''GANTUNGLAH cita-citamu setinggi langit.'' Semboyan ini ditanamkan neneknya kala ia masih kecil. Dan Choirun Nasichien, penduduk Desa Nglele, Kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur, berusaha keras mencapai cita-citanya: naik haji menunaikan rukun Islam ke-5. Tanggal 11 Mei 1992 bujangan 30 tahun itu berangkat naik haji. Namun tidak melalui prosedur lazim. Ia nekat melompat pagar memasuki areal lapangan terbang Juanda Surabaya, menyelinap masuk ke rombongan jemaah haji dan berhasil ikut terbang sampai Jedah. Kenekatan itu kini harus ditebusnya mahal. Sejak Selasa pekan lalu Choirun diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur. Jaksa Muhammad Noor Bolotia mendakwanya melanggar Pasal 167 (1) KUHP (memasuki kawasan tertutup tanpa izin). Ancaman hukumannya, 9 bulan penjara. ''Saya tak merasa bersalah. Saya hanya ingin naik haji. Tapi karena tak punya uang, saya nunut (menumpang),'' ujar Choirun polos kepada Edy Hafidl dari TEMPO. Keinginan naik haji memang obsesi Choirun sejak masa kanak- kanak. Ia amat terkesan mendengar cerita-cerita tentang perjalanan orang naik haji. Tak aneh jika tamatan Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) itu sehari-hari selalu mengenakan kopiah haji. Teman- temannya memanggilnya ''Wak Haji''. Musim haji 1992 keinginannya naik haji tak terbendung lagi. Apalagi pada saat itu ia mendengar bahwa rombongan haji dari Jombang akan berangkat Senin 11 Mei 1992. Sehari menjelang keberangkatan, Choirin, yang sehari-harinya berjualan es, bersiap-siap. Antara lain membeli kopiah haji, sorban, dan sebuah travel bag. Dengan spidol hitam ia menulis di tasnya: Choirun Nasichien, Haji Nunut dari Sumobito, Jombang. Senin siang itu Choirun sampai ke Bandar Udara Juanda, yang seumur-umur baru dilihatnya. Ia mendapat informasi, jadwal keberangkatan rombongan jemaah haji asal Jombang adalah Senin malam pukul 21.30. Untuk menunggu waktu, Choirun berkeliling me- ngenali bandara. Tepat pukul 21.00 Choirun menghampiri pagar kawat Bandara setinggi 2,4 meter. Setelah tengok kiri-kanan, melompatlah ia. Selamat, tak seorang pun memergokinya. Dengan tenang ia bergabung dengan rombongan haji yang naik ke pesawat. Pukul 02.30 dinihari petugas memeriksa paspor penumpang. Tanpa menjawab, Choirun menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tentu saja petugas bengong. ''Saya ceritakan apa adanya. Lha wong saya tidak punya uang, ya terpaksa nunut,'' cerita Choirun. Begitu sampai di Jedah, ia tak boleh turun. Keesokan harinya ia dipulangkan dengan pesawat yang sama ke Indonesia. Ia langsung diinterogasi polisi. Maskapai Penerbangan Garuda tak menuntut Choirun. Namun Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo Buchori mengungkapkan, ''Banyak pasal yang bisa diterapkan, tapi yang pas memang Pasal 167 KUHP.'' Jika Garuda menuntut, Choirun bisa dijerat dengan Pasal 15 UU Nomor 83 Tahun 1958 tentang keberadaannya di lapangan terbang dan pesawat terbang tanpa izin. Penasihat hukum Choirun, Abdul Aziz Mohammad Bahlmar, menyatakan dakwaan jaksa terlalu berat. Yang pas, menurut Aziz, adalah Pasal 551 KUHP, berjalan di atas tanah larangan dengan ancaman hukuman pidana denda, bukan ancaman penjara. Choirun sendiri berharap dibebaskan dari hukuman apa pun. ''Saya kan cuma numpang. Kalau ternyata tidak boleh ya sudah,'' ujarnya. Aries M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini