Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENAP dua bulan mendekam di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Dody Iswandi lebih banyak "menganggur". Sejak dijebloskan ke balik jeruji, Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) ini tak pernah diperiksa lagi. "Jadi buat apa ditahan? Toh, klien saya kooperatif," kata Alamsyah Hanafiah, pengacara Dody, Kamis pekan lalu.
Dody salah satu tersangka dugaan penggelembungan dana pawai persiapan Asian Games XVIII di Surabaya pada 30 Desember 2015. Tersangka lain adalah Bendahara KOI Anjas Rivai dan Direktur PT Hias Gitalis Indonesia Ihwan Agus Salim. Hias Gitalis adalah vendor untuk pawai di Surabaya. Kedua orang ini ditahan di Polda Metro Jaya. Alamsyah juga menjadi pengacara mereka.
Alamsyah keukeuh ketiga kliennya tidak bersalah. Menurut dia, ada aktor utama di lingkaran dalam KOI serta Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menikmati gurihnya proyek sosialisasi Asian Games tahun 2018 itu. "Ada persekongkolan sehingga klien saya terbawa-bawa," ujarnya.
Polisi menahan Dody sejak awal Januari lalu. Menurut Kepala Subkorupsi Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, polisi menahan Dody untuk mempermudah penyidikan. Pekan ini, kata Ferdy, polisi akan kembali memeriksa dia.
Pemeriksaan Dody kali ini, menurut Ferdy, akan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tujuannya untuk melengkapi perhitungan kerugian negara kasus dugaan korupsi anggaran pesta olahraga antarnegara se-Asia itu. Sejauh ini polisi sudah mengantongi perhitungan kerugian negara versi Badan Pemeriksa Keuangan.
Hasil audit khusus BPK menemukan 14 masalah dalam penggunaan dana sosialisasi Asian Games XVIII. Dari total anggaran Rp 61,34 miliar, BPK mencatat kerugian negara sekitar Rp 31,66 miliar. Khusus pawai persiapan Asian Games di enam kota, BPK menemukan kemahalan harga Rp 5,31 miliar. Selain di Surabaya, pawai serupa berlangsung di Banten, Balikpapan, Medan, Makassar, dan Palembang. "Surabaya dan Medan paling besar, makanya kami prioritaskan."
Kepada polisi, Dody dan Anjas pernah menyebutkan sejumlah nama yang mendapat jatah proyek Asian Games. "Tapi, ketika kami minta bukti, tak pernah ada," tutur Ferdy. Meski begitu, polisi belum menutup kemungkinan menyelidiki peran orang-orang yang disebut Dody dan Anjas.
ANGGARAN sosialisasi Asian Games menggelembung di tengah jalan. Pada awal Desember 2015, atas nama KOI, Dody mengajukan proposal sosialisasi senilai Rp 11 miliar ke Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun, belakangan, Kementerian menaikkan anggaran berlipat-lipat menjadi Rp 62 miliar.
Seorang pejabat di Kementerian Pemuda menuturkan, ide menaikkan anggaran sosialisasi pertama kali datang dari Sekretaris Kementerian kala itu, Alfitra Salamm. Ketika Dody mengajukan proposal Rp 11 miliar, sebagai kuasa pengguna anggaran, Alfitra meminta Dody menaikkan anggaran lagi menjadi Rp 32 miliar. "Alasannya, untuk sinkronisasi dengan program Kementerian," kata si pejabat, Kamis pekan lalu. Dody pun menambahkan pekerjaan sosialisasi dari tiga menjadi sebelas item.
Hari belum berganti, Alfitra kembali menghubungi Dody. Lagi-lagi ia meminta anggaran sosialisasi dinaikkan. Kali ini nilainya menjadi Rp 62 miliar. Alfitra pun menitipkan beberapa pekerjaan. Awalnya Dody menolak karena angkanya terlalu besar. Belakangan, Dody khawatir, bila terus menolak, KOI tak akan mendapat anggaran sosialisasi. Malam itu juga Dody menyerahkan hasil revisi anggaran kepada Alfitra. Ada 14 item pekerjaan yang diusulkan, seperti pawai jalanan di enam kota, pembuatan logo, dan acara seribu hari menuju Asian Games.
Menurut Alamsyah Hanafiah, kliennya memang pernah bercerita bahwa kenaikan anggaran sosialisasi Asian Games itu atas permintaan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun Alamsyah mengaku belum tahu cerita detailnya.
Pada 4 Desember 2015, Wakil Ketua KOI Muddai Madang meneken nota kesepakatan penggunaan anggaran Asian Games dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kementerian akan mentransfer uang Rp 61,34 miliar untuk membiayai kegiatan sosialisasi. Melengkapi nota itu, Muddai meneken surat pernyataan akan bertanggung jawab secara pribadi bila ada penyelewengan proyek.
Kementerian mentransfer dana sosialisasi Asian Games pada pertengahan Desember 2015. Dalam waktu kurang dari sebulan, KOI menghabiskan uang untuk aneka acara. Belakangan, Dewan Perwakilan Rakyat mengendus bau amis penggunaan anggaran tersebut.
Pada medio Januari 2016, Komisi Olahraga DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, KOI, serta Indonesia Asian Games Organizing Committee (Inasgoc). Dalam rapat tersebut, DPR mempersoalkan transfer uang dari Kementerian ke rekening Inasgoc.
Ketua Komisi Olahraga DPR Teuku Riefky Harsya melontarkan dugaan penyimpangan dalam transaksi tersebut. Indikasinya, menurut dia, anggaran sosialisasi Asian Games yang semula diajukan KOI belakangan malah ditransfer ke rekening Inasgoc. "Ada aturan yang ditabrak," ucap politikus Partai Demokrat ini.
Politikus Senayan lantas meminta BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas anggaran sosialisasi Asian Games. Pada 26 Juni 2016, BPK menyerahkan hasil audit khusus ke DPR. Audit menemukan kejanggalan penggunaan dana sosialisasi sebesar Rp 67,63 miliar.
Temuan BPK lebih besar daripada anggaran proyek sosialisasi Asian Games karena memperhitungkan bunga giro yang diperoleh Inasgoc. Menurut BPK, Inasgoc hanya mencairkan Rp 44,72 miliar dari anggaran Rp 61,34 miliar. Sisanya disimpan dalam bentuk giro. Nah, bunga giro ini dipermasalahkan BPK karena tak disetor ke kas negara.
Urusan semakin runyam karena 6 dari 14 item sosialisasi Asian Games malah digarap orang-orang lingkaran dalam KOI dan Kementerian Pemuda. Total nilai keenam proyek tersebut mencapai Rp 5,69 miliar. Salah satunya program "Ayo Olahraga" di Solo pada akhir Desember 2015. Kegiatan itu digarap Nurohman, anggota staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Menurut sejumlah pengurus KOI, Nurohman meminta proyek tersebut kepada Anjas selaku Bendahara KOI. Anjas manut saja karena sejak awal sudah mafhum ada beberapa proyek yang menjadi jatah "orang Kementerian". Auditor BPK belakangan mencium penyimpangan dalam proyek "Ayo Olahraga" itu. Dari total anggaran Rp 441 juta, ada pengeluaran sebesar Rp 394 juta yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika dimintai konfirmasi, Nurohman irit bicara. "Saya hanya kenal Dody, tidak tahu Anjas," katanya melalui layanan WhatsApp, Rabu pekan lalu. Nurohman pun mengaku tidak terlibat dalam proyek Asian Games. "Saya tidak tahu yang semacam itu."
Bola panas dugaan korupsi karnaval Asian Games Surabaya juga pernah melambung ke Syamsul Arifin, adik kandung Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Alamsyah menyebut nama Syamsul dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, awal Februari lalu. "Kami memiliki bukti bahwa Syamsul juga menerima uang," ujar Alamsyah kala itu.
Menurut Alamsyah, Syamsul mendapat "jatah" sebagai penyelenggara karnaval Surabaya dengan meminjam bendera PT Hias Gitalis milik Ihwan. Pada 22 Desember 2015, Ihwan meneken kontrak pelaksanaan karnaval senilai Rp 4,7 miliar. Namun karnaval kemudian dikerjakan perusahaan milik Syamsul, CV Cita Entertainment.
Akhir Januari lalu, Syamsul sempat menjawab beberapa pertanyaan Tempo. Namun, di akhir wawancara per telepon itu, Syamsul meminta jawabannya tidak dikutip. "Saya menyerahkan sepenuhnya urusan kasus ini ke kepolisian," katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan biaya program peluncuran logo Asian Games yang terlalu mahal di salah satu stasiun televisi swasta. Dari nilai kontrak Rp 28,5 miliar, ada kemahalan harga sekitar Rp 4,7 miliar. "Program itu diteken Muddai Madang," ucap Alamsyah. "Kontraknya dua jam tapi hanya tayang 15 menit."
Muddai membantah ikut cawe-cawe dalam proyek sosialisasi Asian Games. Sejak Kementerian keliru mentransfer uang ke rekening Inasgoc, ia mengaku tak pernah memantau pelaksanaan proyek sosialisasi. "Dulu, sewaktu teken, atas nama KOI. Begitu tahu uang dikirim ke Inasgoc, saya tidak punya hak," ujar Muddai. Ia juga beralasan namanya baru masuk kepanitiaan Inasgoc setelah ada revisi keputusan presiden pada 13 Mei 2016.
Seorang pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga menuturkan karut-marut pengelolaan dana Asian Games menjadi pemicu pencopotan Sekretaris Kementerian Alfitra Salamm. Menurut si pejabat, Menteri Imam Nahrawi mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk mengganti Alfitra setelah bau amis proyek sosialisasi Asian Games meruyak ke mana-mana.
Alfitra menolak berkomentar panjang. "Saya dulu memang kuasa pengguna anggaran," katanya melalui pesan pendek kepada Tempo. "Sekarang kalau ada apa-apa lebih baik tanyakan kepada Kementerian, saya serahkan sepenuhnya ke sana."
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga pengganti Alfitra, Gatot Dewa Broto, tak bersedia menjelaskan kisruh pengelolaan dana sosialisasi Asian Games. Ihwal pencopotan Alfitra, Gatot hanya memberi petunjuk samar. "Pak Menteri sudah tidak satu frekuensi dengan Pak Alfitra," ujarnya Rabu pekan lalu. "Salah satunya soal Asian Games."
Menteri Imam Nahrawi menjanjikan wawancara kepada Tempo pada Jumat pekan lalu. Namun, pada pagi hari itu, seorang anggota staf Kementerian memberi tahu jadwal wawancara dibatalkan dengan alasan Imam ada urusan lain. Sehari sebelumnya, Imam menjawab pendek pertanyaan Tempo. "Enggak ada yang gitu-gituan. Staf saya juga baru, kalau teknis ya urusan panitia," kata Imam lewat layanan pesan pendek.
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo