Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengatur Kewenangan Dewi Keadilan

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RELASI antara kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan negara hukum adalah hubungan mutualisme kausal yang mustahil dipisahkan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada dasarnya membutuhkan keberadaan negara hukum agar terlindung dari kekuasaan politik. Pada saat yang sama, negara hukum membutuhkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk dapat berdiri secara tegak.

Pembicaraan soal relasi ini kembali mengemuka seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim di Dewan Perwakilan Rakyat. Mengatur hakim terlalu ketat dapat mengganggu independensi peradilan, sedangkan membiarkannya tanpa aturan juga berpotensi merusak akuntabilitas. Menempatkannya memang harus berhati-hati. Bagai "menarik rambut dalam tumpukan tepung". Keliru menempatkan posisi para dewa-dewi keadilan bisa membuat relasi antara kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan negara hukum berantakan.

Mengatur Dewa-Dewi

RUU Jabatan Hakim adalah rancangan peraturan perundang-undangan yang bakal menentukan masa depan hakim di negeri ini. RUU ini adalah konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (Nomor 32/PUU-XII/2014 dan Nomor 43/PUU-XII/2015), yang memperlihatkan bahwa pengaturan tentang jabatan hakim saat ini masih terlalu parsial, terserak, dan tidak menyentuh persoalan mendasar seputar praktik kotor penegak kekuasaan yudisial. Pelbagai riset dan catatan sebenarnya sudah menunjukkan urgensi untuk melakukan purifikasi. Namun, tanpa dasar legislasi, sulit melakukan perbaikan mendasar pada porsi yang pas. Perbaikan yang harus dilakukan meliputi aspek rekrutmen, pembinaan, pendidikan, dan pengawasan. Untuk itu, RUU ini menawarkan konsep shared responsibility antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Dalam kaitan dengan rekrutmen hakim, RUU ini menawarkan lima hal. Pertama, rekrutmen hakim dilakukan bersama MA dan KY. Kedua, bagi calon hakim yang tidak lagi fresh graduate, pencalonannya harus didukung orang-orang yang telah memiliki pengalaman hukum, semisal advokat, jaksa, polisi, notaris, ataupun arbiter tersertifikasi dengan standar pengalaman sejumlah tahun tertentu. Ketiga, usia pengangkatan hakim pada tingkat pertama akan diperpanjang, hingga tidak lagi pada usia fresh graduate. Keempat, adanya panitia seleksi yang akan membantu proses menelaah rekam jejak hakim. Kelima, hakim tidak lagi berstatus pegawai negeri sipil, tapi pejabat negara. Pendeknya, RUU ini memberi kesempatan lebih besar kepada Komisi Yudisial untuk, bersama-sama dengan MA, menyusun cetak biru pembinaan, pendidikan, dan pengawasan hakim.

Meski begitu, tawaran shared responsibility itu masih mengalami resistansi karena dua hal ini: pertama, model pengelolaan kekuasaan yudikatif dalam one roof system-aspek teknis yudisial dan administratif dikendalikan dalam satu atap-seperti yang saat ini diterapkan, terbukti sangat mempermudah Mahkamah Agung dalam posisi rekrutmen, pendidikan, pembinaan, dan pengawasan hakim. Kedua, model shared responsibility dianggap akan melemahkan independence of judiciary. Pembagian tanggung jawab dikhawatirkan akan mengganggu kemandirian kekuasaan kehakiman.

Sejujurnya, jika kedua alasan penolakan tersebut ditelisik, pada titik tertentu terdengar seperti konklusi yang mendahului analisis. Keduanya tidak didasari analisis yang mendalam perihal pentingnya shared responsibility.

Model one roof system pada dasarnya telah mengalami kritik yang tajam seiring dengan peningkatan monopoli kekuasaan di tangan Mahkamah Agung. Kekuasaan MA yang demikian besar bisa membelenggu hakim karena lembaga itu berwenang mengatur mutasi dan demosi. Hakim yang berlaku kritis sangat mungkin berujung "disekolahkan". Hakim yang dinilai tak patuh akan berujung larangan memegang perkara. Dengan kata lain, sistem "satu atap" mampu melindungi para hakim dari gangguan politis dari luar dan pada saat yang sama mengekang mereka di dalam.

Salah satu tawaran bagi problem gagalnya sistem "satu atap" di sini tentu saja shared responsibility. Kuasa besar administrasi termonopoli memang seharusnya dibagi untuk dilaksanakan secara bersama. Sayangnya, kini ada usaha untuk membangun persepsi bahwa shared responsibility adalah upaya merampas kewenangan kekuasaan kehakiman yang dipegang oleh MA. Muncul keberatan bagaimana mungkin KY, yang tak punya kewenangan melaksanakan kekuasaan kehakiman, diserahi tanggung jawab pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

Padahal sejatinya shared responsibility adalah sarana pelaksana semata. KY hanya akan membantu MA agar hakim terbebas dari beban administrasi. Titik beratnya adalah memisahkan secara jelas tugas yudisial dan nonyudisial sehingga hal yang bersifat nonyudisial tak lagi menjadi kewenangan MA dan hakim bisa berkonsentrasi penuh dalam hal yang yudisial. Harapannya tentu agar mutu putusan peradilan kita bisa meningkat.

Resep ini bukan barang baru. Konsep shared responsibility telah menjadi fakta empiris di berbagai negara, baik yang bertradisi common law maupun civil law. Fakta empiris yang mengiringi kelahiran lembaga sejenis komisi yudisial di berbagai negara. Wim Vormans (2001), misalnya, menuliskan model utama lembaga sejenis KY di Eropa, yang pada dasarnya terbagi dalam dua jenis: pertama, lembaga sejenis komisi yudisial sebagai buffer antara pemerintah (eksekutif) dan peradilan (yudikatif) sehingga kerja yang dilakukan lebih terpusat pada tata kelola dan manajemen peradilan. Kedua, menjadikan KY sebagai lembaga pengimbang kekuasaan kehakiman sekaligus pengawas terhadap fungsi-fungsi peradilan.

Maka lembaga sejenis KY di Austria, Belgia, Prancis, dan Jerman punya tanggung jawab membuat putusan tentang status hakim-dari perekrutan hingga pensiun. Bahkan, di negara seperti Italia dan Spanyol, peran pengelolaan nonyudisial ini diserahkan secara terpusat ke lembaga seperti komisi yudisial. Karena itu, tidak tepat jika mencurigai shared responsibility sebagai gangguan atas independensi peradilan.

Independensi Vs Akuntabilitas-Integritas

Independensi adalah harga mati dari peradilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah keharusan sekaligus prasyarat. Tapi yang sering dilupakan adalah independensi galibnya berkaitan erat dengan akuntabilitas serta integritas. Akuntabilitas dan integritas yang tinggi akan menguatkan independensi. Sebaliknya, menguatkan independensi ketika integritas dan akuntabilitas buruk adalah kekeliruan.

Pengalaman pendirian lembaga sejenis KY di berbagai belahan dunia memberikan pelajaran soal itu. Kadar independensi harus sederajat dengan akuntabilitas serta integritas. Karena itu, kerja KY dalam membantu kekuasaan kehakiman tidaklah perlu dipandang sebagai intervensi. Jika dibaca dalam langgam yang lebih positif, kerja KY seharusnya menjadi magistrat pembantu yang mendongkrak integritas dan akuntabilitas hakim serta kekuasaan kehakiman.

Gagasan shared responsibility dalam RUU Jabatan Hakim memang masih harus diperkaya dengan pengaturan yang detail soal kewenangan apa saja yang bisa dibagi antara MA dan KY. Selain itu, RUU ini masih mengandung beberapa kekurangan. Pertama, RUU ini belum menyentuh masalah mendasar tentang hakim itu sendiri. Di Indonesia saat ini ada begitu banyak posisi hakim atau setara hakim yang belum diatur dengan detail. Misalnya hakim MK, yang pada salah satu putusannya tidak menyamakan dirinya sebagai hakim yang dimaksud dalam jabatan hakim. Seharusnya RUU Jabatan Hakim menyelesaikan seluruh persoalan A to Z hakim, termasuk hakim MK dan kuasi peradilan.

Karena itu, RUU ini juga harus mencakup pengaturan soal rekrutmen dan pengawasan hakim MK. Setidaknya standar seleksi hakim di dalam Undang-Undang MK, yakni transparan dan partisipatif (pasal 19) serta obyektif dan akuntabel (pasal 20 ayat 2), bisa didedahkan mekanisme dan caranya pada RUU ini. Ini penting agar tidak ada lagi penunjukan hakim MK yang seenaknya oleh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif hanya karena tidak ada aturan baku pelaksanaan dari asas.

Kedua, tentang jabatan hakim sebagai pejabat negara. Sesungguhnya lebih tepat jika jabatan hakim pada tingkatan tertentu adalah pejabat negara, sedangkan pada tingkatan lainnya adalah pejabat daerah. Dengan begitu, hak protokoler dan keuangannya juga bisa mengikuti stratafikasi tersebut. l

Zainal Arifin Mochtar*
Pengajar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ketua Pukat Korupsi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus