Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bang Ali Di Kursi Saksi

Terdakwa Dwinanto (bekas Walikota Jakarta Utara) dan saksinya Ali Sadikin (eks Gubernur DKI), muncul di pengadilan militer perkara pluit. mereka merasa bertanggung jawab terhadap pembangungan perumahan. (hk)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGAH orang menunggu pengumuman susunan kabinet, Ali Sadikit dimunculkan di pengadilan militer, duduk sebagai saksi dalam perkara Pluit. Bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut tidak dimintai pertanggungjawaban mahkamah dalam perkara Dwinanto Prodjosupadmo, bekas Walikota Jakarta Utara, yang duduk di kursi terdakwa. Namun pembangunan rumah mewah di pantai Jakarta yang menghebohkan, menurut Ali Sadikln, adalah kebijaksanaannya selaku gubernur dalam rengka pemekaran Ibukota. Letkol Laut (Pur) Dwinanto dituduh Oditur J. B. Tikupandang sebagai "kunci keran" yang menyebabkan mengalirnya kredit dari Bank Bumi Daya (BBD) kepada Direktur PT Jawa Buildin Indah UBI), Endang Wijaya. Kredit sebanyak Rp 14 milyar kemudian tertunggak pengembaliannya. Penunggakan, ditambah liku-liku memperoleh kredit dengan cara yang tidak dibenarkan, Endang Wijaya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Direktur Kredit BBD, R.S. Natalegawa, kemudian juga dipersalahkan kebijaksanaan kreditnya dan dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tingi setelah sebelumnya dibebaskan Pengadilan Negeri. Keran yang dibuka Dwinanto, menurut oditur, berupa berbagai kelonggaran bagi Endang dalam rangka pembangunan proyek perumahan mewah Pluit. Misalnya mengizinkan Dwinanto menaminkan tanah milik negara seluas 154 hektar guna mendapatkan kredit dari BBD. Bekas walikota itu pula, yang dituduh membenarkan Endang menunggak utang-utangnya ke Badan Pengelola Otorita (BPO) Pluit, sekitar Rp 9 milyar. Sebagai imbalannya, begitu dituduhkan, Dwinanto menerima sejumlah uang, rumah, dan mobil-mobil dari Endang Wijaya. Tampil di persidangan masih dalam gaya "Bang Ali" ketika jadi gubernur, lugas dan suara keras, saksi menjawab pertanyaan majelis hakim yang diketuai Kolonel KUM (U) Moh Isa. Misalnya tentang pembangunan perumahan Pluit-yang berbuntut jadi perkara korupsi itu, Sadikin berkata, "Saudara harus mengerti dinamika saya membangun Jakarta yang sudah ketinggalan jauh. Kalau tidak mengambil risiko, Jakarta tidak akan seperti ini." Pluit, yang "tempat jin buang anak", dibangun pemerintah DKI hanya dengan modal dengkul. Sebab itu BPO mencari rekanan dan yang didapat JBI. Selaku ketua BPO, menurut Sadikin Dwinanto mempunyai kekuasaan penuh. Termasuk cara-cara mendapatkan modal untuk pembangunan Pluit itu. "Saya menganggap itu merupakan upayanya untuk menjalankan tugas," kata Sadikin, menjawab pertanyaan hakim tentang diizinkannya Endang menjaminkan tanah negara oleh Dwinanto. Hasilnya, menurut Sadikin, mengagumkan: "Sekarang, bagaimanapun kita saksikan Pluit jadi kebanggaan." Itulah sebabnya Ali Sadikin menilai Dwinanto sebagai walikotanya yang terbaik dan memuji JBI yang sukses dalam pembangunan Pluit. "Sebab itu Endang Wijaya pernah saya beri penghargaan," tambahnya. Ali Sadikin membantah tuduhan negara dirugikan. "Bank juga tidak," sanggahnya. Sebab dari perhitungan kemudian, ternyata kekayaan JBI sebanyak Rp 32 milyar jauh melebihi utang-utangnya kepada BBD, BPO, dan pajak, yang seluruhnya ditaksir berjumlah Rp 24 milyar. Sebagai gubernur, ia juga tidak merasa pernah mendapat keluhan dari bank, tentang kesulitan pengembalian kredit oleh JBI. Tunggakan JBI ke BPO, sekitar Rp 9 milyar, juga tidak jadi masalah bagi bekas gubernur itu. Satu kali ia malah keberatan ketika BPO menyetorkan uang ke Pemda DKI sebesar Rp 2,6 milyar "Saya menginginkan uang itu jangan disetorkan dulu tapi diinvestasikan kembali," kata Sadikin lagi. Pokoknya, hampir semua tindakan Dwinanto dianggap Ali Sadikin sesuai dengan kebijaksanaannya. Setelah enam tahun kasus Pluit diproses, dan nama Dwinanto lama tidak disebut-sebut, ternyata yang bersangkutan tidak lupa. "Saya memang sudah lama menunggu-nunggu sidang pengadilan agar persoalan menjadi jelas," kata Dwinanto, yang dilahirkan di Yogyakarta, 57 tahun lalu. Kakek dari sembilan orang cucu itu berpendapat: "Sebagai pejuang saya ingin agar bisa menjelaskan segalanya sampai tuntas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus