TENGAH orang menunggu pengumuman susunan kabinet, Ali Sadikit
dimunculkan di pengadilan militer, duduk sebagai saksi dalam
perkara Pluit. Bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut tidak
dimintai pertanggungjawaban mahkamah dalam perkara Dwinanto
Prodjosupadmo, bekas Walikota Jakarta Utara, yang duduk di kursi
terdakwa. Namun pembangunan rumah mewah di pantai Jakarta yang
menghebohkan, menurut Ali Sadikln, adalah kebijaksanaannya
selaku gubernur dalam rengka pemekaran Ibukota.
Letkol Laut (Pur) Dwinanto dituduh Oditur J. B. Tikupandang
sebagai "kunci keran" yang menyebabkan mengalirnya kredit dari
Bank Bumi Daya (BBD) kepada Direktur PT Jawa Buildin Indah
UBI), Endang Wijaya. Kredit sebanyak Rp 14 milyar kemudian
tertunggak pengembaliannya. Penunggakan, ditambah liku-liku
memperoleh kredit dengan cara yang tidak dibenarkan, Endang
Wijaya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Direktur Kredit BBD,
R.S. Natalegawa, kemudian juga dipersalahkan kebijaksanaan
kreditnya dan dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara oleh
Pengadilan Tingi setelah sebelumnya dibebaskan Pengadilan
Negeri.
Keran yang dibuka Dwinanto, menurut oditur, berupa berbagai
kelonggaran bagi Endang dalam rangka pembangunan proyek
perumahan mewah Pluit. Misalnya mengizinkan Dwinanto
menaminkan tanah milik negara seluas 154 hektar guna
mendapatkan kredit dari BBD. Bekas walikota itu pula, yang
dituduh membenarkan Endang menunggak utang-utangnya ke Badan
Pengelola Otorita (BPO) Pluit, sekitar Rp 9 milyar. Sebagai
imbalannya, begitu dituduhkan, Dwinanto menerima sejumlah uang,
rumah, dan mobil-mobil dari Endang Wijaya.
Tampil di persidangan masih dalam gaya "Bang Ali" ketika jadi
gubernur, lugas dan suara keras, saksi menjawab pertanyaan
majelis hakim yang diketuai Kolonel KUM (U) Moh Isa. Misalnya
tentang pembangunan perumahan Pluit-yang berbuntut jadi perkara
korupsi itu, Sadikin berkata, "Saudara harus mengerti dinamika
saya membangun Jakarta yang sudah ketinggalan jauh. Kalau tidak
mengambil risiko, Jakarta tidak akan seperti ini."
Pluit, yang "tempat jin buang anak", dibangun pemerintah DKI
hanya dengan modal dengkul. Sebab itu BPO mencari rekanan dan
yang didapat JBI. Selaku ketua BPO, menurut Sadikin Dwinanto
mempunyai kekuasaan penuh. Termasuk cara-cara mendapatkan modal
untuk pembangunan Pluit itu. "Saya menganggap itu merupakan
upayanya untuk menjalankan tugas," kata Sadikin, menjawab
pertanyaan hakim tentang diizinkannya Endang menjaminkan tanah
negara oleh Dwinanto.
Hasilnya, menurut Sadikin, mengagumkan: "Sekarang, bagaimanapun
kita saksikan Pluit jadi kebanggaan." Itulah sebabnya Ali
Sadikin menilai Dwinanto sebagai walikotanya yang terbaik dan
memuji JBI yang sukses dalam pembangunan Pluit. "Sebab itu
Endang Wijaya pernah saya beri penghargaan," tambahnya.
Ali Sadikin membantah tuduhan negara dirugikan. "Bank juga
tidak," sanggahnya. Sebab dari perhitungan kemudian, ternyata
kekayaan JBI sebanyak Rp 32 milyar jauh melebihi utang-utangnya
kepada BBD, BPO, dan pajak, yang seluruhnya ditaksir berjumlah
Rp 24 milyar. Sebagai gubernur, ia juga tidak merasa pernah
mendapat keluhan dari bank, tentang kesulitan pengembalian
kredit oleh JBI.
Tunggakan JBI ke BPO, sekitar Rp 9 milyar, juga tidak jadi
masalah bagi bekas gubernur itu. Satu kali ia malah keberatan
ketika BPO menyetorkan uang ke Pemda DKI sebesar Rp 2,6 milyar
"Saya menginginkan uang itu jangan disetorkan dulu tapi
diinvestasikan kembali," kata Sadikin lagi.
Pokoknya, hampir semua tindakan Dwinanto dianggap Ali Sadikin
sesuai dengan kebijaksanaannya. Setelah enam tahun kasus Pluit
diproses, dan nama Dwinanto lama tidak disebut-sebut, ternyata
yang bersangkutan tidak lupa. "Saya memang sudah lama
menunggu-nunggu sidang pengadilan agar persoalan menjadi jelas,"
kata Dwinanto, yang dilahirkan di Yogyakarta, 57 tahun lalu.
Kakek dari sembilan orang cucu itu berpendapat: "Sebagai pejuang
saya ingin agar bisa menjelaskan segalanya sampai tuntas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini