SUDAH waktunya kini, dokter umum di tempat praktek pribadi serta puskesmas mempelajari psikiatri lebih intensif. Termasuk menggali pengetahuan lebih banyak untuk mengatasi depresi dengan obat-obat antidepresan. Masalahnya ialah sekitar 10%, pasien yang datang berobat sebenarnya menderita depresi -- kondisi kejiwaan yang tidak sehat. Penderita selalu diganggu rasa cemas, waswas, murung, putus asa. Anjuran tersebut di atas dikemukakan oleh Psikiater Yuli Iskandar pekan lalu kepada TEMPO. Katanya, ia yakin bahwa depresi sudah saatnya mendapat perhatian khusus. Angka penderitanya sangat mungkin sudah mendekati jumlah penderita infeksi tenggorokan, infeksi pencernaan, dan kekurangan gizi, yang hingga kini dikenal sebagai penyakit paling besar penderitanya di Indoesia. Belum disepakatinya angka penderita, menurut Yul, hendaknya tidak membuat kita lengah. "Di seluruh dunia depresi sudah diakui sebagai ancaman nomor sau," ujar kepala Laboratorium Psikiatri Biologik, Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan itu. "Kita tidak bisa dikecualikan." Sementara ini, pakar kesehatan jiwa memang sedang berusaha mencari angka penderita depresi yang tepat. Menentukannya tidak mudah, karena masih terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan apakah depresi tergolong penyakit atau bukan. Di samping itu, menurut Psikiater Rudy Salan, banyaknya faktor penyebab depresi membuat berbagai penelitian sampai pada kesimpulan yang sangat berbeda. Rudy Salan mengutarakan, hasil pendataan 118 puskesmas di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa 7,18% pengunjung puskesmas mengidap depresi. Namun, bila dibandingkan dengan laporan rutin yang masuk dari Kantor Wilayah Depkes DKI Jakarta, hanya 0,1% pengunjung puskesmas di DKI menderita depresi. "Angka ini 'kan berbeda jauh," kata Rudy yang juga kepala Pusat Penelitian Penyakit tidak Menular Departemen Kesehatan. Padahal, secara teoretis, angka depresi di Jakarta, yang kaya dengan masalah urban, harusnya malah lebih tinggi. Perbedaan angka ini membuat Rudy pena-saran dan terjun meneliti sebuah puskesmas di Kelurahan rambola, Jakarta, pada Lahun 1985. "Hasil yang saya temukan ternyata 28,37% pengunjung puskesmas itu menderita deprei," ujar psikiater yang banyak melakukan penelitian itu. 'rapi saya tak berani menyebutkan kesimpulan saya ini sebagai statement, sekadar impresi saja." Toh metode penelitian yang digunakan Rudy Salan dalam menentukan frekuensi pendenta depresi di puskesmas mendapat perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Secara umum, WHO memperkirakan, pasien dokter di dunia adalah penderita depresi. Namun, dalam Primary Health Care Base Line Studies -- khusus untuk Indonesia -- yang dibuat berdasar laporan pukesmas-puskesmas, WHO memperkirakan bahwa 10% pasien puskesmas dan dokter umum adalah penderita depresi. Persentase ini, menurut Rudy Salan, termasuk tinggi. Dalam angka bisa dikatakan ada 3-5 juta penderita depresi di seluruh Indonesia. Kedudukan penderita tidak terbatas di kota-kota saja, tapi tersebar sampai ke pelosok--pelosok desa. Dengan kata lain, depresi ternyata bukan gejala kota besar saja, seperti sangkaan umum selama ini. Secara umum, Rudy menunjuk modernisasi sebagai salah satu faktor pnyebab munculnya ledakan angka depresi. "Bila kita melihat negara kia 5 tahun lalu," katanya, "dapat kita simpulkan, inilah harga mahal perkembangan pesat yang sulit dihindari." Soeharto Heerdjan, psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sependapat dengan Rudy Salan Katanya, angka depresi memang sedang meningkat serius negara kita. Psikiater ini menjelaskan, pada garis besarnya ada dua kelompok penyebab depresi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang banyak dikaitkan dengan meningkatnya angka depresi di masa kini adalah faktor eksternal itu. Penyebab dari luar ini mudah dikaji, karena berkaitan dengan berbagai masalah sosial lain. "Misalnya akibat kurangnya penghasilan atau nggak punya rumah, atau sejenis itu," katanya. Menyinggung faktor luar bagi lingkungan pedesaan, Rudy Salan mengemukakan satu eontoh. Hampir semua penduduk di masa kini mempunyai pesawat televisi, media informasi bagi berbagai kemajuan. "Ini tentunya mempengaruhi peri laku, gaya hidup, dan nilai-nilai pada masyarakat," katanya. Akibat banjirnya informasi itu, tuntuan kehidupan kian tinggi, hingga kalau tak terpenuhi, menimbulkan kekecewaan yang besar. Sementara itu, perubahan nilai bisa menumbuhkan konflik antargenerasi. "Semua ini bisa mengganggu ketenangan jiwa," kata Rudy lagi. Di lingkungan kota, meningkatnya angka depresi bisa berkaitan dengan naiknya jumlah penderita berbagai penyakit kronis yang sulit disembuhkan, seperti penyakit jantung dan kanker. Rasa putus asa membuat penderitanya terkena depresi. "Di samping itu, juga akibat semakin banyaknya pemakaian obar-obatan tertentu, misalnya obat-obatar jenis steroid, obae-obat hormon dan hipertensi," ujar Rudy. Yul Iskandar, yang mengakui angka depresi yang disodorkan WHO sebagai angka mutlak. berpendapat bahwa besarnya jumlah penderita depresi tidak senantiasa sinkron dengan keadaan sekeliling. Karena itu, ia cenderung tidak terlalu mengkaji masalah masyarakat. "Ada pendapat, orang-orang yang beriman cenderung menerima kenyataan, jadi bisa terbeba dari depresi. Kalau betul begitu, negara yang agamanya kuat angka depresinya 'kan rendah," katanya. "Ternyata, tidak begitu. Maka, apa pun penyebabnya, Yul Iskandar - berpendapat, depresi sebaiknya dikategoi ikan penyakit. "Depresi yang bisa dibaca gejalanya tidak banyak bedanya dengan penyakit Jantung, penyakit paru-paru, atau penyakit infeksi," katanya mantap. "Memeriksa depresi pun tidak perlu berbelit-belit, cukup dengan memeriksa gelombang otak." Bagi psikiater ini, melonjaknya angka depresi adalah masalah kesehatan yang harus segera diatasi, tanpa berlama-lama mencari penyebabnya. Jim Supangkat, Tri Budianto & I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini