjek kandas. "Dia menangguk di air keruh," katanya. Ia menuduh semua itu diolah Tjek bekerja sama dengan Jani -- belakangan dipecat dari PTP X, karena ulahnya yang menggeser batas SK Gubernur itu. Sayangnya, Tjek dan Aslin menolak dikonfirmasi. "Ikuti sajalah jalannya sidang," kata Tjek, seraya berlalu. Pihak PTP juga menghindar. Baik Samsu Rizal, selaku kuasa hukum PTP X, maupun A.M. Nadapdap, Kepala Perwakilan PTP X di Palembang, tak mau berkomentar. "Maaf, dan ikutilah persidangan," kata keduanya singkat, di tempat terpisah. Apa pun putusan hakim nanti, yang jelas nasib pemilik tanah yang sesungguhnya, siapa pun dia, semakin terpuruk. Bersihar Lubis, Djalmas, dan Yuliansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus