BEKAS Direktur Bank Perkembangan Asia (BPA), Lee Darmawan, 44 tahun, memecahkan rekor kasus kejahatan perbankan. Lee, yang nama aslinya Lee Chin Kiat, satu-satunya bankir yang dituduh melakukan korupsi Rp 118 milyar. Jaksa Chairuman Harahap, yang menyeret Lee ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Sabtu pekan lalu mendakwa tersangka telah memanipulasi uang negara itu sewaktu mengelola BPA antara 1979 dan 1984. Lee, yang menjabat direktur di BPA sejak 14 Februari 1979, sebetulnya bisa dibilang pemilik tunggal bank tersebut. Ia menguasai 98% saham BPA. Tak heran bila sebagian besar staf BPA terhitung kerabat Lee -- istri, ibu, dan saudaranya. Barangkali karena itu pengelolaan dana BPA tak terlalu profesional. Lee, menurut Jaksa Chairuman, dengan gampang memberikan kredit sampai Rp 26,6 milyar untuk dirinya sendiri. Padahal kata jaksa, permohonan ataupun analisa atas kredit-kredit itu tak pernah ada. Dengan modus serupa, Lee juga mencairkan berbagai cek BPA, sekitar Rp 9,3 milyar. Akibatnya, keadaan keuangan BPA goyah. Hebatnya, dengan alasan untuk menyelamatkan keadaan itu, BPA bisa mendapatkan kredit likuiditas darurat dari Bank Indonesia (BI) senilai cek-cek yang menguap itu. kan hanya itu saja permainan Lee. Dana deposito milik nasabah BPA sekitar Rp 67 milyar digasaknya. Ia juga menerbitkan berbagai promes BPA, sekitar Rp 2,1 milyar, dan digunakan untuk beberapa perusahaannya. Untuk menutupi muslihatnya, Lee tidak memasukkan deposito dari promes itu di rekening BPA, melainkan ke buku pribadinya. Sebagian permainan itu ternyata juga dilakukan Lee setelah diberhentikan selaku direktur BPA pada 18 September 1984. Semua itu, menurut jaksa, bisa berjalan mulus lantaran bantuan istri, ibu, dan saudara-saudaranya. Hingga kini, kata Jaksa Chairuman lagi, istri dan ibu Lee masih buron. Menurut sebuah sumber TEMPO, dana ratusan milyar itu "dimainkan" Lee bersama kerabatnya untuk spekulasi tanah di daerah Slipi, usaha real estate Cengkareng Indah, dan sejumlah proyek lain. "Pengelolaan semua proyek itu tak beres, bahkan tekor," kata sumber TEMPO di kalangan BPA. Akibat ulah Lee tadi, BPA hampir pailit, sehingga nasabah dan kalangan perbankan gempar. BI terpaksa menutup kebocoran itu dengan Rp 81,5 milyar pada Oktober 1984. Satu setengah tahun kemudian manajemen dan kepemilikan BPA dialihkan ke PT Prahadima, dan berangsur-angsur sehat kembali. Kini aset BPA sekitar Rp 600 milyar. Selesaikah cerita Lee? Ternyata belum. Pada saat orang ramai membicarakan kasus BPA pada 1984, Lee sendiri dikabarkan buron. Selain itu, ia ternyata mesti menjalani hukuman 6 bulan penjara karena kasus identitas palsu -- Lee sebenarnya masih warga negara Malaysia. Lima tahun kemudian, tepatnya 22 Februari 1989, barulah petugas kejaksaan berhasil membekuk Lee, yang ternyata tak pergi jauh. Ia masih di salah satu rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Setelah itu, kasus BPA pun menggulir ke pengadilan. Lee, yang mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana abu-abu di persidangan, tak bersedia mengomentari kasus itu. Salah seorang pembelanya, Moh. Assegaf, menilai perkara itu bukan pidana, tapi perdata. "Perkara ini kan urusan antara BPA dan BI. Jadi, tak bisa kesalahan perusahaan dibebankan kepada terdakwa," ujar Assegaf. Lagi pula, tambahnya, Lee pernah bersedia menggantikan kerugian BPA. Bahkan sebagian kekayaan pribadi Lee di BPA juga sudah diambil alih. Maka, Assegaf menganggap kasus itu sudah selesai dengan adanya pengalihan BPA ke PT Prahadima. "Kalau mau fair, pengambilalihan itu mestinya termasuk juga mengambil alih risiko kerugian berikut utangnya," kata Assegaf. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Erfan Brotoamidarmo menyatakan, bagaimanapun Lee tetap bisa dituntut secara pidana. "Perbuatan Lee kan sudah terjadi sewaktu manajemen lama BPA. Jangan lantas dikait-kaitkan dengan manajemen baru," katanya. Hp.S., Ardian T. Gesuri, dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini