Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERING telepon berulang pada pukul dua dinihari awal Agustus tahun lalu itu akhirnya membangunkan Alex Usman. Si penelepon, suruhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Fahmi Zulfikar, menunggu di depan rumah. Lelaki yang mengaku bernama Erwin itu meminta Alex, tersangka kasus korupsi pengadaan alat penyimpan daya listrik, segera keluar.
Sempat terkaget-kaget, Alex segera mafhum maksud kedatangan Erwin, yang terekam kamera CCTV rumahnya di Jalan Duri Kencana, Jakarta Barat. "Dia menagih tujuh persen jatah anggota Dewan," kata seorang saksi yang mengetahui kejadian malam itu dari Alex, Rabu pekan lalu.
Uang persekot itu merupakan pelicin agar usul proyek uninterruptible power supply (UPS) bisa gol dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2014. Ketika itu pengesahan APBD Perubahan tinggal menghitung hari. Namun uang perangsang rupanya belum sampai ke tangan para legislator Kebon Sirih-sebutan untuk kantor DPRD DKI.
Dinihari itu juga Alex menghubungi Harry Lo, Direktur PT Offistarindo Adhiprima. Perusahaan ini adalah distributor perangkat UPS bersama CV Istana Multimedia Center dan PT Duta Cipta Artha. Tak lama setelah berbincang dengan Harry, Alex menyerahkan tujuh lembar cek kepada Erwin. Nilainya sekitar Rp 20,230 miliar-atawa tujuh persen dari nilai proyek pengadaan 49 unit UPS.
Menurut penyidikan polisi, cek tersebut dicairkan di Bank DKI, lalu diberikan ke Fahmi, Sekretaris Fraksi Hanura di DPRD DKI. Dari tangan Fahmi, duit diduga mengalir ke sejumlah anggota Komisi E dan pimpinan DPRD.
Rupanya, belum semua duit pelicin dicairkan. Maka polisi memblokir tiga rekening di Bank DKI yang berkaitan dengan kasus ini. Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Rikwanto,?membenarkan informasi pemblokiran rekening tersebut. Namun ia tak mau membuka nama pemilik rekening dan jumlah uangnya. "Bukan konsumsi publik," katanya.
DUGAAN korupsi proyek UPS mencuat pada Januari lalu, ketika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menemukan program titipan DPRD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015. Nilai program titipan yang kemudian disebut Basuki "anggaran siluman" itu mencapai Rp 12 triliun dari total Rancangan APBD yang diajukan ke DPRD sebesar Rp 72 triliun.
Basuki curiga usul siluman juga masuk anggaran tahun sebelumnya. Karena itu, Gubernur menyuruh anak buahnya menyisir APBD 2014. Hasilnya, ditemukan sekitar 12 ribu mata anggaran yang mencurigakan. Yang paling mencolok adalah pengadaan UPS di 49 sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Sewaktu mengusulkan proyek UPS, Alex Usman menjabat Kepala Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat. Untuk pengadaan di wilayah lain, Alex menggandeng Zaenal Soleman, Kepala Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Pusat.
Atas kesediaan menjadi pengusul, Zaenal mendapat imbalan Rp 1,5 miliar. Namun, kepada Tempo, Zaenal-yang juga berstatus tersangka-mengaku sudah mengembalikan uang tersebut ke polisi. "Saya kembalikan saat diperiksa Polda Metro Jaya," katanya Rabu pekan lalu. Ia diperiksa penyidik Polda Metro pada awal Maret lalu.
Menurut sejumlah saksi yang diperiksa polisi, dalam pusaran suap proyek UPS, Fahmi Zulfikar merupakan simpul terpenting yang menghubungkan Alex dan kawan-kawan dengan sejumlah anggota DPRD. Fahmi pula yang paling aktif berhubungan dengan Alex dan Harry Lo. Sepanjang Juni-Agustus 2014, Fahmi berkali-kali bertemu dengan kedua orang tersebut. Dalam salah satu pertemuan, mereka menyepakati jatah tujuh persen untuk DPRD.
Selain Fahmi, menurut para saksi, ada tiga anggota DPRD DKI yang berperan penting memuluskan proyek UPS. Mereka adalah Ferrial Sofyan, Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 yang juga Ketua Badan Anggaran; M. Firmansyah, mantan Ketua Komisi Pendidikan; dan Abraham Lunggana alias Lulung, Koordinator Komisi E. Polisi sudah memeriksa keempat politikus tersebut.
Dalam rantai korupsi pengadaan UPS, peran Fahmi dkk adalah mengawal usul proyek sampai pengesahan anggaran dalam sidang paripurna. Lulung, misalnya, bertugas memastikan usul proyek yang disamarkan dalam "Pokok Pikiran Komisi E" itu masuk rancangan anggaran yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Namun Lulung tidak terjun langsung. "Ia menurunkan orang kepercayaannya," ujar penyidik.
Seorang pejabat di Balai Kota DKI Jakarta bercerita, sepanjang Juli-Agustus 2014, ada dua "orang asing" yang hampir saban hari mendatangi ruang input data Bappeda di lantai 11 gedung Balai Kota. "Orang di sini mengenal mereka sebagai anak buah Lulung," kata si pejabat.
Kepada pegawai Bappeda, kedua orang itu memperkenalkan diri sebagai Erwin dan Kris. Mereka tak hanya memastikan proyek UPS masuk draf APBD. Mereka bahkan berani memerintah anggota staf Bappeda menghapus mata anggaran yang bertabrakan dengan program titipan Dewan itu.
Setelah memastikan program UPS masuk APBD Perubahan, Fahmi dan anggota DPRD lainnya tak mencampuri proses lelang. "Karena itu, mereka meminta bayaran di muka," kata seorang saksi. Toh, tanpa pengawalan empat serangkai itu pun proses lelang tak akan lari ke mana-mana. Soalnya, Harry Lo hanya satu-satunya penyalur UPS buatan Cina yang spesifikasinya telah dicocokkan dengan usul Alex dan kawan-kawan.
Untuk menutup uang persekot jatah Dewan, sejak awal nilai proyek UPS digelembungkan hingga hampir dua kali lipat. Seorang pengusaha yang pernah berkongsi dengan Harry Lo mengatakan tiap unit UPS yang didatangkan dari Cina itu harganya paling mahal Rp 3 miliar-sudah termasuk pajak dan laba perusahaan. Nah, dalam harga perkiraan yang disodorkan Suku Dinas Pendidikan Menengah DKI, setiap unit UPS dihargai Rp 5,9 miliar.
Meski membuka aliran dana sampai Fahmi, kepada tim penyidik, Alex mengaku tidak tahu jumlah persis uang yang dibagikan kepada anggota Dewan lainnya. "Dia pernah dengar sekitar tiga-lima persen, tapi Fahmi yang lebih tahu," kata salah seorang kepercayaan Alex.
Kuasa hukum Alex, Eri Rosstria, tidak membantah atau membenarkan cerita ini. Ia hanya mengatakan kliennya telah menceritakan semua yang dia ketahui kepada penyidik Markas Besar Polri. Termasuk yang dibuka Alex adalah siapa saja anggota Dewan yang terlibat dan menerima uang. "Beberapa bukti sudah diserahkan juga," kata Eri, Kamis pekan lalu.
Penyidik Mabes Polri sudah memeriksa Harry Lo pada pertengahan April lalu. Namun Tempo belum bisa meminta tanggapannya. Tiga kali disambangi ke kantornya di Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Utara, Harry tak ada di tempat. Surat permintaan wawancara dan pesan pendek pun tak berbalas. Adapun rumah Harry di Blok N5 Green Garden, Jakarta Barat, menurut tetangga dan petugas keamanan lingkungan, sudah dijual sejak dua tahun lalu.
Abraham Lunggana berkali-kali menolak dikaitkan dengan semua pengakuan Alex mengenai aliran dana untuk anggota Dewan. "Kenal dia saja enggak," ujarnya. Lulung pun membantah pernah mengutus kedua orang itu ke kantor Bappeda. "Jangan semua dikaitkan dengan saya," katanya beberapa waktu lalu.
Fahmi tak pernah lagi terlihat di Kebon Sirih sejak menjalani pemeriksaan pertamanya pada 29 April lalu. Ia pun membantah jika dituding menerima duit suap. "Saya cuma anggota biasa, toh semuanya dibahas lewat Badan Anggaran," katanya sepekan sebelum diperiksa. Menurut Fahmi, selaku Ketua Komisi E, Firmansyah yang lebih tahu seluk-beluk proyek UPS.
Meski tak lagi menjadi anggota Dewan, Firmansyah masih aktif sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta. Namun nomor teleponnya tak bisa dihubungi. Pekan lalu, Tempo dua kali menyambangi kantor DPD Demokrat di Rawamangun, Jakarta Timur. Petugas keamanan di sana mengatakan Firmansyah sudah lama jarang masuk. Rumahnya di Jalan Kramat Pulo Gundul, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat pun sudah berpindah tangan.
Adapun Ferrial membantah disebut terlibat korupsi proyek UPS. "Sebagai Ketua Badan Anggaran, saya hanya menjembatani program Dewan dan pemerintah," katanya. Mendengar bantahan bertubi-tubi dari Fahmi dan kawan-kawan, kuasa hukum Alex meminta polisi bergerak cepat menuntaskan penyidikan. Ia pun meminta polisi menahan tersangka lain, Zaenal, yang kini masih menjabat Kepala Dinas Olahraga DKI Jakarta. "Klien saya dirugikan, pelaku lain yang perannya juga gamblang malah dibiarkan begitu saja," ujar Eri Rosstria.
Syailendra Persada, Yuliawati, Febrian, Erwan Hermawan
Perjalanan Kasus
27 Februari 2015
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan alat penyimpan daya (UPS) ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
3 Maret 2015
Kepolisian Daerah Metro Jaya mengumumkan penyelidikan atas pengadaan UPS dalam APBD Perubahan DKI Jakarta 2014.
4 Maret 2015
Polda Metro Jaya memanggil Alex Usman.
23 Maret 2015
Kasus pengadaan UPS diambil alih Markas Besar Polri.
30 Maret 2015
Mabes Polri menetapkan Alex Usman dan Zaenal Soleman sebagai tersangka.
15 April 2015
Polisi memeriksa Direktur PT Offistarindo Adhiprima, Harry Lo.
27 April 2015
Mabes Polri menggeledah ruang kerja Abraham Lunggana di lantai sembilan dan Fahmi Zulfikar di lantai lima gedung DPRD DKI Jakarta.
29 April 2015
Mabes Polri memeriksa Fahmi Zulfikar karena namanya disebut sebagai perantara suap dari Harry Lo ke anggota Dewan.
1 Mei 2015
Alex Usman ditahan Mabes Polri karena tiga kali mangkir dari pemanggilan.
4 Mei 2015
Lulung diperiksa Mabes Polri karena perannya sebagai koordinator Komisi Pendidikan dan Kesejahteraan.
20 Mei 2015
Mabes Polri memeriksa Ferrial Sofyan selaku mantan Ketua Badan Anggaran dan Firmansyah sebagai Ketua Komisi E saat kasus UPS ini terjadi. Keduanya dari Partai Demokrat.
TEKS: SYAILENDRA PERSADA
Sumber: Wawancara dan Riset
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo