Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar*
DALAM organisasi dan gerakan, skisma adalah awal kehancuran. Sebuah gerakan bisa remuk sekali pukul oleh serangan pihak luar, tapi skisma melumatkan dengan cara perlahan dan melelahkan. Yang saya bicarakan adalah skisma atawa perpecahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK jilid III di bawah kepemimpinan Abraham Samad, harus diakui, paling mencorong dalam kinerja tapi lemah dalam kontrol internal. KPK kali ini sangat gigih menahan serangan para koruptor, tapi sering kali kecolongan dan gagal mengatur mekanisme internal melawan para pencoleng uang negara. KPK kali ini paling gempita mengejar koruptor, tapi pada saat yang sama paling banyak melahirkan rumor perihal ketidakkompakan para komisioner.
Kita tentu masih ingat ketika muncul desas-desus tentang sejumlah komisioner yang enggan mengusut kasus Century sementara komisioner lain bersikap sebaliknya. Rumor sejenis juga kita dengar dalam proses KPK menetapkan beberapa tersangka.
Gosip kembali menyeruak perihal bocornya draf surat perintah penyidikan yang merupakan awal penetapan status tersangka terhadap bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang.
Ini tentu bukan persoalan sepele. Kebocoran surat perintah penyidikan adalah pelanggaran hukum yang serius. Jika kebocoran itu terjadi akibat kelakuan orang dalam, nyatalah di mata semua orang banyak bahwa di KPK ada musuh dalam selimut. Apalagi KPK telah membentuk Komite Etik—petunjuk bahwa sang pembocor bukanlah orang biasa.
Menyusul investigasi Komite Etik, ada dua hal yang patut dibicarakan. Pertama, apa implikasi investigasi kebocoran surat penyidikan terhadap kelanjutan perkara Anas. Kedua, bagaimana nasib KPK setelah dikeluarkannya rekomendasi oleh Komite Etik.
Secara hukum, draf surat perintah penyidikan menandakan akan dimulainya investigasi hukum terhadap sebuah perkara. Tentu tidak ada hubungan langsung antara kebocoran draf dan proses penyidikan itu sendiri. Bocor atau tidak, penyidikan terus berlanjut. Karena itu, penyidikan tak boleh ditunda hanya karena Komite Etik masih bekerja.
Justru KPK harus bekerja ekstrakeras menuntaskan kasus Anas Urbaningrum agar terhindar dari tudingan bahwa kebocoran draf dilakukan untuk menghambat proses hukum yang bersangkutan. Jika KPK bekerja cepat dan bertungkus lumus menyelesaikan kasus, Komisi bisa membantah tudingan bahwa kasus ini tidak matang dan dipaksakan.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan siapa yang membocorkan draf tersebut, mencari tahu apa motif pembocoran dan rekomendasi apa yang patut diberikan buat menghukum pelaku. Tentu Komite Etik tak bisa menjatuhkan sanksi, tapi rekomendasinya mengikat untuk dilaksanakan, termasuk jika rekomendasi itu berupa penyelesaian pidana.
Inilah hal kedua yang bisa mendatangkan badai serius bagi KPK. Setelah Komite Etik bekerja, dapatlah diketahui bahwa ada indikasi penjualan informasi perkara—sesuatu yang sangat ditabukan hukum. Orang kemudian akan ribut perihal motif "penjualan", berapa "harga" atas informasi yang dibocorkan, dan siapa pihak ketiga yang menginginkan bocoran informasi tersebut. KPK boleh jadi kemudian dituduh telah menjadi alat politik.
Karena itu, tugas Komite Etik kini adalah membuka tabir "musuh dalam selimut" tersebut. Sanksi yang nanti diberikan Komite sangat bervariasi, tergantung hasil temuan: jika pembocoran tak disengaja, rekomendasi akan ringan. Jika terancang dan sistematis, rekomendasi bisa berupa sanksi pidana.
Sikap tegas harus diambil Komite Etik karena KPK adalah lembaga kepercayaan publik yang memiliki mekanisme kontrol untuk menjaga kepercayaan tersebut. KPK harus menerapkan zero tolerance terhadap pelanggaran dan kesalahan.
Jika nanti ada komisioner yang diberhentikan, itu artinya KPK tak alpa dari kesalahan. Tapi proses pemberhentian itu adalah pertunjukan nyata bahwa Komisi serius mengoreksi diri. KPK adalah lembaga yang tak mentoleransi orang yang bekerja serampangan.
Meski demikian, proses pidana dan pemberhentian komisioner punya efek samping yang patut diperhitungkan. Berkurangnya komisioner akan menjadi pintu masuk baru bagi pihak luar untuk menyusupkan kandidat yang tidak bermutu. Di sinilah peran publik dan negara menjadi besar. Eksekutif dan legislatif selayaknya menjaga KPK agar tetap disuplai orang bermutu—harapan yang mungkin berlebihan karena selama ini kedua institusi itulah yang dicurigai punya motif melemahkan KPK. Harapan terakhir, jika bukan satu-satunya, adalah pada publik. Orang ramai patut didorong untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi Komite Etik.
*) Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo