Anto dan Imung berandai-andai, antara mampu dan patut, lalu terperosok waham kebesaran. SUATU ketika seorang mahasiswa sebuah fakultas di Universitas Indonesia, Anto- sebut saja namanya demikian- berbisik pada temannya. "Ssst, kau tahu. Lantaran informasi dari aku, usaha menggulingkan pemerintah dapat digagalkan," katanya. Sedangkan mereka yang mendengarnya acuh tak acul saja. Pada waktu lain, Anto mendatangi teman-temannya yang duduk di luar ruang kuliah. "Kalian harus saya selamatkan. Sebab, saya ini Tuhan. Aku ke sini untuk memerangi kebodohan," ujarnya. Teman-teman Anto tak tercengang. "Dia itu sakit," cuma itulah komentar mereka. Dalam istilah psikologi, apa yang dialami Anto lazim disebut sebagai waham kebesaran. Waham kebesaran, atau megalomania, adalah gejala yang muncul dalam diri seseorang yang mengalami kepribadian terbelah, atau split of personality. Akibatnya, penderita menganggap dirinya "orang penting", atau "yang ter", alias superior. "Padahal, sebenarnya ia itu biasa saja, seperti tong melompong nyaring bunyinya," kata Sawitri Supardi, 47 tahun, Kepala Jurusan Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran Bandung. Sebagai psikolog, ia banyak menangani kasus semacam disebut tadi di Biro Konsultasi Psikodinamika yang dibukanya. Lebih dari 30 pasien yang konsultasi ke bironya kebanyakan dari kalangan mahasiswa, bahkan sebagian besar datang dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Adanya mahasiswa ITB (jadi tidak semua pukul rata) yang menjadi pasiennya, menurut Sawitri, berasal dari mereka yang latar belakangnya berbeda-beda. Salah satu, karena mereka memiliki perasaan bangga berlebihan. Selain sebagai mahasiswa perguruan tinggi terkenal, di tengah keluarganya, ia juga sering dibanggakan. Akibatnya, di pundak anak ini diganduli tanggung jawab besar, sehingga ia dibikin "besar kepala". Kebanggaan itu lambat-laun jadi bayangan yang menghantui dan mendorong pencarian identitas si mahasiswa, tapi kemudian malah ia kejeblos ke arah yang salah. "Program orientasi studi yang diisi dengan penanaman kebanggaan korps juga menjadi pemantik munculnya megalomania," tambah Sawitri kepada wartawan TEMPO Achmad Novian. Tingkat gangguan jenis ini, menurut Sawitri, terdiri dari tiga klasifikasi. Yakni yang paling rendah (mild), moderat, atau menengah. Dan paling parah adalah tingkat ekstrem, sehingga ia perlu perawatan psikiater dalam waktu lama. Contoh lain, Imung (juga bukan nama sebenarnya), 23 tahun, dari tingkat mild. Ketika masih mahasiswa di Unpad, ia tak terlalu jadi perhatian temannya. Tapi setahun kemudian, lewat adu nasib melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), ia tembus ke ITB. Baru teman-temannya melihat perubahan pada diri pemuda gondrong ini. "Ia mulai sok penting dan bicaranya selalu yang besar, soal negara, politik, dan meremehkan perguruan tinggi lain," cerita seorang temannya. "Saya ini mahasiswa ITB, jadi tanggung jawab saya besar," kata teman itu, mengutip apa yang sering diucapkan Imung. Ini menarik, karena ia bukan aktivis. Ternyata, mampu dan patut merupakan pasangan yang harus setara bobotnya. Di bagian ini rupanya Imung menyerah. Memasuki tahun kedua di ITB, timbangan "mampu dan patut" pada diri si Imung bahkan berubah timpang: sayang, ia memang tidak mampu kuliah di dua tempat sekaligus (ITB dan Unpad). Lalu ia keluar dari ITB, dan melanjutkan di Unpad. Sejak itu Imung pun normal kembali. Untung. Tapi ada contoh lain. Dari Bandung, setahun silam, seorang mahasiswa yang berpakaian necis dan berdasi mendatangi sebuah kantor majalah di Jakarta. Di kantor redaksi, malam itu, ia ngotot ingin ketemu pemimpin redaksi. "Maksudnya agar pimpinan majalah ini yang mewawancarai saya," ucapnya bersemangat. Kata penderita megalomania yang tergolong tingkat moderat ini: cuma dirinya sebagai nara sumber yang patut dikutip untuk membahas soal politik di Indonesia. Selain konon ia ini mahasiswa drop out, ada apa lagi di balik itu? Semuanya ini, menurut Sawitri, tidak lain akibat keseimbangan jiwanya yang terganggu, dan pencarian jalan keluar yang salah. Apalagi kalau orang itu mencari jalan keluar secara mengandai-andai. Penyakit ini disebut delusion of grandeur. Artinya, mematut atau mendefinisikan diri sebagai orang besar. "Misalnya, ada orang yang mengandaikan dirinya sebagai Yesus atau Nabi Muhammad." kata Sawitri. Dan sementara itu, Dr. Bana G. Kartasasmita, Sekretaris Rektor Bidang Komunikasi dan Kebudayaan ITB, melihat adanya mitos yang dibuat mahasiswa sendiri tentang almamaternya. Mereka anggap: mahasiswa ITB adalah putra-putra terbaik dan calon pemimpin, otak gerakan mahasiswa, dan sumber dari ide orisinil. "Padahal, itu tidak semuanya benar," kata Bana. Sedangkan menurut Sartono Mukadis, keganjilan semacam ini tak hanya hinggap pada diri sementara mahasiswa. "Ini merupakan penyakit segala usia dan segala lapisan," ujar psikolog dari UI ini. Yang repot, gejalanya tak terlalu mudah ditandai. Sebab, beda antara yang sakit dan yang tidak sakit itu sangat tipis. Bahkan di satu sisi, orang mengatakan Bung Karno, Hitler, dan Napoleon, masuk dalam kategori megalomania. Tapi ini disanggah. Sebagian orang mengatakan, mereka adalah tokoh dengan ide besar yang bisa mereka buktikan. Justru pada orang yang terkena wabah ini lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai titipan Bung Karno, misalnya. Jadi, bukan Bung Karnonya yang megalomania. Toh waham kebesaran yang muncul akibat kepribadian terbelah tadi lazimnya bisa pula ditandai dengan munculnya salad word. Atau, ini yang disebut Sartono sebagai bahasa rujakan. Orang akan lancar bicara menggunakan kata, namun kaitannya satu sama lain tak jelas, sehingga maknanya malah menjadi kabur. Makanya, gemar mengeluarkan aneka istilah yang dipoles-poles agar dianggap hebat, menurut Sartono, memang berbahaya. Sekadar contoh, umpamanya mengganti "ditangkap" dengan "diamankan" atau "harga naik" dihaluskan menjadi "harga disesuaikan", serta sejumlah akronim lain yang kini makin mengasbun. Adakah itu jadi petunjuk kepribadian terbelah: bahwa penderita megalomania sudah merasuki banyak kalangan? Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini