Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam merambat larut. Ketika sunyi membekap, pada 1 Maret lalu, empat polisi tanpa seragam bersiaga di dekat salah satu rumah di Satuan Permukiman III Transmigrasi Kobe, Maluku Utara. Bersenjata lengkap, mereka waspada sambil menunggu perintah.
Begitu perintah tiba, tanpa menunda-nunda, para polisi itu mendobrak pintu rumah di Desa Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, Halamhera Tengah, tersebut. Di dalam kamar berpintu papan, polisi meringkus dua orang suku Togutil—suku asli pedalaman Halmahera—yang tertidur lelap. "Penggerebekan berlangsung cepat," kata seorang warga yang menyaksikan penangkapan itu kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Malam itu juga Bokumu dan Nohu, orang Togutil itu, digelandang ke kantor Kepolisian Resor Halmahera Tengah di Kota Weda. Esok harinya mereka dibawa ke Ternate. Polisi menuduh kedua orang itu terlibat kasus pembunuhan di Halmahera Timur pada Juli tahun lalu. "Empat bulan kami memburu mereka," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Halmahera Timur Komisaris Gunawan.
Setelah penangkapan itu, ketegangan segera melanda perbatasan hutan dan permukiman transmigrasi Kobe. Hampir saban hari, ada saja orang Togutil yang ke luar hutan. Bersenjata panah, mereka mencari-cari Bokumu dan Nohu yang tak kunjung pulang. Puluhan keluarga yang tinggal di perbatasan hutan sempat mengungsi. Mereka baru kembali setelah polisi dan tentara datang untuk berjaga-jaga.
Gesekan antara "orang rimba" dan "orang desa" telah beberapa kali meletik di Halmahera. Gesekan paling keras meletup pada Juli tahun lalu di kawasan hutan Maba, Halmahera Timur.
Idrus Maudjari, Kepala Desa Waci, Kecamatan Maba Selatan, bercerita, waktu itu enam penduduk Desa Waci masuk hutan untuk mencari akar gaharu. Di perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok suku Togutil. Tak jelas siapa yang memulai, kedua kelompok itu terlibat perkelahian sengit. Akibatnya, dua warga desa, Mas'ud Watoa, 40 tahun, dan anaknya, Marlan Watoa, 9 tahun, tewas.
Dibakar dendam, sebagian warga desa di Halmahera Timur belakangan ini getol "memburu" orang Togutil. Tak hanya menunggu di perbatasan, mereka kerap masuk jauh ke hutan. Karena gagal menangkap orang Togutil, warga desa tak segan-segan merusak gubuk kosong orang rimba itu. "Orang Togutil kian terdesak ke tengah hutan," kata Munadi, aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara.
Rabu dua pekan lalu, Tempo menelusuri hutan Akejira, Halmahera Tengah. Setelah lima jam berjalan kaki dari permukiman Kobe, sekitar pukul 02.00, Tempo sampai di sebuah gubuk suku Togutil yang dipercaya sebagai tempat tinggal Nohu dan Bokumu.
Beratap rumbia, gubuk setengah panggung itu berukuran 5 x 5 meter, dengan tinggi tak lebih dari 1,5 meter. Berdebu dan berbau apek, gubuk itu seperti sudah lama ditinggal penghuninya. "Mereka biasa pindah bila rumahnya diketahui orang luar," kata Ikbal, pemandu perjalanan.
Meski tinggal jauh di dalam hutan, suku Togutil sesekali berhubungan dengan masyarakat luar. Lelaki yang dituakan biasanya menjadi perantara, termasuk untuk mengambil bantuan makanan dari pemerintah atau perusahaan tambang di sekitar hutan.
Nah, Sabtu malam awal Maret itu, Bokumu dan Nohu pun "turun gunung" untuk mengambil bantuan makanan dan pakaian. Namun, ketika memutuskan menginap di rumah warga, mereka rupanya tak menyadari tengah masuk perangkap polisi.
Menurut Komisaris Gunawan, polisi "memancing" Bokumu dan Nohu untuk menginap di rumah warga Kobe. Sebelum memasang "jebakan" itu, beberapa polisi menyamar masuk hutan untuk menawarkan bantuan makanan dan pakaian.
Polisi kini menjerat Bokumu dan Nohu dengan pasal pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Ancaman hukuman untuk mereka maksimal 15 tahun penjara. Namun sejumlah tokoh masyarakat Halmahera yang ditemui Tempo ragu kedua orang itu benar-benar pembunuh warga Desa Waci.
Keraguan muncul antara lain karena Bokumu dan Nohu tinggal di hutan Akejira, Halmahera Tengah. Sedangkan pembunuhan terjadi di pedalaman Maba, Halmahera Timur. Kedua kawasan itu berjarak sekitar 100 kilometer, terpisah oleh gunung dan sungai. Di samping itu, suku Togutil punya tradisi tak melanggar wilayah hutan mereka. "Penangkapan kedua orang itu janggal. Kami berharap polisi lebih teliti," ujar Munadi. Pesan senada disampaikan penasihat hukum kedua tersangka, Fahrudin Maloko.
Toh, polisi berkeyakinan bahwa mereka tak salah tangkap. "Saksi mata yang selamat membenarkan bahwa kedua orang itu pelakunya," ujar Gunawan.
Budhy Nurgianto (Halmahera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo