KORUPSI telah mewabah sampai di hutan-hutan. Program reboisasi,
penghijauan hutan, yang digalakkan dengan dana Inpres (Instruksi
Presiden) tidak luput dari penyelewengan. Penyidikan kejaksaan
di berbagai daerah menemukan angka-angka korupsi yang
mengejutkan di sektor itu. Sekitar Rp 1,5 milyar menguap di
hutan-hutan Sulawesi Tengah. Dua kali lipat jumlah itu tercecer
di Nusa Tenggara Barat. Angka kebocoran tertinggi Rp 7 milyar
ditemukan di Sulawesi Selatan.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Ir. Hadimartono Wiro
Soewondo selaku pimpinan proyek, pekan lalu mulai diadili di
Ujungpandang. Ia dituduh bertanggung jawab atas kebocoran uang
negara sebanyak Rp 4,5 milyar selama masa jabatannya (sejak
1978). Pihak kejaksaan juga menuduh pejabat sebelumnya, yang
sekarang berdinas di Yogyakarta, terlibat korupsi Rp 2,5 milyar.
Tuduhan yang sama ditimpakan pada rekan-rekan Hadimartono di
Sulawesi Tengah yang juga tengah diadili harl-hari ini.
Di persidangan terungkap modus operandi korupsi di hutan-hutan
kedua daerah itu. Tidak banyak beda denean korupsi di kota-kota
besar atau proyek Inpres lainnya, seperti SD Inpres, permainan
dilakukan pejabat-pejabat yang memimpin proyek bersama pihak
swasta sebagai pelaksana proyek. Caranya: penghijauan yang sudah
ditetapkan harus dengan menanam pohon plnus, ternyata dalam
pelaksanaannya atas persetujuan pimpinan proyek, kontraktor
menggantinya dengan pohon akasia atau pohon lain yang lebih
murah.
Selain bibit yang berbeda, kontraktor juga mengelabui negara,
dalam hal jumlah pohon yang ditanam. "Dilaporkan telah ditanam
37 juta pohon, setelah dicek kejaksaan ternyata hanya 1 juta
pohon," ujar Jaksa Agung Ismail Saleh beberapa waktu lalu. Dan
seperti biasanya, laporan pimpinan proyek selalu menyatakan,
pekerjaan telah selesai 100%. Berdasarkan laporan yang semacam
itulah uang negara mereka cairan.
Untuk mengungkapkan cerita dari hutan ke hutan itu petugas
kejaksaan sejak November lalu bekerja keras. "Ini tugas terberat
yang pernah dilakukan dalam mengusut korupsi," ujar Kepala
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Baharuddin Lopa, dalam suatu
jumpa pers. Tim pengusut, katanya, terpaksa menelusuri setiap
gunung dan huti an. Adakalanya peugas terpaksa jalan kaki
selama 8 hari untuk mencapai sebuah lokasi. Hasilnya, menurut
Baharuddin, dari 700 lokasi ternyata tidak satu pun yang sesuai
dengan semestinya.
Yang paling keterlaluan, menurut Baharuddin lagi, terjadi di
Kabupaten Wajo. Disebutkan di daerah itu telah ditanam 200 ribu
batang pohon pinus. Setelah dicek langsung oleh petugas ternyata
yang ditanam hanya 10 pohon saja. Kepala Kejaksaan itu
memastikan sekitar 60% anggaran reboisasi menguap di daerahnya.
Hadimartono, tertuduh, membantah. "Tuduhan itu tidak benar
seluruhnya," ujar Hadimartono di persidangan. Kepada TEMPO,
sarjana lulusan UGM itu membantah, telah mengeruk uang negara Rp
4,5 milyar. "Kalau saya punya uang sebanyak itu saya akan
berhenti bekerja," ujar Hadimartono.
Hadimartono (46 tahun) menganggap tuduhan yang ditimpakan
kepadanya berlebihan. "Kalau 20% saja anggaran reboisasi itu
diselewengkan, proyek tidak akan jalan,"ujarnya. Ia hanya
mengakui, sebagai pimpinan proyek sangat susah untuk mengontrol
semua proyek, yang lokasinya bertebaran di ber6agai kabupaten di
Sulawesi Selatan.
Pengadilan yang akan mengungkapkan sejauh mana permainan antara
pejabat dinas kehutanan dengan rekanan mereka. Di Pengadilan
Negeri Palu, Sulawesi Tengah, tujuh orang kontraktor yang
didengar sebagai saksi dalam perkara Kepala BPP (Badan Pemeriksa
Pekerjaan) M. Tanos, membenarkan adanya permainan itu. Seorang
kontraktor, Mulyasi Andi Palo dari CV Sari Bumi mengakui, telah
menanam pohonpohon yang lebih murah daripada yang dilaporkan.
"Saya tahu itu bertentanRan, tapi pimpinan proyek
menyetujuinya," kata Mulyasi. Baik Tanos maupun Kepala Dinas
Kehutanan Ir.FB Lumintang, seperti juga Ir. Hadimartono, saat
ini dalam tahanan kejaksaan.
Di persidangan Tanos juga terungkap adanya pembagian rezeki
antar sesama pejabat. Permainan yang dilakukan bendaharawan
proyek, menurut Tanos, atas sepengetahuannya. "Untuk menutupi
pos yang tak ada dananya," ujar Tanos. Dan pos yang tak berdana
tersebut, tambahnya, tak lain untuk "tamu" seperti dan BPK,
Bappenas, Kantor Pengawas Anggaran Negara, Direktorat Jenderal
Pengawas Keuangan dan dari Direktorat Reboisasi sendiri.
Bentuknya macam-macam: ada uang saku, tiket pesawat atau hotel.
Dari semua cerita manipulasi uang reboisasi ternyata yang paling
seru terjadi di Nusa Tenggara Barat. Para pelaku di daerah ini,
menurut sumber TEMPO, mempunyai cara untuk menghilangkan jejak.
Proyek yang baru selesai dikerjakan kerapkali dibakar oleh
orang-orang yang terlibat manipulasi. Maksudnya tentu saja agar
pihak pengawas atau pengusut tidak menemukan lagi bukti-bukti
penyelewengan. Selama dua tahun ini, kata sumber itu, tidak
kurang dari separoh proyek dari hampir 5.000 hektar yang
terbakar, begitu pekerjaan dinyatakan selesai dan anggaran telah
dicairkan. "Bisanya yang selalu dikambing hitamkan adalah rakyat
yang berladang dekat areal itu," ujar sumber itu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini