Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Labbaika

Jemaah haji korban terowongan mina sebagai syuhada menuju ke tempat yang baik yang telah dijanjikan tuhan. mereka mati karena keikhlasan dalam sujud kepada tuhan. telah mengajarkan apa arti kematian.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG datang, menerima panggilan itu, ke negeri yang kering, ke kolong langit dalam dengus suhu 40 derajat, ke haribaan Kaabah dalam kelimun jutaan orang, mengikuti perlambang Bapa Ibrahim yang datang setelah impit-mengimpit di terowongan Al-Muaisim itu langsung ke hadirat-Nya, ke tempat baik yang telah dijanjikan, apakah yang mereka lihat di bumi yang mereka tinggalkan? Mungkin mereka akan mengatakan, "Lihat. Anak kita bersedih. Mereka tak akan melihat kita lagi." Mereka sendiri mungkin ikut bersedih, tapi hanya karena perpisahan itu, bukan karena kematian itu. Atau barangkali mereka telah mengatasi sedih dan riang, mengatasi bagian dari badan dan dunia. Ada seorang sufi yang dengan sangat indahnya mengutip kata-kata Nabi: "Umat manusia itu tertidur, dan bilamana mereka mati, mereka terbangun". Dalam arti itu pula agaknya mereka telah dibebaskan, dari rasa pengap, sakit, takut, panas, sumpek, tanpa daya -- tak cuma dalam terowongan Al-Muaisim. Yang kita tahu ialah bahwa mereka tak akan kembali, dan pada saat yang sama, mereka dalam tempat yang jauh lebih baik ketimbang kita semua, dan kita tak kunjung mengerti, karena keterbatasan kita, apa artinya mati syahid. Kematian bisa berbicara banyak, dalam pelbagai isyarat. Panggilan Tuhan tidak bermakna tunggal. Kematian bisa membiaskan sesuatu yang merendah-hinakakan harkat manusia, sesuatu yang mendegradasikan hidup, ketika kita melihat -- dengan kekuasaan dan kekuatan yang dahsyat -- seseorang membunuh orang lain. Terutama membunuh dengan sikap tak semena-mena. Tetapi kematian juga bisa berbicara tentang sesuatu yang luhur, tentang sesuatu yang menyebabkan kita terpesona dan berkata, "Alangkah agungnya manusia, dan alangkah Mahaagungnya yang menciptakan manusia," ketika kita melihat mereka yang mati tanpa kemarahan, tanpa kedengkian, tanpa kebencian, ya, mereka yang mati karena keikhlasan dalam sujud kepada sesuatu yang lebih besar ketimbang hidup dan mati itu sendiri: Tuhan. Untuk mereka kita menangis karena kita berpisah. Tapi untuk mereka kita terpekur bahwa tak semua kita bisa seperti mereka, semulia mereka. Yang datang menerima panggilan itu, ke negeri yang kering, ke bukit dan bumi yang panas, ke arus persamaan berjuta orang, ke haribaan Kaabah, dan kemudian pergi langsung ke hadirat-Nya -- sementara jutaan orang, bukan sanak bukan kadang, bahkan bukan tetangga, ikut bersembahyang gaib bersama-sama untuk arwah mereka (seakan-akan merayakan sebuah perjalanan yang mulus ke rahmat-Nya) -- mereka adalah yang telah mengajarkan kepada kita apa arti kematian. Kematian yang baik. Kematian yang memberikan ilham bagi hidup yang lebih baik. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus