GUGATAN pasangan Angrumningsih dan Djudjun Djumadi terhadap Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, ternyata tak mulus. Pada sidang ketiga di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis pekan lalu, Pengacara A.A. Sri Maryastutie, yang membela RSHS, mematahkan hampir semua gugatan pasangan suami-istri tersebut. Sebelumnya Maryastutie juga menolak untuk berdamai. Kasus perdata ini bermula dari hilangnya bayi, anak ketujuh Angrum dan Djujun, di RSHS pada 14 Januari 1983. Waktu itu, sekitar pukul 14.00, Angrum melahirkan seorang bayi laki-laki -- nama yang dipersiapkan untuknya adalah Bagja Maulana. Sesuai dengan metode perawatan rooming in di RSHS, bayi itu, setelah diambil identitasnya, dimasukkan dalam satu kamar dengan ibunya di Ruang A sal 17. Sorenya, sekitar pukul 16.00, sebelum waktu berkunjung tiba, datang seorang perempuan hamil bersama anak lelaki. Angrum memperkirakan umur wanita itu 20 tahun, hamil 5 bulan, dan anak yang dibawanya berusia sekitar 5 tahun. Perempuan itu mendekati Angrum, dan mengaku akan membesuk pasien bernama Dedeh, yang baru melahirkan, tapi tak ditemukannya. Ketika sedang berbincang itu, Bagja menangis. Tamu tak dikenal itu lalu menawarkan jasanya untuk memasangkan baju. Bahkan wanita itu "berbaik hati" menggendong Bagja yang terus menangis. Kata perempuan itu, seperti dituturkan Angrum, "Bayi ini lapar ingin menyusu." Sayang, air susu Angrum belum mengucur. Wanita itu lalu menawarkan untuk membawa si bayi ke dapur susu. "Saya sudah mencegah, dan minta dipanggilkan perawat saja," kata Angrum. Upaya orangtua bayi sia-sia. Wanita tak dikenal itu tanpa peduli terus membawa bayi tersebut ke luar ruangan, setelah terlebih dulu menyelimutinya dengan selimut kuning. Angrum tidak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih lemah akibat perdarahan. Sejak itu Angrum tak pernah melihat lagi bayinya. Ibu Angrum, Nyonya Rachmat, dan petugas Satpam RSHS, begitu dapat laporan ada bayi "diculik" berusaha mengejar wanita tak dikenal itu, tapi tak berhasil. Setelah hampir tujuh tahun kehilangan bayinya, Angrum dan Djudjun membawa kasus ini ke pengadilan pada 21 Mei lalu. Dalam gugatan terhadap RSHS, Pengacara Melanie, anggota tim pembela Angrum yang disediakan LBH Bandung, menyatakan, "Pihak rumah sakit tidak memenuhi prestasi sebagaimana layaknya rumah sakit yang harus menjaga keamanan dan ketenteraman pasien." Karena kelalaian itu, Angrum dan Djudjun menggugat RSHS membayar ganti rugi Rp 200 juta. Rinciannya, Rp 1 juta untuk perawatan janin, Rp 4 juta biaya pencarian bayi, dan sisanya buat pengganti kerugian moril. Pembayarannya dengan cara memotong pendapatan RSHS sebesar Rp 5 juta per bulan sampai genap Rp 200 juta. Pengacara Maryastutie menilai gugatan Angrum salah alamat. "Perkara ini adalah perbuatan pidana penculikan, yang dilakukan oleh seorang pelaku wanita yang belum ditemukan, bukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan RSHS," katanya. Maryastutre juga meragukan Angrum tak mengenal wanita yang membawa kabur anaknya itu, karena tamu wanita tersebut langsung menghampiri dan mengajak Angrum berbincang-bincang, bukan pasien lain yang berada di satu ruangan dengan Angrum. "Dalam waktu singkat penggugat telah mengobrol akrab, bahkan membiarkan wanita itu memakaikan baju kepada bayinya." Maryastutie juga menolak "tuduhan" pihak keamanan rumah sakit lalai, karena membiarkan pengunjung masuk bukan pada jam besuk. Hal tersebut, katanya, tidak bisa dihindari terutama untuk ruang A. "Sebab pengunjung datang dengan macam-macam keperluan, antara lain menunggu pasien, mengurus administrasi perawatan, giliran jaga, menjadi donor darah," tambahnya. Tuntutan agar RSHS menyisihkan Rp 5 juta setiap bulan sebagai ganti rugi atas hilangnya bayi itu juga dianggap tidak berdasar. "Menurut undang-undang, pendapatan RSHS sebagai rumah sakit milik pemerintah seluruhnya harus disetor ke kas negara," ujar Maryastutie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini